Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #7

Sefadia Krani (4)

Sampai beberapa hari ke depan, ingatan-ingatanku tentang Qurie terus datang di malam-malamku. Rasanya setiap kali aku mengingat Barra, selalu saja sosok Qurie ikut muncul menyeruak. Aku tentu memahami kenapa ini bisa terjadi. Bagaimana pun, sebelum Barra datang di kehidupan kami, kami berdua adalah sepasang sahabat. Kami nyaris tak terpisahkan.

Qurie bagaimana pun juga sosok yang istimewa. Bakatnya langsung menyita perhatian semua murid-murid lainnya di sekolah ini. Aku senang ia mendapatkan itu semua. Kupikir ia layak mendapatkannya. Terlebih beberapa bulan berselang sejak kepindahannya ke sini, ibunya meninggal karena sakit parah. Sejak itu, ia seperti tak bisa ke mana-mana lagi. Kota ini, dan kamar kecilnya, sudah menjadi tempat tinggal satu-satunya.

Sering saat tengah bersedih, ia akan selalu menceritakan tentang ibunya. Bagaimana mereka berlari kecil menuju gereja tua itu, dan berjingkat-jingkat mendekati piano seakan lantai kayu gereja tua itu akan ambrol begitu saja.

Aku selalu mendengarkannya tanpa menyela sedikit pun. Kupikir aku suka mendengarkan kisah-kisahnya. Hanya saja, Qurie bukan tipe orang yang suka terus-terusan membicarakan dirinya. Ada waktunya ia selalu balas bertanya, “Bagaimana dengan mamamu? Kemarin aku melihat ada beberapa reporter di rumahmu. Sepertinya ada lagi yang sedang meliputnya ya?”

Aku selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan mengangkat bahuku atau menggelengan kepalaku. Ini membuat Qurie lama-lama tak lagi bertanya. Mungkin ia mulai bisa meraba, seperti apa hubunganku dengan mama.

Aku mulai kerap tidur di kamarnya. Kami seakan menjadi penguasa sekolah ini saat malam. Aku bisa mendapatkan kunci semua kelas. Sehingga kami bisa mencoba semua alat musik yang ada di sini. Namun itu hanya menjadi kesenangan sesaat saja. Selalu, pada akhirnya kami akan kembali pada ruang piano.

Kuakui hanya beberapa bulan berselang, kemampuan Qurie menanjak bagai roket. Ia tak terlalu tertarik untuk mempelajari apa-apa lagi. Ia hanya ingin bermain piano.

Jujur saja, selama ini Qurie banyak membantuku. Setiap ujian akan berlangsung, dan aku mulai nampak cemas dan tak tenang, Qurie selalu tahu apa yang tengah kupikirkan. Ia akan segera membimbingku ke ruang piano, dan mengajakku bermain bersama. Aku sadar itu adalah caranya mengajariku.

Tapi piano bukanlah selayaknya pelajaran teori yang dapat dipelajari begitu saja. Ada talenta di situ. Aku mungkin bisa berkerja keras dengan menghapal semua partitur yang ada. Tapi begitu kosentrasiku lengah sedikit saja, semuanya akan menjadi berantakan. Ini tak kulihat ada pada Qurie. Ia seperti telah menyatu dengan pianonya. Jari-jatrinya seakan bermata, sehingga ia tak akan pernah salah menekan tuts-tutsnya. Seperti ucapannya dulu, di hari-hari awal ketika ia datang, ia memang telah mewujudkan dirinya menjadi alunan nada.

***

Di semester-semester berikutnya Qurie semakin bersinar. Ia terus menjadi wakil sekolah dalam perlombaan-perlombaan piano. Ia juga kerap diajak oleh beberapa guru untuk mendukung pertunjukan mereka.

Panggung redup yang kemudian menjadi gemerlap. Pembawa acara yang memanggil namanya dengan lantang, disusul dengan tepuk tangan bergemuruh. Langkah-langkah anggun kakinya menuju panggung di mana piano berada, seakan semuanya menjadi ketukan-ketukan irama pembuka setiap penampilannya.

Ya, hanya dalam empat tahun berselang di sekolah ini, semua seperti berubah. Ia bukan lagi nampak seperti gadis kecil yang lugu yang baru datang ke kota besar seperti dulu. Semua ornag mulai mengenalnya.

Sedang aku? Aku diam-diam masih melihat semuanya dengan perasaan sepi. Tanpa beranjak ke mana-mana.

***

Lihat selengkapnya