Sabtu pagi di pertengahan bulan Desember. Semilir sejuk angin pagi menjadi penghantar frekuensi alunan dendang syair yang bersumber dari halaman rumah Pak Haris.
Tenda terpal biru tua terpasang beradu kontras dengan kursi plastik lion star warna hijau botol. Tertata rapi di sepanjang halaman rumah. Beberapa orang terlihat lalu-lalang memperhatikan ini dan itu. Rupanya, anak keempat Pak Haris menemukan jodohnya.
“Hajat, Bah?” suara parau orang-orang yang melintas dengan ojek samar-samar terdengar di tengah senandung syair Parsi. Tak banyak yang tahu hajat apa gerangan yang sedang terhelat di rumah Abah, panggilan akrab Pak Haris.
“Dieu, Jang! Bantuan Abah ngangkutan kursi!” kata Pak Haris dengan logat Sunda yang lantang, mencoba menghentikan beberapa pemuda yang lalu-lalang sekadar untuk membantu mengangkat kursi.
Raka, anak keempat Pak Haris di antara lima bersaudara, adalah yang terakhir menikah. Entah terlalu memilih atau sudah gurat kadarnya, sehingga baru di usia tiga puluh tujuh lebih tiga bulan ia baru berani mengucap janji sehidup semati. Bahkan anak bungsu Pak Haris sudah beranak dua.
Tidak terlihat suasana mewah layaknya pesta pernikahan di gedung-gedung atau hotel berbintang. Hanya halaman rumah yang disiapkan untuk tamu laki-laki, dan sekat seadanya untuk memisahkan dengan halaman rumah tetangga untuk menjamu tamu perempuan.
Begitulah kebiasaan keluarga besar mereka yang juga masih sering mendapat sindiran satir. Penyelenggaraan pesta pernikahan dengan memisahkan tamu laki-laki dan perempuan, tanpa sedikit pun ada alunan musik atau lenggak-lenggok biduan. Mereka yang tidak paham, pasti mengira pernikahan seperti ini hanya ada di adat keluarga Pak Haris.
Pernikahan, bagi Pak Haris dan keluarga besarnya, bukanlah ajang menjual anak. Tidak perlu memajang pengantin dengan kemewahan, menyebar undangan-undangan indah dan wangi yang hanya akan berakhir di tempat sampah.
Tidak pula berharap imbalan lewat amplop-amplop yang tujuan utamanya hanya untuk menutup pelunasan sewa tenda, gedung, katering, hingga mahar yang masih ‘ngutang.
Belum lagi tradisi-tradisi ruwet yang biasa dilakukan oleh warga desa. Mereka yang punya hajat, harus open house sebelum hari-H pernikahan, untuk menerima sumbangan amplop dari para tamu, dan membalas amplop pemberian dengan ‘pulangan’ berupa 7 macam masakan matang atau mentah.
Tapi, yang menyumbang lima puluh ribu jangan harap dapat balasan sama banyak dengan yang memberi seratus ribu, dua ratus ribu, atau selebihnya. Adat ini membuat sesama tetangga dan saudara bisa perang dingin hanya gara-gara potongan daging yang beda ukuran.
“Bah, kalau terakhir nikahin anak, kenapa nggak pesta sekalian? Panggil wayang 7 hari 7 malam.” Seorang tetangga bertanya sompral. Berita pernikahan artis di media sosial rupanya sudah merasuk ke pikiran bawah sadar beberapa penduduk desa.
“Abah sudah lupa dalil perkara ini. Tapi yang jelas, urusan pernikahan sudah dicontohkan bagaimana tata caranya oleh nabi. Jadi kalau kita ikuti sesuai contoh, berarti kita taat. Jadi bukan urusan uang, ini urusan syariat!”
Leher Abah semakin berurat saat ada saja orang yang nyinyir dengan kesederhanaan pola pikir. Lagi-lagi semua yang mencibir merasa menang, karena Abah memang tak pernah melawan. Apalagi dengan saudara dan tetangga. Ibu di sampingnya, setia menenangkan dengan segelas kopi susu dan setoples camilan kue saroja.
“Boro-boro pesta,” Ibu mengambil alih komando dan mulai bercerita, “dulu waktu Abah datang ke rumah, Ibu hanya boleh ngintip di kamar sama bapaknya Ibu, nggak boleh keluar. Setelah Abah pulang, baru Ibu ditanya sama bapak, ‘kamu suka nggak sama laki-laki itu? kalau kamu suka, Bapak akan terima lamarannya’. Jaga kehormatan perempuan!”
