Simfoni Yang Tumbuh

Hannief Wisnu Setiadji
Chapter #6

BAB 6, Antara Cinta Dan Kewajiban


Saat matahari terbenam di bawah cakrawala, memberikan bayangan panjang di jalanan kota yang ramai di kota kecil mereka, Rehan mendapati dirinya berdiri di sebuah persimpangan. Beban keputusannya, baik yang telah dibuat maupun yang belum dibuat, sangat membebani pundaknya yang masih muda. Dia menatap keluar jendela kamarnya, matanya tidak fokus, melamun sambil bergulat dengan kerumitan cinta, pendidikan, dan masa depan yang tidak pasti yang membentang di hadapannya.


Beberapa bulan terakhir telah menjadi angin puyuh emosi, sebuah perjalanan rollercoaster yang membuat Rehan terengah-engah dan bingung. Semuanya berawal dari berita mengejutkan tentang keruntuhan keuangan keluarga kekasihnya.

Nadia, gadis yang bersemangat dan riang yang membuat Rehan jatuh hati, tiba-tiba menemukan dirinya terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian dan keputusasaan.

Hati Rehan terasa sakit saat ia mengingat perubahan yang terjadi pada diri Nadia. Matanya yang berbinar, yang dulunya penuh dengan kenakalan dan kegembiraan, kini tampak redup oleh kekhawatiran dan kelelahan. Tawa merdu yang tadinya memenuhi udara di sekelilingnya digantikan oleh keheningan yang berat, hanya dipecahkan oleh desahan atau isak tangis yang teredam. Seolah-olah esensi Nadia telah terkuras habis, menyisakan cangkang hampa dari gadis yang pernah dikenalnya.


Pada masa-masa itu, Rehan telah terjun ke dalam peran sebagai pacar yang suportif dengan semangat yang hampir seperti ambisi. Dia menghabiskan setiap waktu di sisi Nadia, menawarkan kata-kata penghiburan, bahu untuk menangis, dan tangan untuk dipegang ketika dunia terasa terlalu berat. Dia menemani Nadia menghadiri pertemuan dengan para kreditor, membantu keluarganya pindah dari rumah mewah mereka ke lingkungan sempit di bagian kota yang kumuh, dan menjadi penahan Nadia dari bisikan dan tatapan kejam teman-teman sekelasnya.


Namun, ketika Rehan mencurahkan energinya untuk menjadi penyangga Nadia, ia tidak menyadari bahwa ada retakan yang terbentuk di fondasi kehidupannya. Tenggat waktu pendaftaran universitas datang dan pergi, tanpa disadari dan tanpa tanda. Kesempatan beasiswa menyelinap di antara jari-jarinya seperti butiran pasir. Nilainya, yang dulunya merupakan sumber kebanggaan, mulai merosot karena ia mengabaikan studinya demi menghabiskan waktu bersama Nadia.


Baru ketika ayahnya menegurnya pada suatu malam, Rehan benar-benar memahami besarnya kelalaiannya. Wajah pria tua itu adalah topeng kekecewaan dan nyaris tidak menahan amarah saat dia melambaikan beberapa pemberitahuan pendaftaran yang terlewat di depan wajah Rehan.


“Apa maksudnya ini?” Pak Malik menuntut, suaranya rendah dan berbahaya. "Apa kamu tahu apa yang kamu buang? Masa depanmu, Rehan! Seluruh masa depanmu!”


Rehan berdiri mematung, tak mampu memberikan jawaban yang masuk akal. Beban dari kata-kata ayahnya menghantamnya seperti gelombang pasang, membuatnya terengah-engah.


" Aku... aku sedang membantu Nadia," ia tergagap, suaranya terdengar lemah dan kekanak-kanakan bahkan di telinganya sendiri. "Keluarganya sedang mengalami masa-masa sulit, dan dia membutuhkan aku."


Ekspresi ayahnya melunak sejenak, sekelebat simpati melintas di wajahnya sebelum mengeras kembali. "Ayah paham bahwa kau peduli pada gadis itu, Rehan. Tapi kamu tidak bisa mengorbankan masa depanmu sendiri untuk sebuah romansa SMA. Hubungan ini... tidak akan bertahan lama. Tapi pilihan yang kau buat sekarang dapat mempengaruhi seluruh hidupmu."


Rehan merasakan gelombang perlawanan muncul di dalam dirinya. "Ayah tidak tahu itu. Nadia dan aku... kami saling menyayangi. Kami akan menemukan cara untuk memperbaikinya."


Ayahnya menggeleng, senyum sedih tersungging di sudut mulutnya. "Cinta saja tidak cukup, nak. Tidak di dunia nyata. Kamu butuh kepastian, karier, masa depan. Jangan buang semua itu untuk seorang gadis yang mungkin tidak akan ada dalam hidupmu dalam beberapa tahun ke depan.”


Kata-kata itu menyengat, tapi Rehan tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sedikit benarnya dalam penilaian ayahnya yang keras. Saat ia berbaring di tempat tidur malam itu, ketika tidur tak kunjung datang, Rehan mendapati dirinya terbelah antara cintanya pada Nadia dan mimpi-mimpi yang pernah ia genggam untuk masa depannya.


Hari berganti menjadi minggu, dan Rehan mendapati dirinya semakin terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi adalah Nadia, perjuangan finansial keluarganya yang terus menerus menjadi sumber tekanan dan kekhawatiran. Dia melihat Nadia menarik diri dari teman-teman sekelasnya, kepribadiannya yang dulu penuh semangat mulai meredup di bawah beban realitas barunya. Nadia yang dulu dicintainya seakan-akan menghilang, digantikan oleh bayangan diri perempuan lain.


Di sisi lain ada orang tuanya, kekecewaan mereka adalah kekuatan yang nyata yang menyelimuti rumah mereka seperti awan badai. Senyuman sedih ibunya dan keheningan tajam ayahnya berbicara banyak tentang perasaan mereka mengenai pilihan Rehan. Dia bisa merasakan jarak yang tumbuh di antara mereka, jurang yang melebar karena kata-kata yang tidak tersampaikan dan harapan yang tidak terpenuhi.


Ketika kelulusan semakin dekat, Rehan dihadapkan pada sebuah keputusan yang akan menentukan jalan hidupnya. Nadia, yang semangatnya tampak patah karena cobaan yang dialaminya, mulai berbicara untuk membatalkan rencana kuliahnya. Dia berbicara tentang mencari pekerjaan, berkontribusi pada pendapatan keluarganya yang kini hanya sedikit, mimpinya untuk mengenyam pendidikan tinggi memudar seperti kabut di bawah sinar matahari pagi.


Lihat selengkapnya