Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #11

Sefadia Krani (6)

Keheningan hadir di antara kami. Tak ada suara apa-apa, selain getaran AC yang terdengar halus. Seiring langkahku mendekat, mama membuang pandangannya dari tatapanku.

“Aku hapal sekali simfoni ini, Mama. Qurie sudah memainkannya berkali-kali di depanku. Dulu, aku bahkan berpikir, ini simfoni yang dibuatnya untukku. Tapi ia tak pernah mengatakannya. Jadi aku tahu di bagian mana mama telah mengubahnya. Satu di bagian intro, dan yang lainnya ada di verse. Ada beberapa bait yang mama hilangkan, tapi aku masih mengenali sekali lagu ini.”

Perlahan mama menoleh padaku, “Jadi, kau kemari malam ini hanya untuk menuduh mama?”

Aku tak menjawab. Walau semua bukti mengarah ke sana, tapi tetap saja sulit menjawab pertanyaan itu. 

“Kau ke sini, hanya ingin menuduh mama mencuri simfoni itu?” ulang mama lagi, kali ini ia menatap tajam ke arahku.

Aku menelan ludah. Inilah yang kutakutkan. Tatapan mama sejak dulu selalu membuat seluruh tubuhku melemah. Kini, walau hampir delapan tahun tak bertemu dengannya, tetap saja perasaan itu mampu melandaku.

“Kau masih benar-benar ingin membela dirinya?” Mama melangkah mendekat ke arahku. “Apa kau tak menyadari, kalau selama ini, ia sudah merampas semua yang seharusnya menjadi milikmu?”

“Ia tak pernah merampas apa-apa dariku, Mama.”

“Kau begitu naif, Sefa. Sangat naif. Apa kau tak tahu kalau waktu itu, siapa yang selalu mendapat kesempatan untuk tampil mewakili sekolah ini? Apa kau juga tak tahu kalau selama ini, siapa yang selalu dibanggakan sekolah ini?” Mama semakin mendekat, hingga membuatku tanpa sadar mundur selangkah.

“Ia yang selalu mendapatkannya, Sefa. Orang yang selama ini kau anggap sahabatmu itu. Orang yang sampai membuatmu tega menuduh mamamu ini mencuri simfoni miliknya?” suara mama semakin meninggi. “Kau mungkin telah lupa, Sefa, kalau aku membuat sekolah ini untuk dirimu. Sekolah ini sebenarnya kuciptakan untuk melapangkan jalanmu meraih seperti yang sudah kuraih. Kau lupa itu, Sefa?”

Aku semakin tersudut. Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.

“Seharusnya, semua tentangnya sudah selesai sejak kebakaran itu! Ia sudah mati, dan kau tak usah kembali mengungkit-ungkit apa pun tentangnya!”

Mulutku semakin mengatup. Seiring munculnya kelebatan ingatan tentang kebakaran itu. Kebakaran hebat yang membuat Qurie hilang dan aku kemudian pergi dari kota ini.

***

Sejak dulu aku menyadari kalau aku tak akan pernah bisa mengalahkan mama. Bukan hanya di bidang musik, tapi bahkan dalam sebuah perdebatan sekali pun. Bahkan perdebatan yang sebenarnya sudah sedemikian jelas sekali pun.

Lihat selengkapnya