Simfoni Yang Tumbuh

Hannief Wisnu Setiadji
Chapter #1

BAB 1, Sang Bijak Sunyi


Di tempat yang sunyi di perpustakaan, di antara rak-rak yang menjulang tinggi dan sarat dengan pengetahuan, duduklah Rehan. Jemarinya yang lincah menari-nari di atas halaman-halaman buku tebal tentang fisika kuantum, matanya yang tajam melahap setiap kata dengan intensitas yang menyamai masa mudanya. Ini adalah tempat perlindungannya-sebuah dunia yang sunyi dan penuh pengetahuan, jauh dari hiruk-pikuk interaksi sosial yang membingungkan yang ada di balik tembok-tembok suci ini.


Jam kuno di atas pintu berdetak tanpa henti menuju pukul 14.00, menandakan waktu istirahat sekolah akan segera berakhir. Namun bagi Rehan, waktu seakan berhenti ketika ia tenggelam dalam tulisan. Sementara teman-temannya mencari penghiburan dalam tawa riuh dan obrolan yang tidak penting di halaman sekolah, Rehan menemukan tempat pelariannya di dalam ruangan yang tenang ini. Di sini, tidak ada lelucon yang kejam, tidak ada keheningan yang canggung, dan yang paling penting, tidak ada tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial yang membingungkan yang tampaknya datang begitu saja kepada orang lain.

Seorang pustakawan yang sudah tua berjalan melewatinya, senyum penuh arti tersungging di bibirnya-sebuah pengakuan diam-diam bahwa Rehan setiap hari datang ke tempat ini. Rehan menanggapinya dengan menganggukkan kepala seadanya sebelum kembali menyelami teks pilihannya. Dia sangat menyadari keanehan yang dia tunjukkan pada dunia luar, tetapi pada saat ini, dikelilingi oleh beban yang menenangkan dari kebijaksanaan yang terakumulasi, dia mendapati bahwa dia tidak terlalu peduli dengan penilaian mereka.


Suara-suara riuh kegembiraan dari balik dinding tebal perpustakaan mencapai telinga Rehan, membuatnya menegang tanpa terasa. Ia merasakan jurang pemisah antara dirinya dan teman-temannya semakin lebar dengan setiap tawa yang terdengar. Gumaman pelan keluar dari bibirnya, sebuah bisikan tentang konsep entropi yang baru saja ia dapatkan dari halaman di hadapannya. Sementara pikiran teman-teman sekelasnya sibuk dengan hal-hal sepele-permainan video terbaru atau siapa yang naksir siapa-Rehan melayang-layang di atas permadani hukum-hukum universal yang rumit.


Namun, di balik penampilannya yang tenang, ada kegelisahan yang bergejolak. Sebagian dari dirinya yang terkubur dalam-dalam menyadari bahwa kehidupan ini melampaui batas-batas pengetahuan dan rumus yang abstrak. Meskipun ia menikmati ketenangan yang ditawarkan oleh buku-buku kesayangannya, Rehan tidak dapat membungkam bisikan yang terus menerus mengingatkannya akan dunia yang menantinya-dunia yang penuh dengan hubungan antarmanusia yang mau tidak mau akan menuntut keikutsertaannya.

Namun, untuk saat ini, Rehan memilih untuk menunda kenyataan itu, tenggelam dalam pelukan teori ilmiah yang menenangkan. Dering bel sekolah yang akan datang semakin dekat, mengancam untuk mendorongnya kembali ke dunia yang penuh dengan isyarat dan ekspektasi sosial yang tidak dapat dimengerti, yang selalu membuatnya merasa tidak siap.


Saat teriakan melengking dari bel akhirnya menembus suasana perpustakaan yang tenang, Rehan menutup bukunya dengan penuh hormat. Dia mengembalikannya ke tempat yang semestinya di rak dan bangkit berdiri, membungkukkan badannya seolah-olah bersiap untuk berperang. Dengan napas yang dalam dan teratur, dia melangkah keluar dari tempat perlindungannya dan masuk ke dalam kerumunan siswa yang sedang mengobrol-meninggalkan kedamaian yang sangat dia hargai untuk menghadapi dunia yang tak henti-hentinya menuntut lebih banyak darinya daripada yang bisa dia berikan.



---


Di aula sekolahnya yang ramai, Rehan menemukan penghiburan dalam sekelompok kecil teman senasib seperjuangan-empat orang siswa yang tampaknya memahami dunianya yang penuh dengan angka, rumus, dan teori-teori ilmiah. Kelompok kecil eklektik ini, yang sering dicap aneh oleh sesamanya, membentuk lingkaran erat yang menantang sekaligus menghibur Rehan. 


