Simfoni Temaram Takdir

Tita Dewahasta
Chapter #5

5. Life Must Go On

30 Mei 20XX

Sore hari setelah pemakaman

Group chat di aplikasi Chatsapp ramai berbincang masalah camping perpisahan yang akan diadakan hari Minggu depan di sebuah pantai di Gunung Timur. Beberapa tidak setuju acara itu tetap dilanjutkan. Beberapa yang lain mengatakan bahwa itu adalah moment mengenang Bisma.

Gangga hanya menyimak pesan chat di group itu. Baginya, meski acara itu tetap diadakan, dia tidak akan datang. Hatinya tak akan kuat.

***

Pukul 15.00

"Ngga, kamu ke kos hari ini kan? Udah jam 3!"

Gangga terkejut. "Astaga! Jam 3?!"

Besok dia harus mengikuti serangkaian kegiatan orientasi di kampus dan sudah sore dia belum juga beranjak.

Bu Rasti mengangsurkan amplop coklat kepadanya. "Ini untuk biaya bulanan."

Gangga mengangguk. "Makasih, Bu. Aku berangkat dulu, takut kehabisan bus."

"Ya, hati-hati."

Pamit yang cukup singkat dan dingin. Tapi memang begitulah hubungan Gangga dengan ibunya, dingin. Meski ayahnya telah meninggalkan mereka karena wanita lain saat Gangga kelas 2 sekolah menengah pertama, hubungan Gangga dengan ibunya tetap dingin.

Padahal, di kisah-kisah lain, para keluarga yang ditinggal oleh ayah demi wanita lain, akan lebih sayang satu sama lain. Namun, karakter ibu Gangga memang keras. Dia wanita tangguh, mandiri dan bukan wanita menye-menye.

Tapi ketangguhan dan kekuatannya itu menjadikannya keras dan galak. Nada bicara ibunya sering menyalak membuat Gangga enggan berbicara kepada ibunya sendiri. Juga, kediktatoran ibunya atas segala pilihan hidup Gangga membuatnya ingin segera pergi dan tinggal merantau di kota sebelah.

Gangga mengambil barang-barang yang telah dia siapkan sebelumnya. Dia memesan ojek online untuk menuju ke terminal bus.

***

Rumah sakit Keluarga Bahagia, Koja

Bangsal Lavender

Kendrik menggendong seorang bayi mungil yang hari sabtu kemarin baru dilahirkan oleh Karen, kakaknya. Di sampingnya berdiri, terbaring sang kakak yang masih dalam keadaan lemah.

"Dedek Darren, dari tadi anteng digendong sama Om. Mulai sekarang kita CS. Tunggu mamamu sembuh terus kita pulang dari sini ya." Ken berbicara lirih kepada keponakannya yang dia gendong.

Daniel, suami Karen, memasuki ruangan itu sembari membawa beberapa makanan dan barang keperluan istrinya.

"Ken, makan dulu," kata Daniel.

"Oh iya Kak. Aku makan di luar aja, tolong Dek Darren, Kak."

Kendrik mengalihkan gendongan kepada kakak iparnya kemudian keluar dari ruangan itu menuju teras bangsal.

"Ken," panggil Bu Puri yang baru saja datang.

"Iya, Ma."

Bu Puri duduk dan memperhatikan putra bungsunya yang sedang menikmati makanan itu. "Ehm, Karen udah melahirkan. Sekarang waktunya kamu mikirin diri kamu sendiri."

"Iya, Ma. Aku udah ada planning untuk kerjaan. Tadi pagi aku udah masukkin berkas lamaran ke Vanguard."

Bu Puri mengangguk. "Mama doakan semoga diterima."

Pak Wardiman memanggil melalui sambungan telepon.

"Halo, Pak, ada apa?"

"Halo Mapala, udah masukkin lamaran belum? 1 jam lagi ditutup lho!"

"Udah, Pak, tadi pagi."

"Owalah, fyuh. Kirain kamu nggak jadi daftar. Kamu ini ya, sukanya di jam-jam terakhir melulu."

Beberapa kali Kendrik menyelesaikan urusan memang di detik-detik terakhir. 2 bulan yang lalu dia mendaftarkan yudisium di menit-menit terakhir. Lulus pun di kloter terakhir. Memang dia senang segala sesuatu di tingkat akhir.

"Nanti pengumumannya jam 6 sore," kata Pak Wardiman.

"Cepet amat, Pak?"

"Kan diseleksi sistem. Sekedar menghitung persyaratan administrasi. Makanya yang teliti, banyak yang kesandung di masalah ini lho, padahal urusan sederhana."

"Iya Pak, beres. Udah aku pastiin nggak ada yang lupa kok."

***

Lihat selengkapnya