Sampai beberapa bulan ke depan semuanya berjalan seperti biasa. Aku perlahan mulai menata kehidupanku lagi. Tapi rumah ini, bagaimana pun, tetap memerangkap pikiranku pada Barra. Ruang tamu dengan sofa tempat biasanya menyaksikan televisi, kamar tidur dengan lampu baca yang semakin berdebu, dan perputakaan dengan kategori buku-buku sesuai kesukaannya, tak pernah benar-benar bisa mengenyahkan pikiranku darinya.
Sementara itu, aku mulai bertanya-tanya, bagaimana keadaan Qurie sekarang? Di mana ia tinggal? Dan aku tak pernah punya bayangan untuk jawaban semua pertanyaan itu.
Tapi selalu, ada celah-celah kecil yang memberikan jawaban. Itu semacam petunjuk diam-diam dari Tuhan. Hingga suatu kali, di hari-hari yang tak lagi kuhitung, tanpa kusadari aku mendengar berita di televisi…
Kita seperti dikejutkan oleh kehadirannya. Umurnya masih 10 tahun, tapi ia telah begitu piawai memainkan lagu-lagu klasik yang kita ketahui sangatlah rumit...
Aku melirik sekilas ke arah televisi.
Lihatlah pertunjukan tadi. Saat lagu terakhir dibawakan, semua penonton melakukan standing ovation untuk sang pianis cilik kita...,Sefadia Qurie...
Jantungku seakan berhenti detik itu juga. Gelas yang kepegang terlepas begtu saja. Pecah. Airnya membasahi kakiku dan pecahannya melukai kakiku. Tapi aku sama sakeli tak memikirkan itu.