Aku bersyukur dapat berada di sekolah ini. Sejak pertama kali melangkahkan kaki memasuki gerbang besarnya, aku sudah merasakan akan betah berada di sini. Sebenarnya, aku sudah sejak lama mendengar nama sekolah ini. Mungkin pertama kalinya, saat aku melihat di televisi. Saat itu ibu langsung menunjuknya dengan gembira.
“Lihat, Sayang,” ujarnya, “Kelak kau harus bersekolah di sana. Mereka memiliki guru-giuru yang hebat. Sama seperti pemiliknya.”
Aku hanya bisa terpana pada layar televisi itu. Tapi para pemusik remaja yang ada di layar televisi itu memang hebat seluruhnya. Seorang gadis yang memainkan piano bahkan terlihat sanggat anggun. Tanpa sadar, sejak itulah aku berharap menjadi seperti itu.
Dan tak pernah kuduga, beberapa tahun setelah malam itu, aku benar-benar bisa berada di sini, di Sekolah Musik Kristalia Krani.
Sekolah ini tak terlalu besar. Hanya terdiri dari satu gedung utama saja. Namun halaman yang mengelilingi gedung itu sangatlah luas. Pohon-pohon teduh tumbuh memenuhinya. Sebuah telaga buatan terlihat di belakang gedung. Sementara di samping gedung ada teater terbuka berbentuk setengah lingkaran. Di situlah biasanya murid-murid yang ingin mengadakan pertunjukan di ruang terbuka.
Tak hanya diterima di sekolah ini, aku juga mendapatkan kamar kecil di belakang sekolah. Ini benar-benar di luar perkiraan. Sejak berangkat dari rumah, ibu sudah berkata kalau kami mungkin akan pindah di pinggir kota. Namun ternyata di saat ujian, para penguji sangat tertarik dengan permainanku, sehingga mereka memberikan kamar kecil itu untukku. Aku tak pernah tahu, pemberian kamar ini sebenarnya hal yang di luar kebiasaan sekolah. Mereka memang tak pernah menyediakan kamar untuk siapa pun. Murid-murid yang bersekolah di sini, mencarinya sendiri. Tapi tidak untukku.
Ibu berkata, aku beruntung, sehingga uang yang seharusnya akan digunakan untuk menyewa rumah di pinggir kota, bisa digunakan untuk membeli baju-baju baru untukku. Namun aku tak terlalu peduli soal itu. Aku sudah merasa nyaman di kamar ini. Walau kecil dan sedikit berbau lembab, tapi ini sudah cukup sekali bagiku. Setelah dibersihkan, keadaannya pastilah akan nyaman. Tak heran, bila di hari pertama saja, aku sudah bisa tidur dengan lelap.
Sebelum ibu pulang, ibu menyerahkan sebuah pigura dengan selembar foto yang berisi kami berdua. Aku kemudian kuletakkan di samping meja. Aku sebenarnya membawa beberapa foto lainnya dan ingin meletakkan juga di situ. Tapi karena tak ada pigura lainnya, kuputuskan untuk tetap menyimpannya di dalam buku catatanku.
Hari itu, ibu nampak enggan untuk pergi. Aku tahu, berat baginya untuk meninggalkanku sendiri. Bagaimana pun aku masih 12 tahun. Walau pihak sekolah memberi jaminan pada ibu akan mengawasiku dengan baik, tetap saja ini hal berat untuk dilakukan. Aku sampai harus mengingatkannya tentang keretanya yang akan segera berangkat.
Yang membuat sedih adalah saat ibu akhirnya benar-benar pulang, keadaan seperti tiba-tiba menjadi sedemikian senyap. Memamg ada beberapa petugas masak dan petugas kebersihan yang tinggal tak jauh dari kamarku, tapi saat mereka sudah berada di kamar masing-masing, aku seperti hanya seorang diri sajadi sini.
Kupikir aku akan menjalani hari-hariku sendiri di sini. Tapi untunglah, secara tak kuduga aku bertemu dengan gadis seumurku. Ia nampaknya mengamatiku diam-diam sejak pertama kali aku datang. Namun ia nampaknya tak berani mendekat padaku.
Jadi aku yang memutuskan untuk mendekatinya. “Hai,” aku mengulurkan tangan, “Aku Qurie Qurindra. Maukah kau berteman denganku?”
***
Namanya Sefa. Ia rupanya murid di sekolah ini juga. Hanya saja, ia ada di satu tingkat di bawahku.
Hanya berteman beberapa jam saja dengannya, aku sudah menyimpulkan kalau ia teman yang baik. Di hari pertama itu saja, ia sudah membantuku membersihkan kamar, walau aku berkali-kali melarangnya.
Satu yang membuatku heran, ia sepertinya sangat tertarik melihat pigura yang ada di meja.
“Buat apa memasangnya di situ?”
Aku memandangnya tak percaya. “Ini fotoku bersama ibuku. Tentu saja harus di pasang di situ, agar aku dapat terus mengingatnya.”
Ia hanya terdiam, tak mengucapkan apa-apa lagi. Tapi aku melihat wajahnya yang nampak tak suka. Saat itu aku masih tak tahu kenapa ia seperti itu. Aku belum tahu kalau ia adalah anak pemilik sekolah ini.