Rambut yang hitam legam itu terurai dengan bebasnya, semilir angin yang masuk melewati kaca-kaca jendela sesekali meniup rambut tersebut menyebabkan tahi lalatnya terlihat jelas di dekat daun telinga kirinya. Suara sepatu Lily terdengar keseantero koridor sekolah. Dalam pancaran sinar mentari yang mulai beranjak sore kini menampakkan tubuh Lily yang tinggi semampai dan ramping.
Dengan sangat cepat dan berani, Ia menuruni tangga demi mengejar teman sebangkunya, Sarah. Namun, yang dicari-cari malah tidak kunjung terlihat. Di saat Ia sedang menengokkan kepala ke segala arah, tiba-tiba Ia teringat sesuatu. Dalam pikirannya Ia mulai merasa aneh. Ia pun melambatkan langkahnya, perlahan dan perlahan. Ia memandangi koridor yang luas itu, kemudian berbalik menatap tangga yang Ia lewati tadi, namun semua itu kini terlihat kosong. Tidak ada seorangpun. Tunggu sebentar! Ini baru pukul 3 sore! Batin Lily seraya melirik arlojinya di tangan kiri. Ah sudahlah! Mungkin memang hari ini anak-anak pada libur ekskul. Pikirnya.
Tetapi, ada yang sedikit mengganjal pikiran Lily sehingga Ia tidak kunjung beranjak pergi dari tempatnya berdiri. Mengapa Ia berlari kesini? Ia tiba-tiba merasa tidak mengingat apa-apa lagi tentang kejadian sebelumnya. Dan kemana si Sarah? Lily dilanda kebingungan lagi. Oh, mungkin tadi Ia berlari untuk mengejar Sarah. Pasti! Batinnya.
Dengan langkah pelan, akhirnya Lily melanjutkan langkahnya menyusuri koridor sekolah menuju gerbang sekolah. Ia ingin pulang secepatnya. Namun, langkahnya terhenti ketika Ia mendengar suara bola basket yang di dribble pelan.
"Hei, kamu siapa?" Suara laki-laki di belakangnya menggema ke seantero koridor membuat Lily bergidik.
Dengan enggan dan takut, Lilypun membalikkan badannya. Ia menahan napas. Namun, ketika Ia tahu siapa yang ada di belakangnya, Ia pun cepat-cepat menghembuskan napasnya dengan lega. "Ya ampun, Ndra. Tadi aku kira kamu itu entah siapa." Ucap Lily dengan mengelus-elus dadanya.
Chandra menatap wajah pucat Lily dan tangan Lily yang mengelus dada dengan alis terangkat. "Kamu kira aku hantu?" Tanyanya akhirnya dengan nada mengejek.
"Ih siapa bilang? Tadi itu aku hanya kaget aja." Jawab Lily membela diri.
Chandra tertawa pelan mendengar jawaban Lily. "Yakin nih?" Tanyanya kembali.
Lily hanya menjawab dengan anggukan kecil. Ia memalingkan wajahnya kearah kiri. Selang beberapa saat Ia menunggu tanggapan Chandra, namun tampaknya Chandra tidak berniat untuk menanggapinya sehingga Lily melirik kearah Chandra dan melihat wajah laki-laki itu. “Kamu sendiri, kenapa tanya-tanya aku siapa tadi? Suaramu persis seperti orang yang lagi was-was. Takut?” Seru Lily.
"Mungkin." Jawab Chandra santai. "Soalnya tadi aku sempat lihat patung tengkorak tiba-tiba jatuh aja di laboratorium biologi."
"Ih, kamu sukanya menakut-nakuti gitu, Ndra. Asal kamu tahu, aku kurang suka." Lily mengeratkan pegangan tangannya di tali ranselnya. Melihat tingkah Lily membuat Chandra semakin tidak tahan untuk tidak tertawa.
