FARA POV
Jika dipikir-pikir, perbuatannya sekarang memang terasa konyol dan tidak masuk akal. Saat ini gadis itu berada di depan gedung sekolah, memandang ke arah gedung setengah hancur yang gelap. Pantulan sinar bulan menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi halaman depan gedung—tembus melalui jendela dan menyorot sedikit bagian dalam gedung. Terlihat dinding-dinding yang menghitam dan runtuhan bebatuan yang berserakan. Meskipun kebakaran terjadi dua hari yang lalu, namun hawa di sekitar masih terasa hangat—hampir-hampir panas, debu-debu berterbangan dan membuatnya terasa sesak.
Fara terbatuk karena menghirup debu tersebut, gadis itu tidak yakin dengan hal yang dilakukannya sekarang. Untuk apa dia datang tengah malam begini? Apa yang bisa dia temukan? Tidak ada apa pun yang terlihat, tidak ada seorang pun yang bisa ditemuinya. Gadis itu merasa kepalanya sudah terlalu lelah—dia tidak bisa berhenti memikirkan pacarnya. Bagaimana keadaan anak lelaki itu? Memang informasi dari petugas mengatakan bahwa Sean dan Rehan berhasil keluar dari kobaran api, namun apakah mereka keluar dalam kondisi baik-baik saja? Gadis itu khawatir jika mereka kritis saat berusaha menyelamatkan diri, dan belum ada seorang pun yang menemukan mereka.
Gadis itu hendak kembali ke rumah ketika dia mendengar suara gesekan sepatu mengenai tanah—suara langkah kaki, dilanjutkan dengan seorang gadis yang mengucapkan namanya.
“Fara?”
Merasa suaranya tidak asing, Fara pun membalikkan badan dan melihat Chelsea yang berdiri bersama Faruq. Mereka berdua memakai jaket dan memegang senter, tampaknya mereka juga memiliki perasaan yang sama dengan gadis tersebut.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Chelsea lagi.
“Menurutmu? Apa yang kalian lakukan di sini?” Fara balik bertanya.
“Aku sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, namun saat melewati sekolah aku merasa ingin mengecek sebentar karena…kau tahu, kan? Mereka takkan mengizinkan kita berkeliaran di reruntuhan bangunan yang sedang di selidiki saat siang hari? Jadi, yeah…aku hanya berjalan-jalan sebentar,” sahut Faruq seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Fara tahu bahwa anak lelaki itu berbohong. Tidak ada seseorang yang hanya lewat sambil lalu namun membawa senter seperti berencana sejak awal untuk menyusuri gedung. Namun gadis itu tidak mengatakan apa-apa karena dia menghargai Faruq yang berusaha untuk membuat teman-temannya tidak khawatir.
Chelsea mengangkat bahu, gadis itu pun berkata, “Aku tidak bisa tidur, mungkin lebih baik jika aku mengunjungi sekolah… yeah, untuk mengurangi perasaan gelisah?”
“Aku juga,” sahut Fara seraya terkekeh, hanya dia yang tidak memiliki persiapan seperti kedua temannya. Gadis itu merutuki dirinya sendiri karena ceroboh seperti ini, sudah berjalan tanpa pikir panjang menuju kemari ditambah tidak mempersiapkan diri—tidak memakai jaket di tengah dinginnya malam, dan juga tidak membawa senter yang bisa membuatnya dalam bahaya jika pada akhirnya dirinya nekat masuk ke dalam gedung.
“Kau sedang melakukan pemanasan menjadi tokoh Elsa atau semacamnya? Jack Frost, mungkin?” Faruq melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Fara, “Kurasa jika kau kebal terhadap dingin, kau tidak membutuhkan jaket. Tapi aku merasa bahwa udara hari ini sangat dingin, jadi mau tidak mau kau harus menggunakannya.”
“Kan, kau yang merasa dingin?”
“Rasanya jauh lebih dingin jika harus bermusuhan dengan Rehan yang marah karena pacarnya tidak bisa kujaga dengan baik, bukan? Aku takkan berani menatapnya jika bertemu dengannya.”
Fara tidak bisa menolaknya, gadis itu pun memasukkan lengannya ke dalam jaket—memakainya. Gadis itu pun berkata, “Baiklah, trims.”
Setelah berdiskusi sebentar, pada akhirnya mereka bertiga pun sepakat untuk berkeliling gedung satu putaran. Mereka memperkirakan waktu yang akan dihabiskan tidak mungkin lebih dari empat jam dan orang tua mereka takkan menyadari bahwa mereka keluar semalaman.
“Baterai handphone-mu berapa persen?” tanya Chelsea.
“Umm…sekitar 40 persen, ada apa?” balas Fara.
Chelsea mengeluarkan handphone-nya dan memberikannya kepada Fara, “Pakailah punyaku, baterainya masih 100 persen dan gunakan itu sebagai senter. Kau tidak bawa, kan?”
“Mengapa kalian memberiku barang yang seharusnya kalian gunakan juga?”
“Karena kau tidak membawa persiapan, kami hanya meminjamkannya bukan memberikannya padamu,” sahut Chelsea, gadis itu meminta handphone Fara untuk dipinjamkan padanya. Katanya takut kalau-kalau mereka berpisah dan harus menghubungi satu sama lain.
Mereka memulai perjalanan dari gedung utama, melewati koridor dan menuju ke sebuah aula—tempat yang paling luas dibandingkan dengan sudut ruangan lainnya. Aula sekolah terasa begitu hening sekaligus menyesakkan. Sisa-sisa abu yang pekat menyelubungi seluruh ruangan, lantainya penuh dengan abu dan serpihan bebatuan. Faruq mengarahkan senternya menuju bangunan-bangunan di atasnya, melihat sekeliling tempat yang dulunya terdapat balkon-balkon. Anak lelaki itu maju beberapa langkah di depan Fara dan fokus dengan area yang disorot oleh senternya.
