Cling!
Sebuah pesan masuk. Dari Papa.
“Pak Rahmat belum balik dari mudik. Papa yang jemput ya. Ini Papa udah on the way kok.”
Tumben. Seingatku terakhir kali Papa antar-jemput ke sekolah adalah waktu aku masih SD. Bahkan aku tidak ingat waktu kelas berapa. Sudah lama sekali urusan antar-jemput diriku diserahkan kepada Pak Rahmat, sopir yang sudah mengabdi di keluarga kami selama sekitar sepuluh tahun.
Tidak jadi masalah sih. Aku tidak keberatan, tidak juga terlalu bersemangat. Biasa saja. Hubunganku dengan Papa juga biasa saja. Tidak ada yang istimewa, tidak pula ada yang kurang. Mungkin karena hari ini hari pertama kembali ke sekolah setelah libur cukup lama karena Lebaran yang tidak juga aku habiskan dengan kegiatan yang berarti. Tidak ada pula kejadian yang menarik atau membuatku bersemangat hari ini. Sebiasa hari-hari lainnya.
Sebagaimana aku menghabiskan waktu yang lebih banyak ‘biasa-biasa saja’ setiap harinya, aku suka mengeksplorasi berbagai genre musik yang begitu beragam di aplikasi aliran musik Spotify sambil menunggu Papa datang menjemput. Terkadang mood-ku menuntun untuk mendengarkan musik heavy metal, terkadang juga ska. Bahkan perhatianku beberapa bulan terakhir teralihkan pada musik-musik era ’90-an. Aku menemukan begitu banyak genre, eksplorasi bunyi-bunyian maupun paduan genre, hingga artis-artis yang menjadi ikon pada era tersebut meski tak sedikit yang tergolong one hit wonder.
Kali ini secara acak aku memutar sebuah album dari tahun 1997, Pesta Rap 3, setelah sebelumnya aku sudah khatam mendengarkan album kompilasi Pesta Rap (1995) dan Pesta Rap 2 (1996). Konon album kompilasi ini menjadi salah satu tonggak sejarah penting musik rap di tanah air yang melahirkan beberapa lagu dan artis ikonik. Maklum, saat itu musik rap masih tergolong baru dan penikmatnya juga masih sangat terbatas sehingga belum banyak artis yang mendapatkan kesempatan untuk merekam dan merilis album sendiri. Album kompilasi berseri inilah yang menjadi pahlawan dalam melambungkan karir artis-artis rap saat itu.
Ini sudah pagi tapi ku tak masuk sekolah
Maklum pacarannya sama yang udah kuliah
Tapi sebentar pager berbunyi
Maklum dong anak masa kini
Gak taunya masih aja beritanya salah
Lama-lama barang ini bisa bikin ku marah
Kabar yang kutunggu pun tertulis di pagerku masih aja… Cindy melulu…
Dari lagu Tididit (dan tentu saja Wikipedia), aku jadi tahu apa itu pager atau dalam padanan bahasa Indonesianya ‘penyeranta’. Sebuah alat komunikasi satu arah untuk mengirimkan dan menerima pesan. Seperti layanan SMS atau WhatsApp tapi harus lewat peladen dulu, yang mana jaman dahulu tidak bisa berlangsung secara waktu-nyata. Jadi semisal tadi Papa mengirimkan pesan kepadaku untuk menginformasikan akan menjemputku pulang sekolah, mungkin aku baru akan menerimanya saat ia sudah sampai di sekolah. Mungkin saat itu aku sudah memutuskan untuk pulang sendiri atau mampir ke mal dulu. Bisa dibayangkan betapa tidak efisiennya berkomunikasi, bahkan di era ’90-an yang ‘hanya’ sekitar 25 tahun lalu. Belum lagi saat itu teknologi pager hanya bisa dinikmati oleh golongan yang mampu. Yang lainnya harus berpuas dengan telepon rumah. Jika sedang berada di luar rumah, bisa dipastikan sama sekali tidak bisa dijangkau. Satu hal yang membuatku bersyukur tumbuh di era yang sudah jauh lebih cepat dan praktis. Atau karena itu aku jadi merasa segalanya serba biasa saja? Mungkin justru keterbatasan-keterbatasan dalam hal berkomunikasi membuat orang-orang di era ’90-an menjadi lebih merasakan semangat dan antusiasme untuk hal-hal sesepele bertemu atau berkumpul bersama teman-teman?
TIN... TIN..!
Suara klakson membuyarkan lamunan acakku tentang pager dan bagaimana teknologi berkomunikasi mungkin bisa mempengaruhi resepsi seseorang terhadap kesehariannya. Acak tapi menarik juga untuk dijadikan bahan penelitian sosial, bukan? Hehehe…
Sebuah mobil minivan berwarna perak melaju dari pagar gerbang masuk sekolah dan mengerem tepat di depanku yang sedang duduk di salah satu anak tangga menuju pintu utama gedung sekolah. Minivan andalan Papa sejak lima tahun terakhir. Papa memastikannya selalu dalam kondisi prima. Ia mendapatkan perawatan rutin dan maksimal, bak salah satu anak kandungnya. Terkadang aku merasa iri kepadanya. Mungkin karena aku hanya anak satu-satunya dan sejak masuk SMA aku memang mulai menarik diri dari perhatian orang tua dan sebisa mungkin mencoba melakukan segalanya sendiri. Mungkin Papa merasakan post-power syndrome hingga mencurahkan segala perhatian kepada minivan kesayangannya. Mungkin. Setidaknya begitulah hasil analisis pribadi dari pengamatan dan pengetahuan yang aku miliki.
“Belum terlalu lama ‘kan, nunggu Papa?” sapanya sesaat setelah kaca jendelanya bergerak turun.
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Untung sepasang earpiece nirkabel menancap di kedua telingaku, jadi aku punya dalih untuk tidak meresponnya. Aku langsung membuka pintu mobil depan di samping pengemudi dan masuk ke dalam mobil.
“Oke. Jangan lupa pasang sabuk pengaman yang kencang,” ujarnya memperingatkan bak seorang pembalap.