Simfoni Kesedihan

Yudhi Herwibowo
Chapter #15

Sefadia Krani (8)

Hanya beberapa hari aku pulang ke kota asalku, namun semua seakan menjadi semakin berat. Permasalahan yang sekian tahun mulai mengendap di dasar hati, kembali muncul menyeruak.

Sebagian tetap saja belum membuatku mengerti. Masih terlalu kabur. Namun setidaknya, aku mulai bisa meraba makna ucapan Barra sebelum ia pergi untuk selamanya. Kenapa pula ia menyebutkan nama Qurie di situ. Samar-samar aku mulai bisa merasakan keterkaitan semuanya.

Aku tentu masih mengingat bagaimana hubungan keduanya. Aku sangat mengenal Qurie. Setiap malam selama bertahun-tahun aku menghabiskan waktu bersamanya. Jadi aku tahu sekali bagaimana ia mencintai Barra. Hanya dengan melihat gerak tubuhnya, aku bisa menebaknya. Dan aku yakin Barra pun menyimpan perasaan yang sama padanya. Terlebih saat melihat keduanya bermain musik bersama. Aku yakin, mereka memang ditakdirkan untuk bersama.

Inilah yang kemudian membuatku merasa sangat bersalah.

Tapi sejak kebakaran itu, keadaanku memang begitu hancur. Hidupku menjadi begitu kacau. Aku benar-benar kehilangan Qurie. Aku mencarinya ke mana-mana. Aku bahkan mendatangi kota tempatnya berasal. Namun aku tetap tak berhasil menemukannya. Anehnya, setiap aku ada dalam pencarianku, bagian paling dalam dari diriku, seperti meyakini kalau mama mengetahui semua ini. Ya, mama mengetahuinya. Tapi aku tak bisa menuduhnya begitu saja. Aku tak memiliki bukti apa-apa. Hanya keyakinanku hati ini saja.

Namun semua berubah saat mama mulai memintaku untuk kembali fokus melanjutkan sekolah. Ia mulai meminta Madame Inge memposisikan diriku sebagai pengganti Qurie. Sungguh, apa yang kupendam beberapa hari ini, tak lagi bisa kutahan. Aku merasa begitu marah. Namun setiap aku berhadap-hadapan langsung dengan mama, aku seperti tak bisa berkutik. Tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutku.

Maka itulah, aku kemudian memutuskan pergi saja.

***

Saat itulah, Barra seakan muncul begitu saja. Aku begitu gembira. Beberapa hari ini mencri Qurie, aku juga mencari dirinya yang juga tiba-tiba seperti ikut lenyap. Sayangnya, aku alpa membaca raut wajahnya yang tengah bersedih. Pikiranku tertutup dengan kesedihanku sendiri. Kesedihan yang telah bercampur dengan ketakutan dan kemarahan.

“Aku akan pergi...” ujarku padanya. “Bila kau bertemu Qurie, katakan aku tak akan kembali lagi ke kota ini.”

“Mau ke mana kau?”

”Entahlah. Asal pergi dari kota ini!”

“Kau akan membawa mobilmu? Tapi kau pernah ke mana-mana selain hanya berputar-putar di kota ini?”

Au tak lagi perduli. Aku sudah meninggalkannya. Tapi Barra menarik tanganku. Diambilnya kunci di tanganku.

“Ayo, biar kutemani kau.”

Barra kemudian membawaku pergi. Aku tak lagi berpikir apa-apa. Aku hanya duduk di sampingnya, tanpa membawa apa-apa. Berkali-kali aku mendengar ia bertanya, “Ke mana kita pergi?”

Tapi aku tak pernah bisa menjawabnya.

Aku membiarkan ia membawaku ke mana ia suka. Kami keluar kota sejauh mungkin.

Dan sepanjang perjalanan itu, kami sama sekali tak bicara. Saat kami meleeati pantai, hanya suara deburan ombak yang terus menemani perjalanan kami. Saat kami melewati hutan, hanya suara angin dan gesekan daun-daun yang menemani kami. Dan aku hanya akan memejamkan mata. Membiarkan denting-denting piano, simfoni yang dibuat Qurie untukku.

Saat aku membuka mata itulah, aku seperti baru menyadari kehadiran Barra di dekatku, dan aku selalu meminta maaf untuk itu.

Semakin jauh mobil kami melaju, tak lagi kuhitung telah berapa kali kami berhenti mengisi bahan bakar, atau sekadar makan di tempat-tempat makan yang kami lalui. Sampai Barra kemudian menghentikan mobilnya.

“Kita sudah berada jauh dari kota kita...” ujarnya.

Aku keluar dari mobil. Menatap sekelilingku. “Aku ingin ke tempat yang lebih jauh lagi...” ujarku.

Dan Barra hanya bisa menurutiku.

***

Lihat selengkapnya