Simple School Game

Ankano Wen
Chapter #6

05. Bertemu Kembali


SEAN POV

Ada untungnya jika kau tidak terlalu pintar. Sean selalu berkata kepada dirinya seperti itu setiap kali dia diejek oleh teman-temannya karena terlalu sering bermain dan selalu membandingkannya dengan Fara setiap kali dia tidak mengerjakan tugasnya.

Namun kali ini Sean merasa bahwa otaknya sedang berjalan untuk memikirkan kasus ini, dan rasanya tidak bagus. Anak lelaki itu mendapati bahwa ada seseorang yang menyelamatkannya dan Rehan sesaat sebelum dirinya pingsan, lalu tersadar di sebuah gudang dan tahu-tahu sudah lewat satu hari ketika kebakaran itu terjadi. Terlebih fakta bahwa banyak orang yang mencari mereka tapi tidak menemukannya padahal ada petugas yang mendatangi tempat ini. Anak lelaki itu bisa saja berpikir kalau itu semua hanyalah sebuah kebetulan yang membuat mereka kurang beruntung karena belum ditemukan dan tersasar ditempat asing. Namun anak lelaki itu tidak bisa melakukannya.

Anak lelaki itu tidak tahu mengapa hal tersebut bisa terjadi, tidak ada informasi yang bisa mereka dapatkan selain yang terucapkan oleh Adit. Anak lelaki itu melihat Rehan menanyakan beberapa hal lagi kepada Adit dan mendapati bahwa tidak ada yang memiliki gudang tersebut.

“Itu gudang yang bebas digunakan siapa saja, terletak lumayan jauh dari pemukiman karena tempat tersebut tidak terlalu dibutuhkan dan warga enggan menghancurkannya. Terkadang sehabis berbelanja dan hujan sedang turun, kami menggunakan gudang tersebut sebagai tempat berlindung. Kalau berlari dengan membawa barang yang banyak, kami khawatir barang bawaan kami akan basah dan rusak, jadi itu juga termasuk alasan mengapa gudang tersebut tidak dihancurkan,” tutur Adit.

“Jadi bisa saja orang asing yang menempatkan kami ke dalam sana,” gumam Rehan.

“Menurutmu untuk apa dia menempatkan kita ke dalam sana? Mengapa dia tidak membawa kita langsung ke rumah sakit atau semacamnya? Atau setidaknya ke rumah warga?” tanya Sean, anak lelaki itu merasa sedikit gusar sekarang. Mereka tersesat dengan keadaan tidak tahu apa-apa, ditambah mereka baru tersadar setelah seharian penuh pingsan. Bagaimana bisa hal seperti itu terjadi?

Anak lelaki itu harus menahan dirinya. Tidak ada gunanya marah, sekarang yang harus dipikirkannya adalah bagaimana caranya agar dia dan Rehan bisa kembali mencari jalan pulang.

“Aku sama tidak tahunya dengan kalian,” sahut Adit, menanggapi pertanyaan Sean sebelumnya. Rehan pun hanya diam dan tidak menjawab apa-apa.

“Maafkan aku, tolong lupakan saja,” kata Sean, “Apakah…apakah kau tahu jalan menuju jalan raya? Atau setidaknya menuju sekolah yang terbakar itu?”

“Ya, jaraknya tak jauh dari sini. Jalan raya bisa dilalui dari sekolah yang terbakar, kalian hanya harus berjalan beberapa meter dan terdapat jalan bercabang di depan. Aku bisa antarkan kalau kalian mau,” kata Adit.

“Baiklah,” Sean segera bangkit, namun Adit segera mencegahnya.

“Kau tidak berpikiran untuk berangkat sekarang, kan?” tanya anak lelaki itu.

“Mengapa?”

“Sekarang sudah pukul satu malam, apa yang ingin kau lakukan? Sebaiknya menginap dulu semalam di sini.”

Mendengar hal tersebut membuat Sean semakin tidak sabaran. Jika harus menunggu besok, itu berarti orang-orang akan kembali bekerja untuk mencari mereka dan itu berarti harus membuat orang tuanya semakin cemas. Anak lelaki itu tidak bisa menahannya. Dia ingin pulang hari ini juga.

“Tolong, maukah kau mengantarkan kami sekarang? Kumohon,” kata Sean.

“Ya, kurasa lebih baik jika kita langsung pulang ke rumah,” timpal Rehan.

Adit pun menghela napas seraya bangkit dari duduk. Anak lelaki itu masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya dengan baju lengan panjang dan membawa senter kecil di tangannya. Anak lelaki itu pun berjalan terlebih dahulu keluar rumah.

