Simfoni Yang Tumbuh

Hannief Wisnu Setiadji
Chapter #2

BAB 2, Skala Prioritas


Di alam pikirannya yang tenang, Rehan selalu menempatkan pendidikan di atas segalanya, pentingnya pendidikan telah tertanam di dalam dirinya sejak kecil seperti sebuah mantra. Bahkan sekarang, dengan sedikit intervensi romansa dalam hidupnya, dorongan akademis masih terus membelenggu dirinya. Nadia, kekasihnya, telah menjadi variabel baru dalam persamaan yang masih ia pelajari untuk diseimbangkan. 


Cahaya pagi menyorot masuk melalui jendela kelas, memancarkan cahaya lembut di papan tulis tempat rumus-rumus persamaan diferensial yang rumit terlihat seperti seni abstrak. Rehan duduk di barisan depan, matanya tertuju pada setiap gerakan guru, penanya siap untuk menangkap setiap nugget pengetahuan. Di belakangnya, pandangan Nadia bergantian antara papan tulis dan wajah Rehan yang fokus, sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. 


Nadia mengagumi keseriusannya, intensitas yang Rehan tunjukkan dalam belajar. Bagaimanapun juga, itu adalah salah satu kualitas yang membuatnya tertarik padanya sejak awal. Namun, seiring berjalannya pelajaran, rasa ingin tahu yang tak asing mulai merasuk ke dalam hatinya. Nadia bertanya-tanya apakah masih ada tempat untuknya di perpustakaan besar dalam benak Rehan. 


Saat bel tanda istirahat berbunyi, ruang kelas menjadi hiruk-pikuk dengan suara gebrakan kursi dan obrolan ringan. Namun, Rehan tetap tenang, hidungnya terbenam dalam buku catatan saat teman-teman sekelasnya berlalu lalang di depannya. Nadia mendekat, langkahnya ringan namun hatinya berat dengan campuran rasa sayang dan frustrasi. 


"Hei, kamu gak bosan, ya?" goda Nadia sambil bergeser ke tempat duduk di sampingnya. "Bahkan saat istirahat, kamu masih aja sibuk dengan buku-buku." 


Bibir Rehan melengkung membentuk senyuman kecil, matanya tak pernah lepas dari halaman di depannya. “Ini penting, Nad,” gumamnya, suaranya lembut tapi tegas. “Besok ada ujian. Kamu harus belajar juga.” 


Desahan keluar dari bibir Nadia, diwarnai kekesalan tapi diimbangi dengan pengertian. "Aku tahu, tapi kadang-kadang kamu kelewat serius, Rehan," kata Nadia, nadanya seimbang antara bercanda dan menegur dengan lembut. “Aku di sini, kau tahu?” 


Mendengar itu, Rehan akhirnya mendongak, bertemu dengan tatapan Nadia. Di matanya, ia melihat pusaran emosi yang tidak bisa ia tangkap, dan rasa bersalah menusuk-nusuknya. Dia tahu dia harus mengatakan sesuatu, melakukan sesuatu, tetapi kata-kata yang tepat menghindarinya. Dalam dunianya yang penuh dengan data dan angka, emosi adalah variabel yang sulit untuk ia perhitungkan. 


"Maaf, Nad," dia menawarkan, kata-kata itu terasa tidak cukup bahkan saat itu keluar dari bibirnya. “Aku hanya... ya, sedang fokus.” 


Nadia mengangguk, sebuah isyarat penerimaan yang menyiratkan kekecewaan yang mengendap di dadanya. Ia memahami dorongan Rehan, kebutuhannya untuk unggul, tapi pemahaman itu tidak mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh perhatiannya yang terbagi. Ia menginginkan lebih dari sekadar nasihat belajar; ia mendambakan hubungan, keterlibatan, sebuah tanda bahwa ia sama pentingnya dengan semua rumus yang ada di dalam bukunya. 


Saat mereka duduk di sana, jurang yang tak terlihat menganga di antara mereka, Rehan merasakan beratnya harapan Nadia yang tak tersampaikan. Ia sangat menyayangi Nadia, lebih dari yang bisa ia ungkapkan, namun bahasa cinta dan kasih sayang adalah bahasa yang masih sulit ia pelajari. Dalam benaknya, unggul dalam studinya adalah cara untuk mengamankan masa depan mereka, menjadi versi terbaik dari dirinya untuk Nadia. Namun, ketika ia melihat bayangan kesedihan melintas di wajah Nadia, ia menyadari bahwa mungkin ada pelajaran di luar pelajaran yang perlu ia kuasai. 


Tantangan di hadapan Rehan sangat jelas, namun juga menakutkan. Bagaimana ia bisa menyeimbangkan skala prioritasnya, memberikan bobot yang tepat untuk tujuan akademisnya dan hubungan yang sedang berkembang dengan Nadia? Ini adalah masalah yang jauh lebih kompleks daripada soal persamaan diferensial, sebuah ujian yang tidak dapat dipersiapkan oleh buku-buku pelajaran yang ia pelajari. 


Ketika jam istirahat berakhir dan murid-murid mulai kembali ke kelas, Rehan dan Nadia masih terjebak dalam perenungan yang hening. Udara di antara mereka dipenuhi dengan kata-kata yang tak tersampaikan dan keinginan yang tak terpenuhi, sebuah pengingat nyata akan keseimbangan rumit yang sedang mereka perjuangkan. 


Pada saat itu, ketika bel kedua berbunyi dan kenyataan kembali muncul, Rehan membuat janji dalam hati kepada dirinya sendiri. Dia akan menemukan cara untuk memecahkan persamaan yang paling penting ini, untuk menyeimbangkan variabel cinta dan pendidkan dalam sebuah harmoni yang akan memperkaya kedua aspek kehidupannya. Ini akan menjadi tantangan terbesarnya, namun saat ia melirik ke arah Nadia, ia tahu bahwa ini juga akan menjadi hal yang paling berharga baginya.


--- 


Dalam hamparan kehidupan sosial Rehan yang pelik, ada empat orang yang paling menonjol: Andi, Ilham, Rafi, dan Tomi. Kuartet ini, yang diikat oleh semangat yang sama dalam segala hal yang berbau akademis, membentuk lingkaran dalam diri Rehan. Namun, di balik lapisan persahabatan itu, ada arus eksploitasi terselubung yang tampaknya hanya dirasakan oleh Nadia. 


Kantin sekolah, tempat berkumpulnya energi remaja yang ramai, menjadi panggung untuk sebuah adegan yang akan mengkristalisasi ketegangan yang semakin meningkat. Sinar matahari masuk melalui jendela, membuat bayangan panjang di atas meja tempat Rehan duduk dikelilingi teman-temannya, dan Nadia menjadi pengawal yang diam di sisinya. 


Rafi, matanya berbinar-binar dengan campuran kejahilan dan perhitungan, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Hei, Rehan," ia memulai, nadanya santai namun penuh harap, " lo nggak keberatan ngerjain tugas matematika kelompok kita, kan? Lagipula, lo kan otak dari tugas ini." 

Lihat selengkapnya