Kehormatan perempuan? Sebuah pertanyaan lain yang sampai sekarang justru tak terjawab oleh kepalaku. Itu juga yang membuatku mengulum senyum dalam setiap kali melamun. Mencoba mengingat kegaduhan dunia maya yang mulai memperkenalkan anak-anak muda dengan tren hijrah. Mulai dari menundukkan pandangan, menutup aurat rapat-rapat, gemar sedekah, hingga konsep taaruf untuk menikah.
Tidak ada pertemuan muda-mudi yang sembarangan. Menutup aurat pun adalah sebuah konsep lain dari menjaga kehormatan, bukan sekadar ikut arus kekinian. Alih-alih kehormatan, tak sedikit yang menganggap itu semua sebagai batasan. Bagaimana caranya seseorang bisa menikah dan langgeng tanpa didahului pacaran?
Kurang lebih begitu pula lah perjalanan sang putra menemukan tambatan hatinya. Terdengar desas-desus tentang prosesnya yang sangat singkat. Bahkan, lewat Facebook. Raka memberanikan diri mengajak berkenalan hanya karena melihat hampir semua unggahan calon istrinya adalah kutipan nasihat. Ditambah, tidak ada foto diri yang terpajang di media sosialnya.
“Waktu itu saya tanya,” kata Raka, putra Pak Haris, ”Dik, kenapa nggak pasang foto di medsos? Dia jawab karena begitulah seharusnya perempuan, menjaga kehormatan. Tidak dandan dan selfie, nggak joget tik-tok atau pajang foto zumba. Disitulah saya yakin kalau dia pantas saya nikahi.” Katanya dengan bangga.
Acara dimulai pukul 10 pagi, diawali dengan doa bersama yang dipimpin langsung oleh amir masjid. Setelahnya, tamu-tamu dipersilakan memberi ucapan selamat dan mendoakan mempelai, lalu menikmati hidangan seadanya. Sederhana dan khidmat.
Pak Haris, istri, dan keluarga besarnya pun tampak sumringah bercengkerama dengan para tamu yang membanjir di luar dugaan Satu persatu tamu yang datang bergantian. Selain keluarga besar, hadir pula beberapa pengurus masjid, juga tetangga sekitar tentu saja. Tak ketinggalan, perwakilan dari tempat Raka dan Alya bekerja.
Sebuah karangan bunga bertuliskan ‘Happy Wedding Day’ bertengger di pelataran depan tempat jamuan tamu laki-laki. Ukurannya agak menghalangi jalan, namun menjadi pusat perhatian orang yang penasaran. Beberapa tamu terlihat menggumam sembari mengunyah makanan, menebak-nebak siapa dan apa latar belakang sang mempelai wanita yang agak misterius ini.
Hal yang sangat aneh bagi warga, karena lazimnya di desa ini pernikahan terjadi hanya antar saudara sepupu atau tetangga saja. Paling jauh pun tidak akan keluar wilayah kabupaten.
Di sepanjang kampung ini, hampir semua bersaudara dengan Abah. Bahkan anak perempuan Abah juga menikah dengan saudara sepupunya, anak dari adik kandungnya yang tinggal di dusun tetangga. Ada juga keponakan abah yang menikah dengan anak dari adik sepupu ipar Abah yang notabene adalah anak dari kakak sepupu bapaknya abah dari istri kedua. Membingungkan.
Sang istri konon hanya ingin mencari surga. Karena kata ulama, surga sudah otomatis menjadi milik seorang istri meskipun ia hanya salat 5 waktu tanpa rawatibnya, dan puasa Ramadan tanpa puasa sunnah lainnya, sepanjang ia berbakti kepada suami.
Masih katanya, menantu Pak Haris ini keluarga orang berada dan tiba-tiba ia menyatakan penyesalannya karena pernah jauh meninggalkan keyakinan turun-temurun keluarganya.
Di dalam perenungannya, ia membayangkan perasaan orang tuanya yang sudah sejak lama meyakini kebenaran seorang imam akhir zaman. Berharap anak keturunannya berada di dalam bahtera yang sama.
Pak Haris yang ikut mendengarkan obrolan para tamu tentang menantu barunya ini, merangsek masuk dengan obrolan yang tak kalah membuatnya bungah.
“Inilah bahagianya saya,” katanya, “karena ada yang mau menerima anak saya apa adanya. Tidak melihat seperti apa kondisi ekonomi keluarga kami, hanya melihat yang penting satu keyakinan.” tukas Pak Haris dengan senyum kebahagiaan yang kian membuncah. Kuah pesmol sampai dibuat muncrat ke celana pantalon coklatnya.