Chelsea berada di samping Fara, gadis tersebut fokus dengan koridor dan ruangan-ruangan yang ada disekitarnya, raut wajahnya terlihat di balik remang-remang cahaya senter—raut wajah sedih dan menyesal. Gadis itu menyentuh jari-jari tangan Fara, mulai menggandengnya. Fara tidak masalah dengan hal tersebut, karena dia juga membutuhkannya sebagai penenang.
Mereka menghabiskan waktu hampir empat puluh menit untuk mengelilingi satu gedung, tidak ada yang bisa ditemukan, semuanya hanya berupa reruntuhan dan dinding-dinding ruangan yang utuh namun gosong di beberapa tempat. Mereka pun memutuskan untuk berpindah ke gedung yang satunya lagi, setelah itu berpindah lagi karena sebagian gedung sudah hancur dan tidak akses untuk memasukinya sampai akhirnya mereka berada di gedung tempat kelas mereka berada.
Kalau dibilang penyebabnya adalah Chelsea, mungkin agak mustahil karena tampaknya gedung mereka jauh lebih sedikit terkena dampak kebakarannya. Sedikit bukan berarti tidak parah, gedung yang tadinya berwarna putih tersebut telah berubah hitam sepenuhnya. Lalu, sama seperti gedung lainnya, banyak serpihan reruntuhan dan debu-debu berterbangan—namun tidak separah gedung sebelumnya. Walaupun begitu, setidaknya gedung mereka masih utuh dan tidak sampai hancur lebur seperti beberapa gedung lain.
Faruq yang memimpin perjalanan. Anak lelaki itu menyingkirkan serpihan bebatuan yang cukup besar dan beresiko tersandung oleh kaki sejauh mungkin, dia mengangkat dan menggeser—memberikan jalan yang leluasa dan nyaman untuk Fara dan Chelsea. Anak lelaki itu pun menyusuri anak tangga menuju kelas. Butuh waktu yang lumayan lama bagi mereka untuk pergi ke sana karena kelas mereka berada di lantai tertinggi—lantai enam, dan tangga yang mereka naiki berbentuk seperti zig-zag. Mungkin sekolah mereka ingin menghemat tempat saat pembuatan gedung agar tempat yang tersisa bisa digunakan untuk sebuah ruangan, bukannya dihabiskan oleh tangga akses naik-turun.
“Sudah berapa lama kita berada di sini?” tanya Faruq, memecah keheningan. Anak lelaki itu tidak membuka handphone-nya sejak tadi karena fokus menyingkirkan bebatuan dan memimpin jalan.
“Dua jam, mungkin? Beruntung beberapa gedung sudah hancur jadinya kita tidak membutuhkan waktu lebih lama untuk menyusuri satu sekolahan,” sahut Fara. Walaupun perkataannya terdengar kejam, mengingat bahwa mereka baru saja berduka—gadis itu juga mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Rasanya mungkin mereka takkan selesai sebelum fajar jika harus menyusuri seluruh gedung sekolah yang utuh dengan kecepatan lamban seperti saat ini.
“Yeah… beruntunglah, kita juga sudah sampai,” kata Faruq seraya memasuki ruangan terlebih dahulu. Anak lelaki itu menyorot sekeliling ruangan, “Bagaimana mereka keluar dari sini?”
Fara berjalan perlahan, ruangan tersebut penuh dengan kayu-kayu hangus. Kayu-kayu tersebut yang dulunya merupakan meja dan tempat duduk para murid dan guru. Gadis itu membongkar beberapa tumpukan kayu sambil berusaha mengingat kursi yang biasa di duduki oleh Rehan. Anak lelaki itu suka sekali dengan meja duduk yang menempel ke dinding, karena memudahkannya untuk tidur siang. Fara tersenyum kecil mengingat kenangan tersebut, gadis itu menatap dinding yang masih berdiri kokoh di sebelah kanannya—itulah dinding favorit Rehan.
Gadis itu menghampirinya, mengusap tumpukan kayu yang menurutnya adalah meja Rehan. Dia memandanginya beberapa saat hingga pandangannya mulai mengabur. Tanpa di sadari, air matanya terjatuh dan menetes ke salah satu kayu di bawahnya. Gadis itu menundukkan kepalanya—tidak ingin kedua temannya melihat. Dia berpura-pura mengorek tumpukan kayu itu dan tanpa sengaja menemukan sesuatu berwarna putih di bawahnya.
Sontak, air matanya berhenti. Gadis itu mengangkat kayu satu-persatu dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya menyorot kayu tersebut dengan senter handphone milik Chelsea. Anggap saja jika imajinasinya terlalu kuat, namun benda berwarna putih tersebut adalah secarik kertas.
“Hei, teman-teman… kurasa kalian harus melihat ini,” kata Fara dengan suara yang agak parau sehabis menangis. Kedua temannya menghampiri dan melihat kertas yang ditemukannya.
“Mungkin kertas ini tidak ikut terbakar karena sudah tertutup oleh tumpukan kayu?” ucap Faruq, anak lelaki itu tampaknya tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
“Tidak, tidak…” sahut Fara cepat, sekalipun ada kertas yang tidak ikut terbakar, pasti setidaknya kertas itu memiliki tekstur yang berbeda dan agak sedikit kecokelatan atau kotor karena panas dan tertimbun. Kertas ini tentu saja berbeda—
“Kertas ini terlalu bersih, seperti ada seseorang yang menaruhnya setelah api padam,” kata Chelsea, menjelaskan hal yang dipikirkan oleh Fara.