Simfoni Yang Tumbuh

Hannief Wisnu Setiadji
Chapter #5

BAB 5, Persimpangan Takdir


Senandung lembut di kafe memudar menjadi latar belakang saat Nadia dan Rehan duduk berseberangan, minuman yang belum tersentuh menjadi dingin. Udara di antara mereka terasa kental dengan ketegangan, sangat kontras dengan hubungan asmara mereka yang tenang dan hangat selama setahun belakangan ini. 


Nadia memecah keheningan lebih dulu, suaranya terdengar gusar. "Rehan, aku nggak ngerti. Kamu itu pintar.... Kamu bisa masuk ke universitas manapun yang kamu sukai. Kenapa kamu lebih memilih universitas negeri?" 


Rehan menghela nafas, mengusap-usap rambut hitamnya. "Bukan karena tidak sesuai, Nadia. Ini lebih ke arah hal praktis. Universitas negeri punya program yang bagus, dan aku bisa tetap dekat dengan keluargaku. Ditambah lagi, biaya kuliahnya bisa dijangkau."


"Tapi bukankah kamu ingin menjelajahi dunia? Merasakan hal-hal baru?" Nadia mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya bersinar penuh semangat. "Ada banyak hal yang bisa dilakukan di sana, di luar kota kita yang kecil ini. Aku sudah mendaftarkan di Universitas Edinburgh. Kamu bisa bayangkan belajar di kota yang memiliki banyak sejarah?"


Ekspresi Rehan menegang. "Dan gimana kamu membiayai kuliah di sana? Apa kamu sudah mikirin biaya hidup, jauh dari keluarga? Ini bukan hanya tentang pendidikan, Nadia.”


"Ada beasiswa, juga pinjaman. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” balas Nadia. "Aku nggak percaya kamu gak mau nyoba. Kayaknya kamu takut keluar dari zona nyaman."


Mata Rehan berkilat-kilat menahan sakit hati. "Itu nggak adil. Aku berhati-hati bukan berarti aku takut. Aku sedang memikirkan jangka panjang. Memulai karirku tanpa tanggungan besar, mampu membiayai keluargaku. Itulah yang paling bagiku."


Nadia bersandar di kursinya, rasa frustrasi terlihat jelas di setiap garis tubuhnya. "Dan membangun kehidupan yang penuh petualangan itu tidak penting? Rehan, kita masih muda. Ini saatnya untuk mengambil risiko, untuk bermimpi besar. Aku ngerasa kamu bahkan nggak memperhitungkan segala kemungkinan itu."


"Dan aku juga ngerasa kamu nggak memperhitungkan kenyataan yang ada," balas Rehan. “Hidup ini bukan film, Nadia. Kita nggak bisa seenaknya pergi ke Skotlandia dan berharap semuanya akan berjalan dengan sempurna."


Mereka terdiam, beban perselisihan mereka menekan mereka. Nadia mengaduk kopi dinginnya tanpa sadar, pikirannya berkecamuk. Ia selalu mengagumi sifat Rehan yang tenang dan bijaksana. Tapi sekarang, dihadapkan pada besarnya masa depan mereka, kemantapan yang sama terasa seperti sebuah jangkar, yang menahannya.


"Aku cuma..." Nadia melanjutkan, suaranya lebih lembut. "Aku selalu punya mimpi untuk menjalani semua perubahan besar dalam hidup ini bersama. Saling mendukung impian satu sama lain.”

Ekspresi Rehan sedikit melunak. "Aku mendukung kamu, Nadia. Aku hanya khawatir. Dunia di luar sana... tidak sepenuhnya baik. Aku ingin memastikan kita siap menghadapi apapun yang akan terjadi.”


"Tapi cuma itu aja," Nadia bersikeras. "Kita nggak bisa selalu siap untuk segala hal. Kadang-kadang kita harus berani mengambil risiko. Aku ingin melompat, Rehan. Dan aku ingin kamu ikut melompat bersamaku.”


Rehan terdiam sejenak, matanya tertuju pada meja. Ketika akhirnya ia mendongak, ada kesedihan dalam tatapannya yang membuat hati Nadia terenyuh. "Aku nggak tahu apa aku bisa melakukan lompatan itu, Nadia. Setidaknya, belum saat ini."


Ketegasan dalam suaranya menghantam Nadia seperti sebuah pukulan fisik. Ia merasakan air mata menusuk-nusuk di sudut matanya dan mengedipkan matanya dengan kesal. "Jadi apa artinya ini bagi kita?" tanyanya, merasa benci dengan suaranya yang terdengar kecil.


Rehan mengulurkan tangan ke seberang meja, menggenggam tangannya. "Aku nggak tahu," akunya. "Aku sayang kamu, Nadia. Tapi aku nggak tahu apa cinta itu cukup untuk menjembatani jurang pemisah di antara kita."


Nadia menggenggam tangan Rehan, merasakan kehangatan yang sudah dikenalnya. "Aku juga sayang kamu," bisiknya. "Tapi aku nggak boleh nyerah sama mimpiku. Aku telah bekerja keras untuk mendapatkan kesempatan ini."


