Simfoni Yang Tumbuh

Hannief Wisnu Setiadji
Chapter #7

BAB 7, Konsekuensi Pilihan

Matahari baru saja muncul di cakrawala ketika alarm Rehan berbunyi, nadanya yang keras membelah keheningan sebelum fajar. Dengan mengerang, ia berguling, tangannya meraba-raba dalam kegelapan untuk membungkam suara yang tak henti-hentinya. Sejenak, ia berbaring di sana, mata terpejam, merelakan dirinya menemukan kekuatan untuk menghadapi hari yang lain.


Di sampingnya, Nadia bergerak, gumamannya yang mengantuk mengingatkannya pada kehidupan yang mereka jalani bersama. Mata Rehan mengerjap-ngerjap, memandangi langit-langit suram apartemen kecil mereka. Catnya mengelupas di beberapa bagian, noda air membentuk pola abstrak di sudut-sudutnya. Ini jauh berbeda dengan kehidupan yang pernah ia bayangkan untuk dirinya sendiri, untuk mereka berdua.


Saat dia mendorong dirinya sendiri, pegas kasur yang sudah usang berderit sebagai bentuk protes, pikiran Rehan mengembara kembali ke hari yang membuat mereka berada di jalan ini. Ingatan itu masih tajam, terukir dalam kesadarannya dengan kejelasan rasa sakit yang baru saja terjadi.


---


Saat itu adalah sore yang hangat di musim panas, sore yang menjanjikan segala kemungkinan yang tak terbatas. Rehan dan Nadia duduk berdampingan di tangga depan rumah keluarganya yang sederhana, setumpuk amplop yang belum dibuka di antara mereka. Masing-masing memiliki stempel dari universitas yang berbeda, masing-masing mewakili potensi masa depan, sebuah mimpi yang menunggu untuk diwujudkan.


Tangan Nadia gemetar saat ia meraih amplop pertama. Rehan memperhatikan wajahnya, hatinya terasa sesak melihat perpaduan antara harapan dan kekhawatiran yang ia lihat di sana. Dengan pelan-pelan, Nadia merobek segelnya dan membuka surat yang ada di dalamnya.


Matanya memindai halaman demi halaman, dan Rehan melihat saat-saat ketika harapannya runtuh. Tanpa sepatah kata pun, Nadia menyerahkan surat itu kepada Rehan, tatapannya tertuju pada suatu titik yang jauh.


“Dengan berat hati kami memberitahukan kepada Anda...” Rehan membaca dengan keras, suaranya terdengar pelan saat beban kata-kata itu meresap.


Satu per satu, mereka membuka amplop-amplop yang tersisa. Masing-masing berisi pesan yang sama, sebuah surat penolakan yang halus dan mimpi yang kandas. Saat mereka sampai pada surat terakhir, bahu Nadia bergetar karena isak tangis.


Rehan menariknya mendekat, matanya sendiri berkaca-kaca karena air mata yang tak tertahan. "Nggak apa-apa," gumamnya, meski mereka berdua tahu itu bohong. "Kita bisa cari jalan keluarnya. Kita selalu bisa."


Namun, saat matahari terbenam di bawah cakrawala, memberikan bayangan panjang di sekelilingnya, Rehan merasakan keraguan yang pertama kali muncul. Jalan yang tadinya terlihat begitu jelas, begitu pasti, kini diselimuti dengan ketidakpastian.


Pada hari-hari berikutnya, Rehan menyaksikan semangat Nadia tampak meredup. Gadis yang penuh semangat dan ambisius di mana ia telah jatuh cinta padanya mulai mundur ke sisi lain, mimpinya untuk mengenyam pendidikan tinggi mulai memudar seperti kabut di bawah sinar matahari pagi.


“Mungkin ini yang terbaik,” katanya pada suatu malam, suaranya datar dan pasrah. "Keluarga-ku membutuhkan uang. Aku bisa cari kerja, mulai ikut bantu-bantu."