Kebahagiaan Pak Haris ini memang bukan tanpa alasan. Di tengah banyaknya kaum muda yang galau mencari jodohnya, bahkan rela menikah tanpa melihat kesamaan keyakinan, ia justru mendapatkan menantu yang sepaham sekeyakinan.
“Kang, beneran kenal di Facebook?” rasa penasaran orang-orang belum habis, “jangan-jangan dijodohin.” Sambung mereka lagi.
“Dijodohin sama Tuhan.” Tandas Raka tak mau berlama-lama.
Raka yang sedang dipajang menjadi raja sehari tampak tersenyum merekah dengan balutan baju pengantin warna hijau lumut. Badan gemuk dan perut buncitnya hampir tak tertampung oleh baju pengantin ukuran standar, sehingga beberapa biji kancing sudah terlihat hampir mencelat.
Dalam hati Pak Haris menggumam, sembari memanjatkan doa langsung ke langit yang terhalang terpal berlubang. Semoga pernikahan putranya ini yang terakhir. Semoga sang istri akan tetap setia dan sabar dalam segala kondisi badai rumah tangga. Meskipun hatinya yakin akan hal ini, namun kekhawatiran tetap saja ada, sebagai orang tua.
Angannya menerawang jauh menyusuri ingatan ketika dia dulu menikahi istrinya. Dibawanya wanita perkasa itu meninggalkan keluarganya di Padang. Naik klothok, istrinya tak punya pilihan selain ikut suami, meninggalkan rumahnya dan tinggal di pemukiman yang lebih mirip hutan belantara. Tanpa lampu, tak ada kendaraan, bahkan masih banyak binatang buas berkeliaran. Harimau, ular, bahkan makhluk mitologi bernama Kuyang.
Kondisi ekonomi yang serba mepet, membuat Pak Haris tak selalu mampu mengajak istrinya menengok keluarga dan kampung halamannya di ranah minang. Entah seberat apa rindu tertahan di ubun-ubun istrinya. Sesak di dadanya kadang hanya bisa menjadi gumpalan kaca di pelupuk mata, namun tak kuasa pula untuk ditumpahkan.
Percuma. Mau dipaksa seperti apa, Pak Haris tetap tak akan mampu membawanya mudik ke Padang. Paling-paling, Pak Haris sesekali mengajaknya ke rumah makan ‘Bungo Tanjung’ di Garut untuk menikmati sate padang, gulai kepala kakap, atau nila bakar. Uangnya, menunggu tanggal gajian pensiunan.
Pernikahan Raka, bisa jadi adalah tugas terakhir mereka secara moril. Karena keempat anaknya yang lain sudah terlebih dulu menikah dan berpisah rumah dengan Pak Haris. Dua orang di Bandung, satu di Cianjur, dan putri semata wayangnya di dusun sebelah. Raka, rencananya akan tetap tinggal bersama mereka di desa. Hanya beda kamar saja.
Janji setia yang mereka ucapkan di Masjid Baitus Subhaan akan sama kuatnya dengan janji setia sehidup semati.
Lalu-lalang tamu memenuhi rumah Pak Haris dengan lantunan doa. Tata letak rumah yang sengaja diubah, tenda terpal terpasang seadanya, tamu membanjir, dan doa-doa yang bergumul siap dilangitkan. Begitulah pernikahan, sebuah perayaan yang sama sakralnya dengan kematian.
Beberapa menit menjelang bakda zuhur, masih ada segelintir tamu yang datang susul-menyusul. Jalanan Garut via Kadungora memang terkadang padat di akhir pekan. Apalagi beberapa tamu undangan banyak yang berdiam di Bandung. Melangkah keluar Bandung saja sudah butuh perjuangan, apalagi sampai bisa mendarat di Garut, tempat pernikahan Alya dan Raka digelar.
Desa ini damai dalam sebuah keyakinan yang seragam. Sawah berundak-undak menyejukkan pandangan. Pepohonan dan tanaman sayur menyiratkan aroma kecukupan rezeki. Anak-anak kecil berlarian menertawakan keluh-kesah orang dewasa yang tak bosan mempertanyakan takdir Tuhan.