"Ya sudah, iya. Aku minta maaf ya, Ly." Lily hanya mengangguk membalas Chandra. "Ehm, well, ini kamu mau kemana? Ini kan baru jam empat sore, mau pulang?" Lanjut Chandra setelah melihat Lily tidak juga membuka suara.
"Kuburan." Suara Lily lirih dan pelan, lalu Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Chandra dengan raut wajah heran.
"Apa? Kuburan? Ngapain, Ly?" Tanya Chandra sambil berjalan menusul Lily.
"Mau buat kubur, untuk kamu." Jawab Lily kesal. Ia tidak mengerti mengapa Chandra begitu bodohnya sampai laki-laki itu langsung memercayainya. Chandra melongo sesaat dan baru menyadari bahwa Lily hanya bergurau, Ia pun menghentikan langkahnya dan tertawa terpingkal-pingkal. Melihat hal itu justru membuat Lily semakin kesal. "Kok kamu yang ketawa sih? Harusnya yang ketawa itu aku. Ih!" Lanjutnya.
"Iya, iya. Aku tadi ketawa karna tingkah lucu aku sendiri kok, Ly. Lagian kan tadi aku tanya serius ke kamu kok malah dijawab senewen gitu sih? Kamu itu anggap aku sama kayak Pak Burhan ya? Ditanya serius malah dijawab guyon, gimana aku tidak ketawa." Chandra tidak lepasnya memegang perutnya karena tidak dapat menahan tawanya, Ia pun menghapus air matanya yang jatuh di mata kirinya.
Nah, mengapa Ia baru ingat dirinya pernah menjawab tidak sopan di kelas Pak Burhan? Ia baru teringat ’keanehan’ yang Ia rasakan ketika Ia melupakan serangkaian kejadian yang Ia lewati setelah usai dari kelas Pak Burhan.
"Lily?" Lily langsung terkesiap mendengar panggilan Chandra. "Lagi mikir apa sih kamu? Serius sekali. Hati-hati, nanti kerasukan loh, terus kamu tidak sadar kamu beneran ke kuburan deh, hahaha."
Mendengar ejekan Chandra membuat Lily mendelik kesal kepada Chandra. "Ah, udah deh, jangan ganggu aku lagi! Sana lebih baik kamu pergi deh, Ndra! Cepet!" Lily mendorong punggung Chandra untuk menjauhi dirinya, Chandra hanya melangkah lemas karena merasa diusir begitu saja oleh Lily.
"Iya, iya. Ini aku pergi. Tapi nanti kamu jangan kangen sama aku ya? Janji loh!" Goda Chandra dengan mengangkat kelingkingnya meminta ditautkan dengan kelingking Lily, namun bukannya Ia mendapatkan balasan berupa kelingking, Lily justru mengangkat tangannya ke atas bersiap memukul Chandra, Chandra yang menyadari hal itu dengan sigap menghindar dari pukulan Lily, Ia langsung berlari meninggalkan Lily dengan tawanya yang membahana di seantero koridor.
"Chandraa........" terIak Lily kesal.
---
Lily menatap takut ke lingkungan sekitarnya. Ia cukup lama berpikir atas keanehan yang dialaminya sedari tadi.
Ini aku bener-bener di kuburan? Batinnya. Lily mencoba mengingat-ingat apa yang dilakukannya sejak tadi.
Dua menit.
Satu menit.
Tiga puluh detik.
Lily justru mulai merasa frustasi. Bagaimana tidak? Ia sama sekali tidak mengingat apapun, kecuali bahwa Ia menyadari dirinya sendiri baru saja tersadar dari lamunannya ketika menyadari dirinya sudah berada disekitar area kuburan. Ia pun menarik nafas dalam-dalam. "Oke, aku akui aku memang melamun dari tadi, tapi perasaan dari dulu seberapapun aku melamun, jalan pulangnya tidak pernah salah gini." batinnya.
