Semarang, 1992.
Langit mulai berubah jingga ketika angin sepoi-sepoi menyapu halaman rumah kecil itu. Kota ini gerah, tapi hembusan angin dan suara burung gereja yang beterbangan di atas atap membuatnya lebih sejuk dari semestinya.
Alya kecil berlarian di halaman depan rumahnya. Kaki mungilnya telanjang. Menari di atas rumput yang basah setelah siraman gerimis sore hari. Tawa renyahnya memenuhi udara, menembus kehangatan rumah yang selalu menyambutnya dengan cinta.
Bapak sedang di dapur, mengenakan celemek kotak-kotak merah yang sedikit kebesaran. Tangannya yang besar dan kuat dengan lincah membolak-balik nasi goreng di wajan.
Suara spatula beradu dengan wajan menjadi melodi yang tak asing bagi Alya. Aromanya menguar, memenuhi seluruh ruangan dengan wangi yang membuat perutnya berkeroncong.
“Hmmm, nasi goreng spesial ala Bapak,” gumam Alya dengan mata berbinar.
Di tengah riuhnya dapur dan harumnya nasi goreng yang sedang dimasak, rumah kecil keluarga Alya terasa lebih hidup dari biasanya. Bapak yang selalu lincah dan tak pernah keberatan berada di dapur, sementara Kak Adit—kakak tertua Alya yang empat tahun lebih tua darinya—sedang duduk di teras depan sambil membaca buku tentang strategi militer.
Adit adalah sosok kakak yang sangat diam. Ia sangat terobsesi pada dunia militer dan strategi perang. Namun demikian, ia selalu bersikap lembut pada adik-adiknya. Adit bisa menjadi tempat Alya mencari jawaban ketika ia bingung dengan pelajaran sekolah atau sekadar ingin bercerita tentang hari-harinya.
Adik bungsu mereka, Ardi, masih nyenyak dalam buaian. Belum genap setahun ia hadir di dunia, membuat Alya gagal menjadi anak bungsu di usianya yang kesembilan.
Nasi goreng selalu jadi menu favoritnya, terutama karena Bapak akan menambahkan potongan sosis dan telur mata sapi yang renyah di tepinya. Masakan ini selalu dibuat bapak ketika anak-anak lapar dan ibu sedang tak bisa meninggalkan Ardi sendirian. Masakan tercepat yang bapak buat saat Alya mulai merengek tak mau makan. Menu yang selalu kami pesan ketika bepergian dan ingin berhenti makan di jalan.
Alya duduk di meja makan, memerhatikan Bapak yang sedang membolak-balik nasi goreng di atas wajan. Matanya berbinar melihat gerakan cepat dan terampil tangan Bapaknya. Bagi Alya, aroma nasi goreng ini adalah bagian dari kehidupan yang paling ia nanti-nantikan setiap hari.
Di balik kesederhanaannya, nasi goreng Bapak selalu memiliki keistimewaan yang membuatnya berbeda dari yang lain. Tapi hari ini, Bapak tampak lebih serius dari biasanya.
“Bapak, kenapa nasi goreng buatan Bapak selalu enak?” tanya Alya dengan polos, sambil menopang dagunya di meja.
Bapaknya berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Alya. Senyum tipis terulas di bibir Bapak, hampir bersamaan dengan senyuman Ibu yang sedang menidurkan Ardi.
“Jelass doonk... nasi goreng bapak nggak ada tandingannya,” pujian ibu terlontar penuh bahasa cinta, “juara masak nasi goreng tiap tujuh belasan.”
Keduanya terkekeh seolah tengah mengingat memori indah yang belum banyak diceritakan pada anak-anak.
“Nasi goreng ini enak bukan cuma karena bumbunya, Nak. Ada yang lebih penting dari itu.” Bapak mulai berujar.
“Apa?” Alya kecil semakin penasaran.
Bapak meletakkan spatula di atas kompor, lalu duduk di kursi di depan Alya, Adit, dan Ibu.
“Kalian tahu nggak, kenapa Bapak selalu ingin masak nasi goreng untuk kalian?”
Alya menggeleng pelan, sementara Adit menunggu dengan penuh rasa ingin tahu. Ardi, pun mendadak terbangun dengan mata lebar berbinar.
“Nasi goreng itu lebih dari sekadar makanan. Ini tentang harmoni. Bahkan lebih dari itu, ini simfoni,” Bapak mulai menjelaskan.
