Aku seperti bermimpi terlalu panjang. Sebuah alunan lagu telah berhasil membawaku terbang begitu jauh. Melayang-layang hingga ke angkasa, di mana awan-awan seperti mengelilingiku dan burung-burung seperti ikut bergembira. Namun ternyata semua itu hanya sampai di situ saja!
Saat aku terbangun, aku hanya bisa berteriak tertahan. Keindahan yang ada di mataku tadi telah lenyap seketika, berganti rasa perih yang langsung mendera tubuh.
Sepenggal kejadian beberapa saat sebelumnya langsung kuingat. Gerakan tangan Madame Kristalia yang mengarah ke wajahku, lalu benturan keras ujung piano di kepalaku.
Sungguh, kupikir aku sudah tamat saat itu. Namun ternyata itu belumlah apa-apa. Aku terbangun dengan rongga dada yang hampir meledak. Napasku sesak menghirup asap. Tiba-tiba kusadari api sudah mengelilingi tubuhku. Tapi aku tak mau mati dalam kondisi seperti ini. Dengan tenaga tersisa, aku merangkak keluar ruangan itu. Kubiarkan api menjilat bajuku, membuat sebagian tubuhku ikut terbakar. Namun aku tak menghiraukan lagi rasa perih yang mendera tubuhku. Yang kulihat di ruang sebelah, sebuah jendela besar seperti menampilkan ribuan bintang-bintang.
Aku segera membuka pengait jendela itu, lalu melompatinya. Kurasakan tubuhku seperti melayang sesaat, sebelum akhirnya menghempas sesuatu. Saat itulah rasa perih paling sempurna kurasakan.
Mataku seketika mengabur. Aku seperti mulai melihat bayangan ibu yang samar-samar tengah melambai-lambai di kejauhan. Kupikir saat itulah ajalku tiba.
Aku memejamkan mata.
***
Tapi saat aku terbangun, aku mendapati diriku, ada di sebuah rumah sakit.
Rasa perih masih kurasakan mendera tubuhku. Terutama di bagian tubuh sebelah kiri. Namun rasa perih yang paling kurasakan ternyata ada di bagian wajahku. Dengan tak percaya, aku mengangkat tanganku perlahan, untuk meraba apa yang ada di sana. Kurasakan ujung-ujung jariku menyentuh bekas luka yang lebar yang masih terasa basah. Dan dari situlah aku bisa membayangkan seperti apa luka yang ada di wajahku...
“Sudahlah, jangan terlalu banyak bergerak,” sebuah suara membuatku terkejut. Itu suara Barra. Baru kusadari kehadirannya di sampingku.
Mataku berkaca-kaca. “Wajahku… apa yang terjadi...”
“Tidak apa-apa, kau akan sembuh. Semua akan kembali baik-baik saja,” Barra menggenggam tanganku erat-erat.
Aku tak berucap apa-apa lagi. Namun batinku tetap bergejolak. Benarkah rasa perih ini benar-benar bisa hilang? Lalu apakah bekas luka ini juga bisa disembuhkan? Walau aku sudah mendengar tentang kecanggihan operasi plastik sekarang ini, tapi apa ia benar-benar bisa menyembuhkan luka dan mengembalikannya seperti sedia kala?
Sungguh, aku hanya bisa menangis membayangkannya.
***
Aku tahu sejak aku di rumah sakit, Barra belum juga pulang. Ia belum mengabari siapa-siapa. Di hari ketiga, saat ia berniat mengabari Sefa, aku memintanya mengurungkan niat itu. Entahlah, aku seperti tak ingin Sefa tahu tentang ini semua. Terlebih saat aku teringat teriakan-teriakan Madame Kristalia sesaat sebelum kejadian ini.
......
Kau.... datang merebut semuanya...
......
KAU.... MENGHANCURKAN MIMPINYA!
......