Sekali lagi Lily memerhatikan ke sekelilingnya. Sudah hampir petang. Sinar matahari juga sudah memudar dibalik pohon-pohon bunga kamboja yang besar dan satu pohon beringin. Mengerikan. Lily menatap arloji orange di tangan kirinya, jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.56 WITA. "Pantas saja gelap begini." Gerutunya. Dengan menghembuskan nafas pelan, Ia pun memantapkan diri untuk melewati area pekuburan itu sendiri. Ya! Seorang diri.
Samar-samar suara katak dan beberapa serangga sudah mulai terdengar bersahut-sahutan. Angin malam sudah mulai terasa di sekujur tubuh Lily. Lampu-lampu rumah warga juga sudah mulai menyala di kejauhan sana. Lily berjalan perlahan dengan berusaha untuk tidak menimbulkan suara ribut, Ia percaya bahwa keributan yang ditimbulkannya akan dapat membangunkan mayat-mayat dari dalam kubur-kubur tersebut. Sesekali Ia menginjakkan kakinya pada sebuah daun yang sudah mengering, maka Ia terlonjak kaget sendiri yang membuat dirinya kesal terhadap dirinya sendiri.
Sial, batinnya. Oh, dia cepat-cepat meralat ucapannya begitu mengingat pesan ibunya dulu untuk tidak mengucapkan kata-kata kotor saat Ia sedang mengunjungi makam eyangnya. Lily langsung membungkuk meminta maaf kepada siapapun -ralat: apapun- yang tidak terlihat olehnya. Ia tidak ingat sudah berapa kali Ia membungkuk namun Ia tidak memerdulikannya, yang Ia pikirkan hanyalah bagaimana 'mereka' tidak akan merasa terganggu oleh ucapan Lily tersebut. Ia berpikir jika saja ada orang lain di sekitar area pekuburan yang lewat dan melihat tingkah anehnya, Ia tidak perduli.
Setelah akhirnya dirasa sudah cukup untuk meminta maaf kepada 'mereka', Lily akhirnya mencoba berjalan kembali dengan perlahan. Sesekali Ia membaca nama-nama yang tercantum di batu nisan. "Oh, Tuhan. Jangan biarkan aku mati di sini." Batinnya.
Tiba-tiba terdengar suara burung gagak malam di atas kepalanya sehingga seakan tanpa diperintah, Lily langsung berlari secara reflex dengan teriakan yang sangat kencang. Setelah dirasa dirinya sudah menjauh dari area terbang burung gagak tersebut, Ia pun berhenti. Sambil membungkuk dengan bertopang tangan di kedua lututnya, Lily mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Ia menjadi ingat dulu Ia pernah diberitahu ayahnya bahwa jika ada seseorang yang melihat burung gagak di malam hari maka itu tandanya umur seseorang itu sudah akan menjemput maut. Mengingat hal itu, Lily menjadi merinding.
Akhirnya, untuk yang ke sekian kalinya, Lily bingung akan berjalan kemana lagi. Dia benar-benar sudah kehilangan arah jalan pulang. Ia mencoba menelusuri pandangannya ke segala arah dengan rasa putus asa yang mulai timbul. Ia ingin menangis tapi tidak ingin terlihat lemah. Ketika baru saja Lily melangkahkan kakinya, Ia mematung. Debar jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Sekujur tubuhnya mulai melemas. Mulutnya secara otomatis tertutup dan membisu. Matanya tidak cukup kuat untuk berkedip sekalipun. Ia melangkahkan kaki kanannya satu langkah ke belakang dengan perlahan, mencoba untuk tidak menimbulkan suara. Apa yang akan Ia lakukan sekarang?
Salah! Ia baru ingat bahwa seharusnya Ia boleh saja menimbulkan suara namun tidak dengan mengizinkan detak jantungnya berdetak begitu cepat sehingga Ia sendiri bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Oh, 'dia' tidak bisa melihatku, 'dia' tidak bisa mencium bauku. Ucapnya dalam hati.
Ular.