Maret 1998.
Masa-masa SMP tidak pernah benar-benar terasa mengesankan. Semuanya biasa saja. Aku tidak punya hobi (tidak berani punya, lebih tepatnya) seperti teman-teman yang lain. Aku tidak tahu hal lain yang aku nikmati untuk dilakukan selain pelajaran sekolah. Tidak olahraga, tidak kesenian. Tidak ada sama sekali yang membuatku tertarik untuk dicoba. Orang tuaku juga tidak pernah berinisiatif untuk mengikutkanku les atau kursus apa pun. Bahkan tidak untuk bimbingan belajar. Mereka sangat percaya akan kemampuanku untuk memahami pelajaran dan mendapatkan nilai bagus di sekolah. Kepercayaan mereka memang bukan tanpa alasan. Meski tidak pernah sampai menjadi ranking pertama atau kedua, setidaknya aku masih selalu masuk lima besar di kelas, dan kedua orang tuaku sudah cukup puas dengan pencapaian tersebut.
Kendati demikian, aku merasakan ada kegelisahan dari rutinitasku sehari-hari yang mulai terasa membosankan. Namun aku juga tidak berani mengambil resiko membuat Papa-Mama khawatir akan diriku jika aku mencoba berbagai kegiatan lain di luar pelajaran sekolah.
Mungkin ketika aku melihat video musik rap dan hip-hop di stasiun TV khusus musik, atau melihat anak-anak muda lain melakukan breakdance, atau mengutak-atik turntable hingga menghasilkan bunyi-bunyian yang menurutku keren, sempat muncul keinginan dalam benakku untuk menirukan atau setidaknya mencoba juga. Namun di saat yang sama seolah ada bagian dari diriku yang mengingatkan:
“Ah, kamu mana bisa?”
“Ngapain nyobain? Buat apaan? Mau jadi apa nanti?”
“Ga ada gunanya, ah!”
Suara-suara yang meredam rasa penasaran dan keinginanku untuk mencoba hal-hal baru selalu berkecamuk di dalam pikiranku, membuat nyaliku ciut untuk sekadar mencoba, dan akhirnya belum pernah berhasil membuatku mencoba apa pun. Tak jarang aku bermimpi menjadi orang keren dengan segudang talenta, jago ngerap, jago membalas ocehan rap orang lain secara spontan, tanpa memikirkan terlebih dahulu kata-kata apa saja yang akan keluar dari mulutku, tapi semuanya tetap bisa berima. Wow, ternyata aku bisa keren banget juga! Tapi semua itu buyar ketika kuterbangun dan menyisakan rasa bersalah hanya karena punya angan ingin menjadi keren. Suara-suara dari dalam diri yang menjatuhkan nyaliku kembali bergemuruh. Semuanya langsung kembali menjadi rutinitas yang, harus kuakui, sebenarnya membuatku depresi.
Mungkin faktor tak ada minat di luar pelajaran sekolah juga mempengaruhi lingkungan pergaulanku di sekolah yang tergolong minim. Hmmm oke, lebih tepatnya tidak ada. Kalaupun ada, hanya bersifat formalitas. Saling tahu tapi tidak mengenal. Jatah ‘hanya didekati untuk mendapat contekan ujian atau PR’ pun sudah habis diambil oleh siswa yang menduduki ranking pertama dan kedua. Entah harus lega atau sedih, aku belum pernah mengalami keduanya. Selepas jam pelajaran usai, aku memilih langsung pulang belajar di rumah. Kalau pun ada PR yang butuh referensi, aku lebih memilih nongkrong sendirian di perpustakaan sambil menyumpal kedua lubang telingaku dengan earphone yang terhubung dengan walkman. Hanya musik yang setia menjadi teman, apa pun kegiatanku yang jenisnya memang sangat terbatas.
Terima kasih untuk stasiun TV yang khusus menayangkan acara video musik, yang membuatku mulai tertarik mengeksplor berbagai jenis musik. Ada satu genre yang akhir-akhir ini menarik perhatianku: rap. Aku menemukan beat asyik dan sesuai dengan semangat hidup yang selama ini terpendam oleh rutinitas sehari-hari, ditambah lirik-lirik bak cerocos jujur, apa adanya, terkadang terkesan asal, tapi sebenarnya mengkritisi isu-isu masa kini, dan pilihan-pilihan katanya yang berima serta diucapkan secara cepat membuatnya terdengar begitu keren. Rasa ketertarikanku akan musik rap inilah yang akhirnya membuatku memberanikan diri membeli kaset album kompilasi Pesta Rap 3 dari hasil menabung uang jajan selama seminggu. Lagu hits Percuma dari Da Ricuh dan Anak Jalanan dari X-Crew jadi pemicu terbesarnya. Album kompilasi ini menjadi kaset penghuni tetap di walkman-ku selama seminggu terakhir.