Dari ujung hingga ke sudut batas-batas desa, semua masih terikat hubungan kekerabatan. Kalaupun tidak, mereka pun merasa bersaudara rohani dalam iman. Masjid berdiri tegak dengan 3 lantai di ujung penghabisan jalan, berbatasan dengan sawah dan beberapa rumah panggung milik penduduk yang berdiri di lereng-lereng kaki gunungnya. Desainnya terlihat megah untuk sebuah masjid di pedesaaan.
Di seberangnya, beberapa tempat yang juga sering menjadi rujukan diskusi dan mendamaikan hati, yaitu rumah sederhana yang digunakan untuk rumah misi mubalig. Beberapa meter dari masjid, terlihat sebuah bangunan sekolah. Bukan institusi pendidikan dengan fasilitas mahal di luar akal, tetapi sudah cukup membuat anak-anak desa mau sekolah dan beranjak dewasa dengan bekal ijazah.
Enam Bulan Sebelumnya.
“Kamu benar-benar inspiratif, Alya,” tulis Raka di salah satu postingan tentang acara penggalangan dana untuk anak yatim yang aku ikuti.
Pertemuan pertamaku dengan Raka terjadi di sebuah grup media sosial. Awalnya, kami hanya saling berbalas komentar ringan di postingan yang berkaitan dengan kegiatan sosial yang hampir selalu aku ikuti. Sebuah postingan sederhana tentang kesetaraan perempuan, topik yang selalu menarik perhatianku, tak disangka menjadi awal mula hubungan ini.
Kesibukanku mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di komunitas online, tidak bisa tidak, membuatku harus memperhatikan siapa saja yang menyematkan komentar. Termasuk Raka, yang kerap memberikan komentar yang penuh dengan pujian.
Kadang aku dibuat tersenyum membaca komentar itu. Aku tidak mengenalnya secara langsung, tapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang sarat perhatian. Raka tampak begitu antusias, begitu peduli, seolah-olah dia adalah seseorang yang benar-benar memahami pentingnya kegiatan ini.
Setiap kali aku membuat postingan atau berbagi cerita tentang kegiatan sosial, Raka selalu hadir di kolom komentar. Memberikan tanggapan penuh dukungan.
“Bagus sekali, Alya! Kamu membuat perubahan besar!”
“Kamu harus teruskan semangat ini, dunia butuh orang seperti kamu.”
Lambat laun, ia mulai masuk ke pesan pribadi. Berawal dari obrolan santai tentang minatnya terhadap isu sosial, tapi kemudian pesan-pesan itu mulai menjadi lebih pribadi.
Ia mulai bertanya apakah aku sudah makan. Mengingatkan untuk tidak lupa makan. Aku tersenyum membalas pesan itu. Merasa lucu dengan seseorang yang tiba-tiba peduli.
Percakapan terus berlanjut. Raka selalu bertanya tentang aktivitasku juga, memastikan apakah aku sudah beristirahat dengan cukup, makan dengan baik, atau bahkan menanyakan apakah aku tidur tepat waktu.
“Kamu tidur cukup tadi malam?” tanya Raka di pagi hari setelah Alya memposting tentang kegiatannya yang berlangsung sampai larut malam. “Kamu harus jaga kesehatan, jangan terlalu memaksakan diri.”
Perhatian macam apa ini? Raka seperti seseorang yang sangat peduli, selalu ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. Setiap pesan yang dikirim Raka membuatku sejenak merasa hangat. Perasaan yang aneh, karena bahkan aku tak yakin apakah laki-laki ini benar-benar memajang foto aslinya di media sosial.
Di sebuah acara sosial yang diadakan di aula serba guna milik komunitas, aku berdiri di sudut ruangan sambil mendekap kamera. Beberapa jepretan foto kurasa sudah cukup untuk melengkapi laman berita.
Suasana hari itu hangat dan syahdu menciptakan aura yang penuh keakraban. Lantunan khotbah sarat nasihat memenuhi ruangan, sementara para tamu berbaur, berbincang, dan menikmati hidangan.
Aku, meskipun dengan balutan baju kasual sebenarnya sejak tadi merasa canggung di tengah kerumunan orang yang sebagian besar tak kukenal. Untungnya tugasku hari ini hanya menulis laporan kegiatan.
Menulis memang cita-citaku sejak kecil. Tapi aku tak menyangka kalau seorang penulis tak ubahnya pembicara. Adakalanya ia harus menjelaskan apa yang ditulisnya, hingga mempromosikan karyanya. Tentu saja, semua harus dilakukan dengan bicara, atau setidaknya tersenyum di depan kamera. Hal yang sejak dulu kuhindari tapi sekarang mau tak mau harus kuhadapi.