FARUQ POV
Ada alasan mengapa dia memilih untuk menyalakan senternya. Anak lelaki itu mengenali suara yang didengarnya saat dia dan kedua temannya berdiri di pojok ruangan. Suara tersebut merupakan suara Sean yang sangat dikenalinya—mulai dari nada hingga gaya bicara. Terlebih setelah mendengar kata Ghost Buster yang sudah pasti ‘Sean’ sekali.
“Kau gila? Untuk apa kita berdiam diri selama ini jika akhirnya kau mengungkapkannya dengan terang-terangan seperti itu?” desis Chelsea, gadis itu berkata dengan setengah berbisik dan setengah berteriak kepada Faruq. “Hah, bisa gila aku.”
Kukira dia bakal mengenalinya batin Faruq. Anak lelaki itu menyorot seseorang yang berdiri di depan pintu tersebut dan sosok tersebut merupakan Rehan.
“Chelsea?” tanya anak lelaki itu.
Mereka bertatapan selama beberapa detik sebelum akhirnya Fara bergerak dari tempatnya—tanpa sengaja menyikut Faruq dan berlari melintasi ruangan, menuju Rehan yang masih berdiri di depan pintu dengan wajah terkejut. Gadis tersebut memeluknya dan tanpa disadari mengeluarkan air matanya.
“Hei,” bisik Rehan pelan, anak lelaki yang sedang dipeluk itu pun membalas pelukan dan mengusap rambut Fara dengan lembut.
“Kau hidup, kau masih hidup,” isak Fara, gadis itu benar-benar memeluk Rehan erat.
Faruq tidak dapat mendeskripsikan hal yang dirasakannya saat ini. Anak lelaki itu benar-benar merasa lega mengetahui bahwa temannya selamat dan sekarang mereka bertemu di situasi yang tidak terduga. Dia bergegas menghampiri Rehan dan Fara seraya menahan rasa lega yang membuatnya hampir menangis dengan cara mengentakkan kakinya sedikit lebih keras saat berjalan untuk mengalihkan perhatiannya. Anak lelaki itu memperhatikan bahwa Chelsea sudah terisak di sampingnya, dia bisa melihat bahwa gadis itu merasa senang dengan keadaan Rehan yang kembali dengan selamat. Suasana haru pun berlangsung beberapa saat sebelum akhirnya mereka lupa akan satu hal.
“Ada apa ini?” tanya Sean yang baru datang dari luar ruangan, anak lelaki itu sempat terkejut beberapa detik saat melihat pemandangan yang ada di hadapannya, “Oh...”
“Mengapa kalian semua ada di sini?” lanjutnya.
Faruq benar-benar melupakan anak tersebut. Mungkin karena Rehan dan Fara yang berpelukan dengan erat dihadapan mereka, atau mungkin karena dia sudah terlalu khawatir sampai tidak mengingat Sean ketika melihat Rehan ada di depannya.
“Hei, bagaimana kabarmu Sean?” tanyanya seraya meninju lengan anak lelaki tersebut.
“Setelah bermain-main dalam kobaran api? Tentu aku baik-baik saja,” sahut Sean.
“Mengapa kau masih hidup?” tanya Chelsea, suaranya parau karena habis menangis.
“Kau mengharapkan aku mati?” Sean bertanya balik.
“Tidak, aku yang akan membunuhmu jika terjadi sesuatu padamu lagi.” Sahut Chelsea, walaupun cara bicara dan nadanya begitu ketus, gadis itu tersenyum.
“Baiklah, akan ku ingat pesanmu itu,” kata Sean, anak lelaki itu pun merentangkan tangannya dan berkata, “Tidak ada yang ingin memelukku atau semacamnya? Seperti dua pasang kekasih yang sedang menangis bersama di hadapan kita?”
Rehan dan Fara yang mendengar percakapan tersebut pun melepas pelukannya dengan enggan lalu menatap Sean dan memberikan tatapan datar kepadanya. Rehan pun angkat suara,
“Kau peluk saja salah satu bebatuan di sekitar dan bawalah pulang bersamamu.”
“Serius?” sahut Sean, anak lelaki itu pun menurunkan tangannya lalu bertanya, “Apa yang kalian lakukan tengah malam di gedung setengah hancur seperti ini? Kalian tidak berpikiran untuk melakukan hal aneh-aneh di sini, kan?”
“Kami hendak mencari kalian,” sahut Faruq, “Kami tidak diizinkan mengakses gedung saat siang hari karena semuanya di jaga oleh petugas. Jadi inilah satu-satunya kesempatan kami untuk pergi.”
“Dan, sebenarnya kami menemukan sesuatu yang aneh,” timpal Fara, gadis itu pun berjalan ke rak-rak besi dan membawa kertas serta informasi yang sudah mereka dapatkan.
Mereka berlima pun mengambil posisi duduk di lantai secara melingkar dan Fara pun mulai memberi penjelasan kepada Rehan dan Sean. Gadis itu menjelaskan mulai dari ditemukannya kertas di bawah reruntuhan bangku tempat Rehan duduk hingga nomor darurat 911 yang bisa saja diartikan sebagai angka 119.
Chelsea menimpali Fara beberapa kali, menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Gadis itu merasa mungkin saja mereka sedang diawasi dan dia mendapati bahwa hal-hal yang sedang terjadi itu seperti sebuah alur dalam permainan.
“Aku tidak tahu kalau ini hanyalah sebuah kebetulan atau apa, tetapi kalian tiba-tiba datang ke gedung ini disaat yang bersamaan dengan kami. Rasanya seperti wuushhh! Kalian menghilang lalu muncul dengan wajah tanpa dosa dan mengatakan halo dengan santai seolah-olah kalian baru pulang dari liburan,” tutur Chelsea.
Kedatangan mereka seperti sudah direncanakan pikir Faruq.
Entah mengapa anak lelaki itu memikirkan hal tersebut secara tiba-tiba. Mungkin saja Rehan dan Sean juga mendapatkan sesuatu dalam perjalanan mereka kemari. “Bagaimana kalian bisa menemukan kami disini? Apakah kalian mendapatkan surat yang sama seperti kami?”
“Tidak,” sahut Sean, anak lelaki itu mengambil jeda selama beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan, “Tetapi satu hal yang pasti, kami terbangun dalam gudang yang tak berpenghuni. Mungkin saja kami di rawat, karena ada baskom berisi air dan handuk kecil—seperti kami dibersihkan atau semacamnya. Kami juga sempat mengunjungi salah satu rumah warga di sana, dan mengetahui bahwa gudang tersebut tidak berpenghuni dari seseorang bernama Adit. Kau tahu, ternyata kami di bawa lumayan jauh dari lokasi kami saat pingsan.”