“Dalam satu wajan nasi goreng, ada banyak bahan yang berbeda-beda. Nasi, bawang merah dan putih, garam, telur, sosis, kecap—semua punya rasa dan teksturnya sendiri-sendiri. Tapi ketika dimasak dengan cara yang tepat, semuanya menyatu menjadi satu hidangan yang lezat. Seperti kita, satu keluarga, yang punya peran dan sifat masing-masing. Kalau kita saling melengkapi, seperti bahan-bahan dalam nasi goreng ini, kita bisa menciptakan sesuatu yang indah. Sesuatu yang tak bisa didapatkan dari satu bahan saja.”
Alya terdiam, merenungkan kata-kata Bapaknya. Kak Adit mengangguk kecil, sementara Ardi baru bisa menatap wajah ibu. Baginya, air susu ibu adalah anugerah terlezat di muka bumi.
“Jadi, nasi goreng Bapak itu enak bukan cuma karena bumbunya. Tapi karena Bapak selalu memasaknya sambil membayangkan kita semua—kalian bertiga, ibu, dan kita sebagai keluarga,” timpa ibu, “Bapak selalu berharap kita bisa terus bersama dan menyatu, saling melengkapi meskipun kita semua punya sifat yang berbeda-beda,” lanjut Ibu, matanya kini beralih dari Alya ke Adit, lalu ke Ardi yang tampak mulai mengantuk dan hampir tertidur di meja makan.
“Dan satu lagi,” Bapak menambahkan sambil tersenyum kecil, “Dalam hidup, seperti nasi goreng, kadang kita harus melalui panas dulu sebelum semua bisa menyatu. Setiap masalah yang kita hadapi, setiap kesulitan atau ujian, itu seperti panas di wajan. Kalau kita bisa bertahan, pada akhirnya kita akan menemukan rasa yang enak di akhirnya.”
Alya tersenyum mendengar penjelasan itu. “Berarti kita harus seperti nasi goreng, ya, Yah?”
Bapak tertawa kecil. “Iya, Alya. Kita harus bisa menyatu, walaupun berbeda. Dan ingat, kalaupun panas, itu hanya sementara. Yang penting kita bisa bersama-sama dan saling mendukung, apa pun yang terjadi.”
Percakapan itu terasa begitu dalam bagi Alya kecil. Baginya, nasi goreng bukan lagi sekadar makanan favorit yang ia nikmati hampir di setiap sore, tapi juga simbol dari keluarganya. Ia mulai memahami bahwa keluarga bukan hanya soal berada di tempat yang sama, tapi juga soal bagaimana mereka bisa menyatu, menerima perbedaan, dan mau berjuang bersama.
“Ayo, sekarang cuci tangan dulu, sebentar lagi makanannya siap,” seru Bapak.
Tanpa ragu, Alya berlari menuju wastafel di dapur. “Bapak, Alya lapar banget.” tanya Alya dengan suara manja.
Bapak tersenyum hangat, matanya bersinar penuh kasih sayang. “Sabar ya, Nak. Satu menit lagi. Nanti, kamu yang siapin piringnya, ya.”
Alya mengangguk semangat, langsung mengambil piring dari rak dapur. Setiap kali Bapak masak nasi goreng, rasanya seperti ada momen spesial di rumah mereka. Seperti ada jembatan tak terlihat yang menghubungkan mereka dalam kesederhanaan yang begitu hangat. Nasi goreng itu bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari kebersamaan.
Sementara itu, di meja makan masih tersisa orek tempe sisa sarapan tadi pagi. Olahan pedas manis itu juga sederhana, tapi setiap gigitan sama-sama membuat Alya merasa nyaman, seolah kehangatan cinta dari tangan ibunya langsung masuk ke hatinya.
Keratan tempe berbentuk balok-balok kecil diolah sedemikian lezat dengan irisan cabai merah, bawang merah, lengkuas dan salam-serai. Bukan kecap, tapi ibu selalu menggunakan gula jawa untuk menciptakan warna coklat yang khas. Selain itu, cita rasa manis dari gula jawa berbeda dengan kecap. Legit, tapi tetap membiarkan rasa pedas cabai sedikit tercecap.
“Habiskan juga ini orek tempenya, ya. Ini kan masakan Ibu,” sering kali ibunya bercanda ketika melihat Alya terlalu asyik dengan nasi goreng Bapak.
