Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #5

Sefadia Krani (3)

Akhir-akhir ini, malam panjang terlewati tanpa aku bisa memejamkan mata sedikit pun. Aku masih berharap pada Debussy, dengan tetap memutarnya pelan-pelan. Walau aku tahu, belakangan ini kemujarabannya menentramkan hatiku seperti telah sirna. Tapi aku tak punya pilihan lain. Hanya ia yang paling kusuka. Sialnya, semakin lama didengar, komposisi-komposisinya malah bukannya membuatku terlelap, tapi malah memunculkan bayang-bayang Barra begitu kuatnya.

Aku jadi bertanya-tanya, kenapa begini? Sepertinya akhir-akhir ini komposisi-komposisi Debussy seperti langsung bertautan dengan Barra. Aku jadi ingat, dulu sebenarnya aku tak terlalu suka dengan Debussy. Aku tentu lebih memilih Chopin. Namun saat aku baru menikah, dan Barra tahu kalau aku begitu sulit terlelap hingga kadang harus sampai meminum sebutir obat tidur untuk menolongku, ia kemudian menunjukkan komposisi-komposisi Debussy padaku. Katanya beberapa komposisi musisi Prancis bernama asli Claude Debussy itu adalah lagu nina bobo yang paling mujarab. Jadi aku menurutinya. Dan ternyata itu memang benar-benar manjur.

Tapi malam ini, kemujaraban Debussy memang benar-benar telah sirna. Aku bahkan sampai yakin kalau aku tak akan tertidur malam ini. Jadi, saat aku melihat jam dinding ada di pukul 4 dini hari, aku memutuskan untuk bangkit saja dari tempat tidur. Kubuat secangkir kopi untuk diriku sendiri. Kubiarkan keheningan dini hari ini, pecah sejenak oleh suara mesin pembuat kopi.

Lalu kubiarkan diriku diam di atas kursi...

Untuk beberapa saat aku hanya memandangi cangkir kopi di depanku. Kubiarkan uap menguap perlahan menelisip di hidungku. Tanpa sadar, kulihat bayangan diriku di pantulan meja kaca di depanku.

Dulu Barra selalu berada di sana. Duduk di seberang kursi ini. Ia yang selalu membuat kopi dan aku lebih memilih meminum teh. Di situ, kami berbincang dalam jeda-jeda hening. Kupikir jarak di antara kami, membuat kata-kata lebih lebih terseleksi dengan sendirinya. Mungkin –ini mungkin– kata-kata yang tak penting memang tak perlu diucapkan, karena ia akan menguap dengan sendirinya. Seperti uang kopi tadi.

Satu yang selalu kusayangkan, jarak itu juga yang membuat kami jarang bergenggaman tangan. Aku sebenarnya berharap Barra yang mengambil inisiatif mendekatiku. Tapi ia tak pernah melakukannya. Sekali-dua kali aku yang melakukannya. Kupikir hal-hal kecil itulah yang masih memberi kekuatanku sampai hari ini. 

Lihat selengkapnya