Mereka duduk di sana, tangan saling menggenggam di atas meja, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kafe yang ramai di sekitar mereka tampak seperti dunia lain, seolah-olah mereka terkurung dalam gelembung yang mereka ciptakan sendiri.


Akhirnya, Rehan berbicara. “Mungkin... mungkin kita butuh waktu. Untuk cari tahu apa yang sebenarnya kita ingin, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk hubungan ini."

Nadia mengangguk perlahan, hatinya berat. "Kamu bener. Kita nggak bisa ambil keputusan dalam satu hari. Tapi Rehan, janji ya?"


" Janji sama aku, setidaknya kamu bakal pertimbangkan untuk daftar ke universitas di luar negeri. Bukan buat aku, tapi buat dirimu sendiri. Beri dirimu kesempatan untuk bermimpi sedikit lebih besar.”


Rehan terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oke, aku janji. Dan mau nggak kamu janji sesuatu sebagai balasannya?"


"Tentu aja," kata Nadia.


"Berjanjilah padaku, kamu akan cari tahu tentang kelebihan dan kekurangan kuliah di luar negeri. Biayanya, logistiknya. Aku ingin kamu kejar impian mu, tapi aku juga ingin kamu lebih siap."


Senyum kecil tersungging di bibir Nadia. "Deal."


Saat mereka meninggalkan kafe, berjalan berdampingan namun tidak bersentuhan, baik Nadia maupun Rehan merasakan beban masa depan yang menekan mereka. Mereka telah memulai hubungan ini sebagai dua orang dari dunia yang berbeda, menemukan persamaan. Sekarang, sepertinya perbedaan-perbedaan itu kembali mendorong mereka untuk saling menjauh.


Namun, ketika mereka berhenti di sudut di mana mereka biasanya berpisah, ada saat-saat keraguan. Rehan mencondongkan tubuhnya, memberikan kecupan lembut di kening Nadia. “Kita akan cari jalan keluarnya,” gumamnya. "Dengan satu atau beberapa cara."


Nadia mengangguk, membiarkan dirinya bersandar pada kehangatan Rehan yang sudah dikenalnya selama beberapa saat. Saat mereka akhirnya berpisah, menuju rumah masing-masing, keduanya membawa campuran ketidakpastian dan harapan. Jalan di depan masih belum jelas, tetapi ikatan di antara mereka, yang ditempa selama berbulan-bulan dengan penuh pengertian dan saling tumbuh, tidak mudah untuk dilepaskan.


Masa depan terlihat membayangi, penuh dengan berbagai kemungkinan dan tantangan. Hanya waktu yang dapat menjawab apakah cinta Nadia dan Rehan dapat melewati tantangan ini, atau apakah jalan mereka yang berbeda akan membuat mereka menjauh satu sama lain untuk waktu yang lama.



---


Matahari terbenam di bawah cakrawala, memberikan bayangan panjang di ruangan Rehan. Ia duduk di mejanya, menatap brosur-brosur universitas yang bertebaran di hadapannya, yang masing-masing menunjukkan jalan yang potensial untuk masa depannya. Beban harapan orang tuanya sangat membebani pundaknya, membuat aktivitas bernapas saja terasa seperti sebuah tugas yang sangat berat.


Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya. “Rehan?” Suara ibunya, lembut namun tegas, terdengar jelas.


“Masuklah, Bu,” jawab Rehan, dengan cepat menata brosur-brosur itu menjadi tumpukan yang rapi.


Ibu pun masuk, matanya langsung tertuju pada tumpukan kertas-kertas itu. "Apa kamu sudah ambil keputusan?" tanyanya, nadanya santai tapi matanya menunjukkan kekhawatirannya.


Rehan menghela nafas, mengusap-usap rambutnya. "Aku masih pertimbangkan pilihan, bu."


Ibunya duduk di tepi tempat tidurnya, alisnya berkerut. "Nak, kamu tahu ini penting sekali. Universitas negeri ini punya reputasi yang bagus. Itu bisa jadi pilihan yang pas buat kamu."


"Aku tahu, bu, tapi-"


“Tidak ada tapi,” sela Ammi dengan lembut. “Pikirkan masa depanmu, nama baik keluarga kita. Pendidikan yang baik dari institusi ternama adalah landasan dari kehidupan yang mulia."


Sebelum Rehan sempat menjawab, suara ayahnya menggelegar dari lantai bawah. “Rehan! Turunlah ke sini, kita perlu bicara.”


Di ruang tamu, Ayah Rehan duduk di kursi berlengan kesayangannya, postur tubuhnya tegap dan berwibawa. "Nak," ia memulai ketika Rehan masuk, " apa kamu sudah mendaftar ke sekolah kedinasan?"


Perut Rehan bergejolak. "Belum, Ayah. Aku masih-”


“Masih apa?” potong ayahnya, suaranya tajam. “Waktu terus berjalan, Rehan. Ini bukan keputusan yang bisa dianggap enteng. Sekolah kedinasan menjamin masa depan yang stabil, karir yang terjamin. Bukankah itu yang kamu inginkan?"


Rehan merasakan dinding-dinding itu semakin mendekat. "Aku ... aku tidak yakin, yah. Aku juga punya minat lain."

Lihat selengkapnya