Simfoni Yang Tumbuh

Hannief Wisnu Setiadji
Chapter #4

BAB 4, Tumbuh Dalam Bayang-Bayang


Taman sekolah bersenandung dengan energi yang tenang di sore hari, cahaya keemasan matahari terbenam melukiskan bayangan panjang di jalanan. Nadia dan Rehan berjalan berdampingan, langkah kaki mereka mengikuti irama yang santai, yang menutupi ketegangan yang terjadi di antara mereka. Mereka telah menghabiskan lebih banyak waktu bersama, kecanggungan awal mereka perlahan-lahan berganti dengan kenyamanan yang tidak dapat mereka definisikan. 


Seiring mereka menyusuri jalan berliku dengan sepeda motor sepulang sekolah, percakapan mereka mengalir dan surut seperti air pasang, menyentuh segala hal mulai dari gosip terbaru di sekolah hingga misteri alam semesta yang membuat Rehan kagum. Nadia mendapati dirinya terpaku pada setiap kata-katanya, mengagumi semangat yang terpancar dari wajahnya yang biasanya tenang saat berbicara tentang bintang-bintang.


Mereka berhenti di depan etalase toko yang tertutup saat langit menjadi gelap dan rintik hujan membasahi mereka, jendelanya gelap dan memantulkan cahaya yang memudar. Jalanan sepi, sebuah momen yang jarang terjadi di kota yang biasanya ramai ini. Nadia menoleh ke arah Rehan, sebuah pertanyaan terucap dari bibirnya, namun kata-kata itu terhenti di tenggorokannya ketika ia bertemu dengan tatapan Rehan.


Untuk kali ini, tembok yang dibangun dengan hati-hati oleh Rehan runtuh. Matanya yang gelap, yang biasanya sangat dijaga, dipenuhi dengan perasaan yang belum pernah Nadia lihat sebelumnya. Itu adalah kerentanan, ya, tapi juga sesuatu yang lain - percikan keberanian, tentang kemungkinan.


Waktu terasa melambat saat Rehan mencondongkan tubuhnya, tangannya dengan ragu-ragu meraih tangan Nadia. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang lembut dan penuh keraguan pada awalnya, namun dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Itu adalah puncak dari ketegangan selama berbulan-bulan, perasaan yang tak tersampaikan dan tatapan mata yang saling mencuri. Pada saat itu, seluruh dunia memudar, hanya menyisakan mereka berdua, yang terhubung dengan cara yang melebihi kata-kata.


Ketika bibir mereka terpisah, keduanya sedikit terengah-engah, Nadia melihat perubahan pada diri Rehan. Ciuman itu telah membuka sesuatu di dalam dirinya, seperti retakan pertama pada bendungan. Sejak saat itu, seolah-olah ada sebuah sakelar yang ditekan.


Pada beberapa hari dan pekan berikutnya, Rehan mulai berubah. Anak laki-laki yang dulunya merupakan sebuah pulau bagi dirinya sendiri, sekarang mencari Nadia di setiap kesempatan. Dia masih berjuang untuk mengekspresikan perasaannya secara langsung, tetapi tindakannya berbicara banyak. Ia mulai memperhatikan kebutuhan Nadia, membawakan makanan ringan kesukaannya saat sesi belajar atau meninggalkan catatan kecil di lokernya - hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa Rehan menaruh perhatian dan peduli.


Nadia menyaksikan dengan takjub saat dinding penghalang emosional Rehan perlahan-lahan runtuh. Dia mulai berbagi lebih banyak tentang dirinya, tidak hanya pikirannya tetapi juga perasaannya. Panggilan telepon tengah malam menjadi hal yang biasa, dengan Rehan yang dengan ragu-ragu membuka diri tentang ketakutannya, mimpinya, dan rasa tidak amannya. Setiap pengungkapan itu seperti sebuah hadiah, bagian dari diri Rehan yang ia percayakan kepada Nadia.


Hubungan mereka semakin dalam, menumbuhkan akar yang menjalin kehidupan mereka dengan cara yang tidak pernah mereka duga. Rehan, yang tadinya merasa nyaman dengan kesendiriannya, kini tampak selalu berada di sekeliling Nadia. Dia hadir di pertunjukan tari Nadia, bersorak-sorai dari barisan depan. Dia menemani Nadia berbelanja, dengan sabar memegang tas dan memberikan pendapat yang tulus, meskipun terkadang membingungkan, tentang pilihan pakaian.


Bagi Rehan, ketergantungan perasaan yang baru ini menggembirakan sekaligus menakutkan. Dia tidak pernah membiarkan dirinya menjadi begitu rentan sebelumnya, tidak pernah mempertaruhkan begitu banyak hal dari dirinya sendiri. Ada kalanya ketika intensitas yang ia rasakan membuatnya kewalahan, dan ia akan mundur sejenak ke dalam dirinya yang lama dan pendiam. Namun, pemahaman Nadia yang sabar selalu menariknya kembali, meyakinkannya bahwa tidak apa-apa untuk merasa, peduli, dan mencintai.


Nadia juga mendapati dirinya berubah dengan hubungan mereka yang terus berkembang. Sifat bijaksana Rehan mendorongnya untuk melihat lebih dalam, untuk mempertimbangkan berbagai hal dari sudut pandang yang baru. Dia menemukan kekuatan yang lembut dalam kehadiran Rehan yang tenang, penyeimbang bagi energinya yang penuh semangat.


Seiring dengan pergantian musim, begitu juga dengan hubungan mereka. Apa yang telah dimulai sebagai hubungan yang tidak mungkin antara dua orang yang berseberangan telah berkembang menjadi hubungan yang saling bertumbuh dan saling memahami. Mereka tidak lagi hanya Nadia dan Rehan, tetapi lebih dari itu - sebuah kesatuan, sebuah kerjasama, dua orang yang saling mengeluarkan kemampuan terbaiknya.


Tentu saja masih ada berbagai tantangan. Keterbukaan Rehan yang baru ditemukan tidak menghapus kebiasaannya selama bertahun-tahun dalam semalam. Masih ada saat-saat miskomunikasi, saat-saat ketika kebutuhan Nadia untuk mengekspresikan emosi berbenturan dengan sifat Rehan yang lebih pendiam. Namun kini, alih-alih menciptakan jarak, momen-momen tersebut justru menjadi kesempatan untuk bertumbuh, untuk belajar menjembatani kesenjangan di antara cara hidup mereka yang berbeda.


Saat mereka duduk bersama pada suatu malam, menyaksikan matahari terbenam dari tempat favorit mereka di taman, Nadia merenungkan betapa jauhnya perjalanan mereka. Lengan Rehan melingkari pundaknya, sentuhannya tidak lagi ragu-ragu namun terlihat begitu nyaman. Dia menatapnya, menangkap senyum lembut yang tersungging di bibirnya saat dia menatap cakrawala.


Lihat selengkapnya