Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #9

Sefadia Krani (5)

Malam ini juga aku merasa harus datang ke sana!

Kota kecil tempat semua kenangan masa kecil dan remaja kulewati. Aku tak ingat sudah berapa tahun tepatnya aku tak lagi mendatanginya. Mungkin beberapa bulan sebelum pernikahanku? Itu artinya mungkin delapan tahun lalu?

Sementara kota yang kutinggali sekarang memang jauh dari kota itu. Aku sengaja memilihnya, dan Barra hanya menyetujuinya. Namun walau sejauh apa pun aku pergi, aku tak pernah benar-benar lepas dari kota itu, termasuk lepas dari sosok mama. Bagaimana pun sosok mama seperti ada di mana-mana. Televisi-televisi, koran-koran atau pun majalah-majalah. Walau tak lagi sesering dulu, namun tetap saja itu terasa seperti mengawasiku.

Maka esok harinya, kuberanikan diri membawa mobil ke kota itu. Aku tahu, ini suatu yang nekat. Aku tak pernah menyetir mobil sejauh ini sebelumnya. Terlebih aku tak pernah datang ke kota itu seorang diri. Terakhir kali aku datang, Barra menemaniku. Jadi aku hanya duduk diam di sampingnya, menghanyutkan diri dalam lagu-lagu yang diputar perlahan.

Perjalanan panjang waktu itu kuingat sebagai perjalanan paling senyap di antara kami. Tak banyak perbincangan yang terjadi. Kami seperti sibuk dengan pikiran masing-masing, atau Barra sengaja membiarkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Kali ini, kejadian serupa itu seperti terulang. Aku menjalani perjalanan ini tanpa satu kata pun yang terucap.

Namun pada akhirnya aku tiba juga di Sekolah Musik Kristalia Krani.

Aku melemparkan pandangan ke seluruh sudut. Walau nyaris delapan tahun tak mendatanginya, gedung sekolah itu masih seperti dulu. Dari jalan melingkar ini, dapat kulihat semuanya dengan jelas. Telaga buatan dan pohon-pohon tinggi masih terlihat mengelilingi gedung, dan rumah besar tempatku tumbuh. Namun anehnya, aku sepertinya tak merasakan perasan rindu saat melihatnya. Aku hanya merasakan gedung itu mulai nampak pudar, sehingga terasa tua. Ditambah pohon-pohon besar yang ada di sekelilingnya juga tak lagi terasa hijau. Warnanya tak jauh berbeda seperti gedung itu: kusam.

Aku memilih memarkir mobilku di halaman sekolah, bukan di halaman rumah yang ada di samping gedung. Aku merasa memang lebih baik memarkirnya di sini. Lalu setelah sejenak mengamati semuanya dari dalam mobil, aku keluar. Suasana nampak telah sepi. Ini memang sudah di luar jam sekolah. Murid-murid pastilah telah pulang seluruhnya. Aku hanya berharap masih ada guru-guru yang belum pulang.

Aku melangkah memasuki gedung. Mataku langsung merasakan beberapa perubahan di situ. Sebuah papan pengumuman terlihat lebih besar dari yang dulu. Warnanya pun lebih beraneka warna. Di dalamnya, ada sebuah lemari lagi yang ditambah untuk menyimpan piala-piala yang didapat sekolah. Foto murid-murid yang tengah performance dalam pertujnjukan-pertunjukan, menemani langkah-langkahku menuju ruang guru.

Sejenak hanya terdengar suara sepatuku yang bergema di sepanjang lorong. Lalu kulihat seorang nampak sedang berjalan keluar ruangan. Saat mendapatiku ada di balik pintu, ia nampak terkejut. Buru-buru diturunkannya sedikit kecamatanya.

Aku mencoba tersenyum, “Selamat sore. Madame Inge.”

Madame Inge menatapku dengan tak percaya. Bibirnya sedikit gemetar saat menyebutkan namaku, “Nona Sefa? Ah, benarkah ini kau?”

Aku kembali tersenyum. “Ya, Madame Inge, ini aku, Sefadia.”

***

Ruangan guru ini tak nampak berubah. Tatanan meja, lemari, lukisan dan foto-foro masih sama seperti saat terakhir aku meninggalkan sekolah ini. Hanya ada sedikit perubahan kecil yang kurasakan. Beberapa pot bunga dengan tanaman asli kulihat ada di sudut ruangan. Beberapa hiasan berbentuk alat music juga terlihat di meja-meja lainnya.

Madame Inge menyuruhku duduk di sofa tamu. Dulu, ketika masih menjadi murid di sini, aku tak pernah duduk di sofa ini. Kini kami duduk dalam suasana masa lalu.

Lihat selengkapnya