Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #8

Qurie Qurindra (4)

Di tahun keenam, aku berhasil lulus dari sekolah ini. Seharusnya aku pergi dari sekolah ini, namun beberapa guru kemudian memintaku untuk menjadi asisten mereka. Kebetulan tahun ini, pendaftar anak-anak jauh lebih banyak dari tahun kemarin, sehingga dibutuhkan guru tambahan untuk itu. Aku tentu saja menerimanya dengan gembira.

Toh, aku tak lagi bisa pulang ke mana-mana. Sejak semester pertama tinggal di sini, aku memang tak lagi bisa pulang. Ibu sudah pergi untuk selamanya, dan tak ada lagi saudara dekat yang kukenal dengan baik. Jadi hanya di sinilah aku bisa tinggal.

Apalagi, walau sudah selesai, selalu saja ada hal baru yang kudapat di sini. Madame Natalia dan Madame Inge adalah para pemain piano yang baik. Keduanya juga komposer yang piawai, sehingga aku kerap diikutkan dalam pertunjukan-pertunjukan mereka. Selain itu, mereka juga mendorongku untuk mengikuti festival-festival di kota-kota lain. Dengan membawa nama sekolah, mereka bisa mengupayakan akomodasiku. Ini tentu menyenangkan, sehingga aku tak berpikir lagi untuk meninggalkan sekolah ini.

Sampai kemudian laki-laki itu datang.

Awalnya aku tak pernah tahu ia merupakan salah satu murid di sini. Sekolah ini memang terdiri dari berbagai lapisan. Memang ada murid-murid formal yang juga mengikuti kurikulum nasional. Murid-murid di sini, biasanya memiliki umur yang sama dengan murid-murid sekolah lainnya. Namun ada juga murid-murid yang mengikuti kurikulum tidak formal. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang formal. Kadang mereka nampak seperti sedang mengikuti kursus musik saja, walau tentu pendalaman materi jauh lebih dalam dari sekadar kursus.

Karena aku mengurusi murid anak-anak sepantaran SD, aku tak pernah cukup mengenal murid-murid di luar itu. Sehingga aku cukup terkejut saat ia tiba-tiba datang mendekatiku. Waktu itu hari sudah cukup sore, dan aku sedang berlatih sendiri di ruang piano. Akhir-akhir ini aku memang sedang getol menciptakan sendiri alunan nada-nadaku. Namun karena aku tak cukup pandai menulis partitur, aku lebih memilih menghapalnya dengan memainkannya berulang kali.

Saat ia datang, langkah kakinya langsung membuatku menoleh dan menghentikan gerakanku. Biasanya Sefa yang selalu muncul di belakangku. Namun kali ini ternyata bukan.

“Mainkan sekali lagi lagu itu,” ia meminta.

Aku tentu saja tak langsung menurutinya. “Siapa kau?” aku sedikit heran. “Bukankah murid-murid seharusnya sudah pulang?

“Ya, seharusnya memang sudah,” jawabnya. ”Hanya saja Madame Inge tadi ingin bicara denganku, jadi... sampai sekarang aku baru bisa keluar dari ruangannya.”

Aku terdiam. Kalau Madame Inge sampai menemui seseorang di saat jam sekolah berakhir, biasanya murid yang bersangkutan pastilah ada dalam masalah.

“Hmmm, aku terlalu banyak membolos,” ia menjawab dugaanku seakan mampu membaca pikiranku.

“Oya, aku Barra. Aku murid kelas biola,” ia mendekat dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan ragu. Di sekolah ini, murid kelas biola cukup banyak. Kelas formalnya saja yang kutahu ada 3 kelas. Itu belum termasuk yang tidak formal dan privat.

“Aku suka sekali permainanmu tadi. Lagu apa itu? Aku sepertinya baru mendengarnya kali ini? Apakah itu ciptaanmu?”

Aku mengangguk saja menjawab rentetan pertanyaannya.

“Aaah, pantas sekali terasa unik. Sejak dulu aku selalu ingin bermain piano. Kupikir itu alat musik terbaik yang pernah ada. Tapi apa daya, aku tak pernah bisa membelinya.”

Aku hanya terdiam. Walau ingin memrotes ucapan itu, tapi pada akhirnya aku hanya memilih diam.

“Beruntunglah ada yang menciptakan alat musik seperti ini. Tapi ngomong-ngomong, apa kau tahu siapa penciptanya? Aku jadi penasaran.” tanyanya lagi.

Aku kaget. Tak menyangka mendapat pertanyaan seperti itu. Namun aku langsung mencoba mengingat-ingat pelajaran sejarah yang pernah kudapat tentang piano. Tapi ingatanku soal itu ternyata tak cukup baik, sehingga aku hanya bisa menggeleng saja.

“Maaf, aku lupa.”

“Tak apa. Besok akan kucari sendiri di internet.”ia tersenyum. “Oya, apa kau juga murid di sini? Atau... guru? Kupikir tak ada murid yang mau berlatih di waktu seperti ini?”

“Aku bukan keduanya. Aku hanya membantu beberapa guru di sini.”

“Aaaah, asisten...” ia berlagak memberi perhormatan dengan meletakkan telapak tangannya di dada.

“Kalau begitu aku harus memanggilmu... hmmm, madame asisten.” Ia tersenyum. “Jadi sekarang, bisakah madame asisten memainkan lagu tadi sekali lagi?”

Aku hanya tersenyum. Tapi kali ini, aku menurutinya permintaannya.

Lihat selengkapnya