Meracuni diri dengan lagu-lagu rap setiap hari ternyata memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap diriku sendiri. Entah bagaimana tiba-tiba otakku dijejali kata-kata yang mengalir begitu saja, mengikuti beat yang juga sudah tercipta begitu saja dalam otakku. Kegelisahanku kian memuncak, tapi kali ini bukan lagi kegelisahan karena bosan dengan rutinitas sehari-hari, melainkan kegelisahan untuk mengeluarkan untaian kata-kata yang terangkai cukup rapi dalam otak. Akhirnya iseng-iseng aku tuliskan kata-kata tersebut di sebuah buku tulis. Lebih tepatnya buku PR Bahasa Indonesia yang sangat jarang diisi karena Sang Guru, Ibu Lilis, lebih suka melatih praktek di kelas ketimbang memberikan PR. Sambil mendengarkan album Pesta Rap 3 lewat earphone yang menancap ke walkman, aku terlihat sedang kesetanan, menulis dengan menggebu-gebu, ditemani beberapa buku ensiklopedia tentang alat optik yang tertumpuk di samping buku PR Bahasa Indonesia, di ruang perpustakaan yang terpantau sepi. Maklum, tak banyak siswa berinisiatif nongkrong di perpustakaan setelah jam pulang sekolah. Kebanyakan lebih memilih nongkrong di kafe sebelah sekolah, makan siang sambil menantikan jam ekstrakurikuler.
Aku seperti terhipnotis dan tenggelam dalam dunia di mana irama musik mengendalikan segalanya. Garis-garis warna-warni yang bergerak mengikuti irama musik bak neon yang berpendar kuat di dalam ruang gelap tanpa batas yang jelas. Tubuhku seolah-olah melayang-layang ke sana-kemari, tangan kananku tak terkontrol merangkaikan untaian kata-kata di atas garis-garis neon tersebut. Jujur aku masih terus berusaha memahami kondisi tersebut. Apa yang menyebabkannya, bagaimana proses terjadinya, dan bagaimana aku harus bereaksi. Namun semua pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa muncul begitu saja di otak untuk kemudian lenyap dalam sekejap. Otakku seolah tidak punya kesempatan untuk memikirkan logika dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada sesuatu, kekuatan yang memaksa otakku untuk terus berkonsentrasi merangkai kata-kata sesuai irama musik yang berkumandang entah dari mana. Begitu membingungkan, membuatku kewalahan, tapi juga begitu memabukkan dan menyenangkan.
Tiba-tiba tubuhku berguncang cukup kencang. Seperti ada sesuatu yang mengkoyak-koyak punggungku.
“Ren… Ren… lo nggak apa-apa?”
Seketika aku membuka mata, aku kembali ke ruang perpustakaan. Kulepaskan earphone dari kedua telingaku. Saat kutengok ke belakang, ada Bara, teman sekelasku, dengan wajah keheranan bercampur khawatir.
“Eh, Bar? Gue… gue nggak kenapa-kenapa kok. Ada apa emangnya?” Aku menjawab dengan panik, takut dia akan menganggapku aneh karena aku tidak tahu persis apa yang aku lakukan barusan.
“Khawatir aja, gue. Lo kelihatan kayak ketiduran tapi kepala dan badan lo gerak-gerak nggak beraturan. Takut ayan lo kumat atau kenapa gitu,” ledeknya agak serius.
Tawa spontan meledak dari tenggorokanku. Terdengar seperti agak dibuat-buat karena jujur, ada rasa khawatir sekaligus geli yang aku rasakan dari reaksi Bara.
“Sembarangan, lo! Gue nggak punya ayan kali…” sambarku.
“Ya, siapa tahu? Habis badan lo gitu banget tadi. Meski ga dekat-dekat banget, tapi kan kita teman sekelas. Lo juga sendirian doang di sini. Kalau ada apa-apa kan, berabe?”
“Oke, thanks. Tapi seriusan, gue nggak kenapa-kenapa. Mungkin gue cuma mimpi aja,” aku terdengar mulai lebih serius, berharap Bara tidak makin menganggapku aneh.
Bukannya pergi meninggalkanku, Bara malah duduk di bangku sebelahku.
“Mimpi apaan, lo? Sampai segitunya?” Oke, upayaku gagal. Bara makin penasaran.
Aku tak langsung menjawab. Jujur, aku bingung bagaimana menjelaskannya agar ia bisa memahami. Bagi diriku sendiri, mimpi atau apapun yang terjadi pada diriku barusan, adalah pengalaman yang sangat aneh dan di luar nalar.
Tatapan Bara teralihkan ke buku PR yang terbuka persis di depanku.
“Apaan nih? Puisi? Memangnya kita ada PR Bahasa Indonesia?”
Bagus, makin banyak pertanyaan yang Bara cecar ke aku. Ia memungut buku PR Bahasa Indonesiaku dan mulai membaca rangkaian kata absurd yang baru saja aku tuliskan saat sedang berada di ‘dunia rap’.
“Ehm… itu… itu bukan PR kok. Gue iseng aja nulis lirik lagu rap…” jelasku dengan terbata-bata, mencoba menjelaskan tanpa terdengar terlalu aneh.
“Lirik rap? Lo… ngerap? Sejak kapan?” Semakin banyak pertanyaan yang ia bombardir, semakin kewalahan aku menjawabnya.
“Gue cuma iseng aja, kok. Cuma ngeluapin apa yang ada di benak gue aja.”
“Keren, man! Gue nggak pernah nyangka lo bisa nulis lirik rap. Coba dong lo bawain,” ujarnya dengan antusias.
“Nggak bisa. Gue belum pernah…” aku mencoba memberikan alasan agar ia berhenti mendesakku.