Rehan ingin membantah, mengguncangnya dan mengingatkannya akan semua rencana yang telah mereka buat. Tapi kata-kata itu mati di tenggorokannya saat ia menatapnya, melihat kelelahan yang terukir di garis-garis wajahnya. Sebaliknya, ia mengangguk, meremas tangannya sebagai bentuk dukungan.


Ilham lah yang pertama kali menyarankan pekerjaan di pabrik. Teman masa kecil Rehan itu selalu menjadi orang yang praktis, menjadi penyambung lidah ketika kepala Rehan terlalu penuh dengan mimpi.


"Begini, Bung," kata Ilham sambil bersandar pada pagar berkarat di lapangan basket tempat mereka menghabiskan banyak waktu di sore hari. "Gue tahu ini bukan yang lo rencanain, tapi pabrik selalu merekrut orang. Ini adalah pekerjaan tetap, dengan gaji yang layak. Lo bisa menghidupi diri lo sendiri, mungkin bahkan bisa bantu Nadia."


Awalnya Rehan menolak, gagasan untuk meninggalkan cita-cita akademisnya terlalu menyakitkan untuk dipikirkan. Namun, seiring berjalannya waktu, dan kenyataan yang terjadi semakin jelas, ia pun kembali mempertimbangkan saran Ilham.


Ketika keputusan itu diambil, ia merasa tidak lagi memiliki pilihan dan lebih seperti menyerah pada keadaan. Rehan berdiri di depan gerbang pabrik, dengan surat lamaran di tangan, hatinya berat dengan beban mimpi yang tertunda.


Berita tentang keputusannya menyebar dengan cepat, sampai ke orang tuanya sebelum Rehan sempat menyampaikannya kepada mereka. Dia tidak akan pernah melupakan raut wajah ayahnya ketika dia kembali ke rumah malam itu. Ayahnya berdiri di ruang tamu, kehadirannya yang biasanya penuh wibawa berkurang oleh kemerosotan bahunya, terlihat kekecewaan di matanya.


"Apa itu benar?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar seperti bisikan. "Kamu menyerah untuk kuliah? Demi pekerjaan di pabrik?”


Rehan mengangguk, tak mampu menatap ayahnya. “Ini hanya sementara,” katanya, meskipun saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, ia meragukan kebenarannya. "Sampai aku bisa menabung, memikirkan banyak hal."


Wajah ayahnya mengeras, kekecewaan berganti dengan kemarahan. " Apakah ayah rela mengorbankan segalanya, bekerja keras, agar putraku bisa membuang masa depannya untuk seorang gadis!"


Kata-kata itu menggantung di udara di antara mereka, tajam dan menusuk. Rehan merasakan gelombang perlawanan muncul di dalam dirinya. “Nadia bukan hanya 'seorang gadis',” ia membalas. "Dia adalah wanita yang aku cintai. Dan saat ini, dia butuh aku, ayah."


Tawa ayahnya pahit, tanpa humor. “Cinta? Kau baru delapan belas tahun, Rehan. Kau tak tahu apa-apa tentang cinta. Tentang pengorbanan. Tentang dunia nyata.”

Perdebatan yang terjadi setelahnya sangat brutal, ketegangan dan kekecewaan yang tak terucapkan selama bertahun-tahun meledak dalam semburan kata-kata kasar dan saling tuduh. Ketika semuanya berakhir, Rehan berdiri di ambang pintu, sebuah tas yang dikemas dengan tergesa-gesa di kakinya, kata-kata terakhir ayahnya terngiang-ngiang di telinganya.


“Jika kamu keluar dari pintu itu, jangan repot-repot kembali. Kamu ingin membuang masa depanmu? Baiklah. Tapi jangan harap aku akan melihatmu melakukannya.”


Bantingan pintu di belakangnya terasa seperti penutup sebuah bab, berakhirnya sebuah kehidupan yang selama ini ia anggap biasa saja, saat Rehan berjalan melewati jalan-jalan sempit yang gelap, pikirannya terguncang oleh besarnya kejadian yang baru saja ia alami, ia mendapati dirinya berada di luar rumah Nadia yang kecil.


Nadia melihat wajah Rehan, melihat tas di tangannya, dan mengerti. Tanpa sepatah kata pun, ia menariknya ke dalam pelukan erat, kehangatannya menjadi obat untuk jiwanya yang hancur.