Setelah makanan siap, mereka berkumpul di ruang makan. Meja kecil itu penuh dengan canda tawa, cerita tentang hari yang mereka lalui. Alya bercerita tentang teman-temannya di sekolah, tentang permainan baru yang mereka mainkan, dan tentang gurunya yang baru.
Bapak selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara ibunya sesekali menyela dengan cerita dari tetangga. Keluarga ini kecil, sederhana, tapi penuh dengan cinta dan kebersamaan yang tulus.
Selain obrolan di meja makan, ada ritual khusus lain yang tak kalah Alya nantikan—menikmati kopi sore di teras bersama ibunya. Tentu saja, Alya tidak benar-benar minum kopi. Tapi ia selalu ikut duduk di sebelah ibunya, menyeruput susu cokelat hangat dari cangkir kecilnya.
Mereka akan duduk di kursi kayu yang sudah agak tua, sambil menikmati angin sore yang sejuk. Memandangi koleksi anggrek bulan yang terawat baik oleh tangan terampil Ibu.
“Ibu, Alya mau cerita,” kata Alya suatu sore, ketika mereka sedang duduk berdua di teras. Matahari hampir tenggelam, menyisakan semburat warna oranye di langit.
“Coba, cerita apa? Ibu dengar.” Ibu selalu begitu, penuh perhatian, seolah-olah dunia berhenti ketika Alya mulai bicara.
Alya menatap langit sebentar, mencoba merangkai kata-katanya. “Nanti kalau Alya besar, Alya pengen punya keluarga seperti ini. Punya suami yang sayang sama Alya, kayak Bapak sayang sama Ibu. Terus kita masak bareng-bareng, makan bareng-bareng, ngobrol seperti kita sekarang.”
Ibu tersenyum, matanya berbinar mendengar impian polos putri kecilnya. “Alya pasti bisa punya keluarga yang bahagia, kalau Alya tetap jadi anak yang baik dan selalu ingat apa yang penting dalam hidup. Yang paling penting itu bukan hanya cinta, tapi juga mau saling mengerti, saling menerima kekurangan, dan mau berjuang bersama-sama.”
“Berjuang?” tanya Alya, bingung. Baginya, keluarganya sudah sempurna. Tak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Semuanya terasa mudah dan indah. Tapi Ibu mengangguk dengan bijak.
“Iya, berjuang. Kadang-kadang, dalam hidup, kita akan menghadapi masalah. Tapi kalau kita berjuang dengan dasar saling mencintai dan mau saling memahami, masalah apapun pasti bisa diselesaikan. Perjuangan itu yang kadang kita lupa.”
Alya termenung mendengar nasihat Ibunya. Kata “berjuang” mungkin belum sepenuhnya dimengerti oleh Alya kecil, tapi ia menyimpan kata-kata Ibunya dalam hati. Bagi Alya, keluarganya adalah gambaran sempurna dari apa yang ia impikan di masa depan. Suatu hari, ia juga ingin memiliki keluarga yang seperti ini—hangat, penuh cinta, dan selalu bisa menghadapi apapun dengan perjuangan yang dilakukan bersama-sama.
Setiap kali mereka duduk di teras, Alya merasa seperti dunianya begitu utuh. Bapak dan Ibu yang selalu ada di sisinya, dengan kebahagiaan yang tampak abadi. Di bawah sinar bulan yang mulai muncul, Alya sering kali menutup matanya dan membayangkan masa depannya.
Dalam imajinasi itu, ia melihat dirinya dewasa. Hidup bersama dengan seorang suami yang baik, yang selalu membuatnya merasa dicintai, seperti Bapak. Ia membayangkan rumah yang tenang, tidak ada teriakan melainkan hanya canda dan tawa, memasak bersama, dan saling mengisi kekurangan satu sama lain.
Tapi kenyataan terkadang lebih rumit dari sekadar imajinasi anak kecil. Alya kecil tidak tahu bahwa kehidupan dewasa tidak semudah yang ia bayangkan. Bahwa terkadang, cinta dan kebersamaan tak selalu cukup untuk mengatasi luka dan kepedihan yang datang tanpa diundang.
Namun, dalam kenangan masa kecil itu, Alya menemukan kekuatan—kekuatan yang kelak membawanya menghadapi segala tantangan dalam hidupnya, meski dengan hati yang sering terluka.