Rafi, yang paling vokal di grup ini, adalah seorang penggemar teknologi yang memiliki hasrat yang besar terhadap segala hal yang berbau digital. Pikirannya selalu dipenuhi dengan pembaruan perangkat lunak terbaru, rilis game indie, dan perkembangan terbaru dalam kecerdasan buatan. Namun, kegemaran Rafi untuk mendominasi percakapan dan ketidakmampuannya untuk mengekang kecenderungannya yang bertele-tele sering kali membuat Rehan merasa kewalahan. Pendapat Rafi mengalir tanpa henti, diselingi dengan interupsi yang sering menguji kesabaran Rehan. 


Di sisi lain, ada Ilham, seorang introvert tingkat tinggi yang bahkan membuat Rehan tampak tidak ramah. Alam semesta Ilham berkisar pada bintang-bintang, pikirannya terus melayang-layang di hamparan teori kosmologi dan hipotesis multiverse yang luas. Dia jarang berbicara, dan ketika dia berbicara, itu hanya kepada orang-orang yang dia percayai secara implisit. Namun, ketika Ilham memilih untuk berbagi wawasannya, kata-katanya membawa bobot pemikiran filosofis yang mendalam. 


Tomi membawa sedikit keceriaan ke dalam kelompok. Sebagai seorang yang memproklamirkan diri sebagai penggemar fiksi ilmiah, ia memiliki bakat untuk menyuntikkan humor ke dalam konsep-konsep ilmiah yang paling abstrak sekalipun. Kecerdasannya berfungsi sebagai jembatan antara dunia Rehan yang sempit dan lingkup sosial yang lebih luas di sekolah mereka. Namun, pesona Tomi sering kali menutupi kecenderungannya untuk mengeksploitasi kecerdasan Rehan, sering kali membujuknya untuk membantu tugas-tugas biasa dengan imbalan yang tidak seberapa. 


Melengkapi kuartet ini adalah Andi, seorang perfeksionis klasik yang hidupnya berputar di sekitar dunia matematika. Setiap aspek kehidupan Andi sangat terstruktur, mulai dari catatan pelajaran yang terorganisir dengan sempurna hingga jadwal belajar yang terencana dengan ketat. Meskipun dorongan Andi untuk menjadi yang terbaik sering memicu diskusi yang menarik dengan Rehan, sifatnya yang sangat menuntut dapat membuat lelah, bahkan untuk seseorang dengan kualitas intelektual seperti Rehan. 


Terlepas dari kenyamanan yang Rehan temukan dalam lingkaran ini, hubungan mereka bukannya tanpa masalah. Setiap teman, dengan caranya masing-masing, berusaha memanfaatkan kecemerlangan Rehan untuk kepentingan mereka. Permintaan Rafi untuk bantuan coding, permintaan Tomi untuk bantuan tugas fisika, dan Andi yang tak henti-hentinya mengejar kesempurnaan matematika, semuanya mengambil peran. Namun, Rehan menuruti permintaan mereka, lebih memilih ketidaknyamanan yang biasa terjadi akibat eksploitasi kecerdasan daripada menghadapi konfrontasi yang tak dapat diprediksi. 


Suatu hari yang penting, dalam sebuah kejadian yang jarang terjadi, Rehan pergi ke kantin. Dengan ragu-ragu ia mendekati meja teman sekelasnya yang lebih pandai bergaul, tawa dan olok-olok mereka sangat menarik sekaligus mengesankan. Saat ia duduk di kursi, Rehan memiliki harapan sekilas untuk berbaur, untuk merasakan "kenormalan". 


Namun, percakapan dengan cepat berbelok ke wilayah yang tidak dikenalnya, penuh dengan sarkasme berselubung dan lelucon rumit yang membuat Rehan gelagapan. Tiba-tiba, salah satu anggota kelompok yang lebih nakal menatap Rehan dengan seringai licik. "Hei, Rehan, lo udah denger? Dinda naksir berat sama lo. Serius!" 


Pernyataan itu disambut dengan derai tawa yang sulit ditahan. Rehan merasakan wajahnya memerah saat ia berusaha mencari jawaban yang tepat, sangat sadar bahwa ia adalah bahan lelucon yang tidak bisa ia pahami. 


"Kayak dia sadar aja," suara lain menimpali, menimbulkan tawa yang lebih keras lagi. 

Lihat selengkapnya