"Kita akan mencari jalan keluarnya," bisiknya, mengulangi kata-kata Rehan beberapa hari sebelumnya. “Kita selalu bisa.”


---


Ingatan itu memudar saat Rehan menyeret dirinya dari tempat tidur, otot-ototnya sudah terasa pegal untuk menghadapi hari yang melelahkan di pabrik. Dia bergerak melalui kos-kosan kecil mereka dengan efisien, berhati-hati untuk tidak membangunkan Nadia saat dia bersiap untuk bekerja.


Ketika dia berdiri di dapur kecil, menunggu mesin pembuat kopi kuno itu menyala, Rehan melihat bayangannya di jendela yang kotor. Wajah yang menatapnya itu jauh berbeda dari pemuda yang dulu penuh ambisi. Lingkaran hitam membayangi matanya, dan kerutan yang tak kunjung hilang telah bersemayam di antara kedua alisnya.


Enam bulan telah berlalu sejak hari yang menentukan itu, enam bulan dengan jam kerja yang panjang, otot-otot yang pegal, dan harapan yang pupus. Pekerjaan di pabrik sama melelahkannya dengan yang ditakutkan Rehan, sebuah siklus tanpa akhir dari tugas-tugas yang melelahkan yang membuatnya lelah secara jasmani dan rohani.


Nadia tidak bernasib lebih baik. Pekerjaannya sebagai pramuniaga di sebuah toko pakaian lokal nyaris tidak bisa menutupi biaya sewa kos, apalagi membantu membayar utang keluarganya yang menumpuk. Sering kali, Rehan pulang ke kosan dan mendapati Nadia meringkuk di sofa yang sudah usang, matanya sembab karena menangis.


Suara pintu kamar yang terbuka membuyarkan lamunan Rehan. Nadia muncul, terbungkus dalam daster yang sudah pudar, rambutnya berantakan. Meski masih sangat pagi, meski rasa lelah yang tampak melekat di tubuhnya seperti kulit kedua, jantung Rehan masih berdegup kencang saat melihatnya.


"Kamu sudah bangun pagi," kata Rehan sambil memberikan senyuman tipis.


Nadia mengangkat bahu, beranjak untuk bergabung dengannya di dapur. "Nggak bisa tidur. Aku pikir aku akan mengantarmu pergi."


Saat Nadia mencondongkan tubuhnya untuk menciumnya, Rehan mencium bau sampo murah yang mereka pakai bersama, sangat berbeda dengan wewangian mahal yang dulu ia sukai. Itu adalah hal kecil, tidak penting dalam rangkaian besar perjuangan mereka, tetapi hal itu menyentuhnya dengan kekuatan yang tak terduga.


“Nadia,” dia mulai, suaranya terdengar berat. “Aku minta maaf. Untuk semua ini. Jika saja aku berusaha lebih keras, jika saja aku-”


Nadia membungkamnya dengan meletakkan jari di bibirnya, matanya lembut penuh pengertian. “Jangan. Kita sudah membuat pilihan kita, kita berdua. Kita akan melewati ini, Rehan. Bersama-sama.”


Saat dia memeluknya erat-erat, menghirup aroma tubuhnya yang sudah tidak asing lagi, Rehan ingin sekali mempercayai kata-katanya. Namun keraguan yang telah mengakar di hatinya tidak mudah dibungkam.


Perjalanan menuju pabrik itu terasa sepi, jalanan sebelum fajar menyingsing kecuali sesekali ada kucing liar atau pemilik toko yang bangun lebih awal. Langkah kaki Rehan bergema di antara gedung-gedung, sebuah irama stabil yang sesuai dengan detak jantungnya.


Ketika ia mendekati gerbang pabrik yang menjulang tinggi, Rehan merasakan perasaan cemas yang sudah tidak asing lagi mengendap di dalam perutnya. Bau bahan kimia dan mesin yang tajam menyerang inderanya, mengingatkannya pada kehidupan yang kini ia jalani.

Lihat selengkapnya