Simfoni Ruang Kosong

Rahma Roshadi
Chapter #2

Cerita dari Kota Lain

Bandung, Juli 2024.

Kota ini menyambutku dengan suhu dingin ekstrem di hari pertama kuinjakkan kaki di sini. Dinginnya menggigit. Melumat semua kehangatan yang pernah ada.

Kontrakan ini kecil. Tapi sangat cukup untuk aku tinggali sendirian. Sementara. Atau entah sampai kapan. Salah satu misteri Tuhan yang hingga kini tak pernah bisa kutebak adalah kemana Dia akan menempatkanku.

Aku pernah berpikir akan selamanya tinggal besama hangatnya keluarga. Atau berpindah hanya menuju satu kota. Nyatanya, percaya atau tidak, ini sudah kesepuluh kalinya. Aku pikir sudah tidak mungkin ada lagi makhluk nomaden di dunia ini. Lalu aku apa?

Pagi pertamaku di sini. Duduk di ruang tamu. Memandang kosong secangkir kopi. Rasanya aku tadi menyeduhnya dengan air panas. Tapi cepat sekali teraba dingin lagi.

Entah mau apa aku hari ini. Sekujur tubuh hingga otakku sudah beku. Tak bisa lagi diputar. Rasanya ingin segera bertemu Tuhan dan bertanya untuk apa aku masih dibiarkan bernapas?

Di luar, angin pagi membawa sayup-sayup suara kehidupan orang lain. Tetangga yang bercengkerama. Anak-anak yang berlarian sambil tertawa lepas di jalanan. Dunia terus bergerak. Tapi tidak di tempat ini.

"Kamu sudah membuat keputusan," batinku besuara pelan, seolah berusaha meyakinkan diri sendiri.

Namun di balik kata-kata itu, aku masih menyimpan keraguan yang tak bisa sepenuhnya kuhapus. Aku sudah meninggalkan Raka, meskipun masih menyisakan pertanyaan besar yang terus menghantui, “Apakah keputusan ini benar?”

Bak keping mata uang, setiap kali aku mengingat Raka, selalu ada dua sisi yang muncul tak tertebak. Bagiku, Raka pernah mengisi kekosongan hati ini sebagai laki-laki pilihan. Demikian halnya penilaian orang lain terhadap Raka sebagai orang baik, mungkin sampai saat ini.

Sosok yang lembut, penuh perhatian dan pribadi yang damai dan sabar. Anak baik. Itu jugalah yang dulu seketika membuatku jatuh hati karena hampir semua orang menceritakan laki-laki yang tutur katanya bak sabda seorang pandita.

Perempuan mana yang tak luluh ketika mendapati laki-laki yang masih mau merawat orang tuanya. Sebuah pilihan saat ini sudah tidak lagi dianggap sebagai kewajiban seorang anak yang beranjak dewasa.

Hampir tak ada cela. Malah sebaliknya, aku yang saat itu merasa hina dan khawatir keluarga Raka akan menolakku mentah-mentah. Sama seperti yang dilakukan keluarga Andi, Rico, Bimo dan daftar laki-laki lain yang memiliki standar kriteria tersendiri untuk memilihkan pasangan untuk anak laki-lakinya.

“Cari istri yang mau nurut apa kata suami. Perempuan yang sekolahnya tinggi, biasanya egonya juga tinggi.”

Tapi tunggu, bukankah ego seseorang memang berbanding lurus dengan intelegensi yang dia miliki? Ah, sudahlah. Faktanya perjuangan perempuan untuk setara masih terus menyusuri jalan sunyi. Padahal, banyak hal yang seharusnya dipikirkan secara adil. Laki-laki sering kalah bicara di hadapan perempuan, bukan karena perempuan yang tak mau kalah. Mungkin saja laki-laki itu memang ber-IQ rendah atau kemampuan verbalnya yang lemah.

Belum lagi jika bicara soal perempuan penurut yang selalu menjadi standar ganda rumah tangga berlabel 'samawa'. Sedikit yang kutahu, manusia diciptakan dengan akal sekaligus hawa nafsu. Akal yang akan menuntun manusia menjadi baik, sementara hawa nafsu lah yang cenderung membawa kepada perilaku kebinatangan.

Lalu, mengapa ia tidak gunakan akalnya sebagai makhluk mandiri untuk memilih hal yang harus ia ikuti atau tidak ikuti? Dalam hal apa perempuan harus tunduk pada laki-laki atau makhluk bernama suami, jika laki-laki itu bahkan belum mampu menjaga kebaikan dirinya sendiri.

Dasar patriarki rumit.

Semua berjalan dengan topeng kepalsuan namun tampak sempurna. Tanpa pernah ada yang tahu peristiwa demi peristiwa yang pernah kulalui di ruang gelap itu selama 4 tahun ini. Sesuatu yang aku sendiri tak pernah benar-benar bisa pahami. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka, suamiku, di hadapan orang lain terasa seperti pisau yang menusuk jauh ke dalam hatiku.

"Kamu adalah dua orang yang berbeda," pikirku.

Namun entah, meskipun berulang kali aku berpikir tentang hal itu, aku tetap saja sulit melepaskan diri dari bayang-bayang Raka. Saat-saat di mana Raka terlihat begitu mencintaiku telah menjerat batin dan membelengguku di dasaran jurang terdalam. Terkurung dan sangat sulit menggapai permukaannya untuk bebas.