“Perjalanan menuju ke sana lumayan gelap, jadi kalian harus mengikuti di belakangku,” katanya.

Mereka bertiga berjalan melalui gudang tempat mereka tersadar, lalu berjalan lurus sejauh beberapa meter dan melewati beberapa belokan. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka sudah sampai di halaman belakang sekolah—jalur lintas-kabur yang sering digunakan oleh anak-anak yang sering bolos sekolah—tempat di mana mereka keluar dari kobaran api dan terjatuh pingsan.

Trims, Dit.” Kata Sean, anak lelaki itu merogoh saku celananya dan menemukan beberapa lembar uang yang diantaranya sudah setengah hangus terbakar. Namun ada salah satu uang yang masih utuh bernilai lima puluh ribu rupiah. Anak lelaki itu pun langsung memberikan uang tersebut kepada Adit.

“Hei, apa-apaan kau?” Adit hanya bergeming, tidak bergerak sama sekali untuk mengambil uang tersebut. “Kalau kau ingin membayar jasaku untuk perjalanan malam hari yang sangat menyenangkan ini, tidak, aku takkan menerimanya. Memang menyebalkan harus menempuh jalan gelap di malam hari yang dingin, tapi kau tidak harus memberikan uang seperti itu kepadaku.”

“Ini untuk bayaran atas informasi dan sambutan hangatmu kepada kami,” ujar Sean, anak lelaki itu masih menyodorkan uang tersebut, “Jarang ada orang yang ingin menerima tamu asing tengah malam seperti ini. Biasanya mereka takkan peduli walau orang tersebut sedang susah sekalipun, namun kau peduli.”

“Kau pantas menerimanya,” timpal Rehan.

“Dasar sinting,” gumam Adit, namun dia masih terdiam.

“Ini sebagai tanda pertemanan, kalau kau tidak ingin menerimanya berarti kau ingin bermusuhan dengan kami. Dan biar kujelaskan, aku tidak suka permusuhan seperti ini.” Kata Sean, anak lelaki itu pun akhirnya memasukkan uang tersebut ke dalam saku celana Adit—yang kali ini tidak menolaknya. Anak lelaki itu pun berterima kasih beberapa kali, lalu pamit untuk kembali ke rumahnya.

“Sekarang, apa?” tanya Sean.

“Biar lebih cepat menuju jalan, kita lewat sekolah saja,” sahut Rehan. “Ayo,”

***

Awalnya Sean khawatir jika mereka tidak bisa mengakses sekolah karena banyaknya reruntuhan gedung yang menghalangi. Tetapi ternyata mereka bisa melewatinya dengan mudah. Anak lelaki itu berjalan dibelakang Rehan—melihat gedung-gedung yang hancur dan menghitam di sekitarnya. Setelah mengamati beberapa saat, dia menyadari bahwa gedung yang terkena dampak paling parah adalah gedung pusat atau gedung tengah. Dimana semuanya berada di sana, baik itu ruang kepala sekolah, ruang guru, kantin, hingga ruang operasional.

Ruang operasional. Itu dia.

Sean berpikir, mungkin saja penyebab kebakaran itu terjadi karena kesalahan pada pengendalian listrik di ruang operasional tersebut. Itu hal yang wajar sekaligus rentan. Kini anak lelaki itu mengetahui alasan mengapa ruang operasional selalu di kunci dan dijaga dengan ketat—untuk menghindari kecelakaan seperti ini.

Anak lelaki itu pun kembali melihat-lihat sekilas, gedung bagian kanan juga terkena dampak yang buruk. Mungkin karena gedung tersebut sejajar dengan gedung tengah. Anak lelaki itu merasa bersyukur karena berada di kelas yang ditempatkan di gedung kiri—gedung terjauh yang letaknya terpisah dari gedung tengah—terhubung dengan jembatan layang yang ditempatkan di lantai tiga, tepat di atas lapangan olahraga. Gedung tersebut mendapatkan dampak kebakaran yang ringan, walaupun tetap terdapat reruntuhan namun setidaknya kerangka gedung tersebut masih utuh—tidak ambruk seperti beberapa bagian gedung lain.

“Apa yang terjadi dengan anak yang lainnya, ya?” ucap Rehan, anak lelaki itu menendang kerikil yang berada di hadapannya.

“Entah, jangan bertanya padaku,” sahut Sean, anak lelaki itu melihat temannya hanya memutar bola mata dan mendesah. “Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana caranya kita pulang?” lanjutnya.

“Jam segini masih ada angkutan umum, kan?” tanya Rehan.

Lihat selengkapnya