Sejak menjadi asisten pengajar, aku memang tak lagi tinggal di kamar belakang sekolah. Entah kenapa aku merasa butuh kamar yang lebib besar. Namun oleh pihak sekolah, kamarku tetap dibiarkan kosong, sehingga bila aku ingin beristirahat, atau tengah malas untuk pulang, aku tetap bisa menginap di sana.
Semakin hari pekerjaanku sebagai asisten pengajar memang semakin sibuk. Dua kelas yang kutangani cukup merepotkan. Mengurus anak-anak jauh lebih sulit dari pada mengurus remaja atau orang-orang dewasa. Mereka manja dan moody sekali. Beberapa bahkan sering ngambek tak mau menuruti ucapanku.
Mungkin aku memang bukan dilahirkan untuk menjadi seorang pengajar. Tak seperti Madame Natalia dan Madame Inge yang begitu sabar mengurus anak-anak, aku tak bisa seperti itu. Aku mungkin memang dilahirkan hanya untuk menjadi pianis. Tak lebih. Mengajar di sekolah ini, hanya untuk menambah ilmuku sedalam-dalamnya lagi.
Madame Inge juga menyadari itu. Ia adalah orang yang paling sering mengajakku terlibat di proyek-proyeknya. Kebetulan sebagai kepala sekolah, dan pengajar di sini, ia juga memiliki sebuah komunitas pecinta musik klasik, yang rajin tampil di kota-kota lain. Jadi kadang, aku pergi mengikutinya sampai beberapa hari.
Karena itulah, akhir-akhir ini, aku jarang bertemu dengan Sefa. Kini, ia sendiri memang cukup sibuk mengurus tugas akhir sekolahnya. Terakhir yang kutahu, ia sudah benar-benar tak sabar ingin segera lulus, agar bisa sesegera mungkin meninggalkan kota ini.
Sementara itu, Barra masih sering datang di ruang piano. Entah kenapa, kini aku jadi sering menunggunya. Ia sendiri cukup sibuk. Kawan-kawan di bandnya dulu, masih sering mengundangnya tampil. Bila tak terlalu jauh dari kota ini, ia masih selalu menyetujuinya. Katanya, untuk sekadar melepas kangen.
Aku merasa hubunganku dengannya semakin dekat. Barra sudah beberapa kali mengajakku keluar. Makan di pusat kota atau menyaksikan live music di salah satu cafe. Ia punya tempat nongkrong favorit yang ada di puncak gedung. Di situ pemilik cafe menyediakan sebuah piano bagi siapa pun yang ingin perform. Dan ia selalu memintaku untuk tampil barang selagu atau dua lagu.
Sungguh, aku menikmati kebersamaan dengannya.
Di lain sisi, Sefa nampaknya mulai curiga padaku. Bagaimana pun, kami sudah semakin jarang bertemu, dan aku kerap pergi di malam hari, semakin bertambah jarang saja pertemuan kami. Ia bahkan selalu berkerut kening, saat aku menolak ajakannya. Aku sendiri sebenarnya ingin berterus terang padanya tentang Barra. Tapi kupikir ini kekakak-kanakkan. Bagaimana pun hubunganku dengan Barra masih sebatas teman baik. Tak ada sesuatu yang perlu diceritakan lebih dulu.
Sampai suatu hari, Sefa menarik tanganku. Waktu itu, aku baru saja selesai mengajar. Ia membawaku ke lorong yang sepi dengan tingkah yang aneh. Matanya kurasakan sedikit berbinar. “Aku akan mengenalkanmu seseorang. Kupikir ia... keren sekali.”
Aku hanya tersenyum. Kupikir ini bagus. Di sisi lain aku tengah membina hubungan dengan seseorang, Sefa mulai pula menemukan pilihan hatinya. Maka aku setuju saja saat ia mengajakku ke ruang piano.
Kami berdua menunggu sesaat. Sekitar 5 menit kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dan aku cukup terkejut saat tahu siapa dirinya. Ia tak lain dan tak bukan adalah Barra.
“Ternyata kamu,” ujar kami nyaris bersamaan.
Sefa hanya bisa memandang kami dengan tak mengerti. “Kalian... sudah saling kenal?”
Barra tertawa lepas. “Kami sudah sering bertemu di sini. Kami bahkan sering bermain musik bersama.”
“Kalian... sudah sering bermain musik bersama?” Sefa menatapku, seperti menunggu jawabannya.
Entah kenapa, aku merasa tak enak menjawabnya. Saat aku akhirnya mengangguk, aku seperti melihat raut kecewa yang samar di wajahnya. Tapi untungnya Barra cepat menguasai keadaan. Ia sudah mengeluarkan biolanya dan meminta salah satu dari kami untuk mengiringi lagu yang baru dipelajarinya.
Aku tak beranjak. Kutunggu Sefa yang melakukannya. Tapi Sefa pun nampaknya tak ingin maju. Maka dengan gerakan kepalanya, Barra memintaku maju. Aku pun tak punya pilihan lain untuk menurutinya.
Entah kenapa, aku merasa ini momen yang membuat hatiku tak nyaman. Beberapa kali kulihat Sefa hanya terdiam, tak bereaksi apa-apa. Ia hanya memilih mengatup bibirnya rekat-rekat. Untunglah setelah lagu yang dimainkan Barra selesai, Madame Inge muncul di pintu.
“Kalian masih di sini?” tanyanya heran.
“Iya, Madame,” Bara yang menjawabnya. “Kami sedang berlatih.”
“Berlatih? Berlatih dalam rangka apa?”
“Sekadar berlatih saja, Madame.”
“Baguslah kalau begitu,” Madame Inge hanya mengangguk dan mulai berbalik badan. Namun sebelum ia pergi, Barra menghentikan langkahnya. “Madame, bolehkah aku meminta tolong sesuatu?” Ia melangkah mendekat dengan pandangan kurang ajar.
“Apa itu, Bara?”
“Madame sudah tahu, bila hidupku selama ini begitu pahit. Aku selalu dikelilingi kawan-kawan laki-laki di bandku. Mereka bau dan jarang mandi. Kini, aku diapit 2 gadis cantik yang harum. Maukan madame memotretkan aku dengan mereka?”
Madame Inge memainkan bibirnya. “Kau pintar sekali bicara, Barra. Tapi kau seharusnya menyebut: 3 perempuan cantik, tak sekadar 2 gadis cantik. Kau benar-benar tak menganggap aku ada.”
Bara langsung menepuk kepalanya, “Ah, madame benar. Maafkan aku yang salah.”