Aku bangkit dari kursi, berjalan menuju meja di sudut ruangan. Laptop tua tergeletak menunggu dibuka. Bersanding dengan buku-buku penuh debu. "Menulislah," bisikku pelan, “Itu adalah satu-satunya hal yang selalu membuatmu merasa hidup bukan?”

Menulis adalah dunia kecilku. Di alam yang lain ini aku bisa menuangkan seluruh emosi tanpa harus khawatir dihakimi. Tetapi bahkan, hal itu pun tak sepenuhnya disetujui oleh Raka.

“Kenapa kamu harus menulis? Untuk apa? Supaya semua orang tahu apa yang terjadi di sini?!” Suara Raka seolah kembali menggetarkan gendang telinga. Menciptakan gema yang tak pernah hilang. Di luar semua kata manisnya, ada tuntutan yang sangat keras bagiku untuk menjadi perempuan baik, versi Raka dan orang tuanya.

“Ini pekerjaanku! Aku lakukan ini untuk membantu keluarga kita menyambung hidup! Mau sampai kapan mengandalkan harta waris orang tuamu?!” teriakanku waktu itu terus saja masih ingin kulontarkan sampai sekarang.

Entah sudah berapa kali aku mencoba menuliskan kata-kata kasar itu di kertas. Merobeknya, membakar dan membuangnya... tapi tetap tak berhasil mengusirnya dari ingatan.

Orangtuaku tidak pernah mendidik anak-anaknya menjadi peminta-minta. Atas nama harga diri, berusahalah berdiri di kaki sendiri. Kata bapak dulu, sebisa mungkin, jangan sampai kita punya utang budi. Didikan ini berlaku sama, untuk anak laki-laki dan perempuan mereka.

“Harus bisa protect diri sendiri,” begitu kata Ibu waktu aku berkabar sedang sakit di perantauan. Meskipun setelahnya Ibu datang menjenguk, tapi bombardir nasihatnya lebih dulu membuatku memilih sehat secepatnya.

Kalimat semacam itu pernah kuucapkan kepada Raka, waktu aku tahu dia memilih beralasan sakit demi bolos kerja. Menurutku, sifat kekanak-kanakan Raka sudah kelewatan. Dia sudah jadi seorang suami yang seharusnya bertanggungjawab menafkahi istri, tapi lebih memilih absen bahkan resign dari pekerjaan hanya karena alasan capek.

Ini bukan soal uang nafkah. Ini soal ikrar janji yang pernah dia ucapkan saat akad nikah.

Perasaan berdosa terus datang mencekik. Seorang istri yang telah berani membentak suami adalah perempuan kasar. Begitu kata orang-orang. Satu hal yang juga tabu dilakukan oleh kebanyakan orang, termasuk keluarga Raka, tanpa pernah bertanya kenapa aku sampai melakukannya.

Jemariku gemetar seperti ingin ikut berpikir keras. "Apa yang harus kutulis?" Semua yang ingin aku ungkapkan seakan terjebak di tenggorokan. Terperangkap di antara rasa takut dan keinginan untuk memuntahkan semuanya.

Satu menit. Lima menit. Hampir satu jam tanpa sebuah kalimat yang berarti.

Getaran ponsel membuyarkan lamunanku pagi ini. Nama yang muncul di layar membuat hatiku sedikit lega—Rudi.

“Pagi, Alya,” suara Rudi terdengar lembut di telinga. Sejenak membawa ketenangan dan mengusir gelisah.

Aku menarik napas panjang, merasa sedikit lebih ringan. “Pagi, Rud.”

“Aku ada di sekitar sini. Boleh mampir? Aku bawa sarapan,” tawarnya.

Tanpa pikir panjang, Aku mengangguk meski Rudi tak bisa melihat anggukanku. "Boleh."

Tak berselang lama, pintu kontrakan diketuk dan Rudi masuk dengan senyum hangat. Meskipun tulus, Aku bisa merasakan tatapan sorot mata rudi yang ingi segera menginterogasi. Kawan yang sudah lama mengenalku, bahkan sebelum aku bertemu dengan Raka. Rudi pasti tahu di balik senyumku ada luka yang belum sembuh.

“Kurusan, Al. Sehat ‘kan?” tanyanya sembari meletakkan dua bungkus nasi goreng lengkap dengan telur ceplok dan krupuknya di atas meja. Rudi juga membawa sebungkus orek tempe, "Buat kamu makan nanti siang," begitu katanya.

Aku menghela napas, mencoba menghindari tatapannya.

“Mmm, aku lagi seneng olah raga belakangan ini, Rud. Pengen lebih sehat aja dan dapat bonus turun berat badan,” jawabku agak panjang.

Jujur saja, instagram telah membantuku menemukan aktivitas untuk melepaskan emosi. Tak peduli akan dibilang FOMO, tapi kenyataannya aku memang sedang ingin melampiaskan energi negatif yang sering membuatku naik asam lambung, asma dan eksim.

Rudi duduk tepat di depanku. Senyum sinisnya berganti menjadi tawa tipis menertawakanku yang sepagi ini sudah tampak bodoh.

"Nggak perlu pura-pura kuat."

Lihat selengkapnya