Simple School Game

Ankano Wen
Chapter #10

09. Perjalanan terakhir

FARA POV

Rehan menariknya menepi sesaat setelah mereka berpisah dari yang lain, anak lelaki itu mengajaknya ke sudut ruangan terjauh dan baru menanyakan sesuatu yang sudah dilakukan sejak mereka bertemu kembali. Anak lelaki itu bertanya mengenai tujuan mereka terus melanjutkan pencarian walaupun hal yang didapatkan tidak memberikan jawaban sama sekali.

“Karena kita harus menguak apa yang terjadi dengan sekolah kita, setidaknya jika kita mengikuti permainan seperti ini kita bisa mendapatkan jawaban. Penyebab kebakaran ini jelas disengaja tetapi kita tidak mengetahui tujuan dan alasan mengapa mereka membakar sekolah ini,” sahut Fara, gadis itu merasa simpati kepada Rehan karena anak lelaki itu baru saja kembali dalam keadaan linglung—terlebih tubuhnya yang hanya terbalut lembaran kain tipis—harus menemaninya dan ikut mencari jawaban di tengah malam yang dingin seperti itu.

“Kita akan kembali sebentar lagi, oke? Jika di tempat ini tidak ada petunjuk apapun atau hanya mendapatkan petunjuk aneh yang tidak ada jawabannya kita akan segera pulang. Tempat ini yang terakhir, aku janji.” lanjutnya.

“Kau menyukai permainan seperti ini? Mencari petunjuk dan jawaban?” tanya Rehan.

Fara merasa bingung dengan pertanyaan Rehan, alih-alih menjawabnya anak lelaki itu malah menanyakan hal yang lain. Pertanyaan yang pada akhirnya tetap dia jawab, “Jika dalam keadaan santai dan tidak terlibat dalam hal apapun yang membahayakan seperti ini, aku menyukainya. Jujur saja aku memang tertarik dengan kasus ini, terlebih itu menyangkut diri kita, menyangkut dirimu yang hampir tidak selamat dalam peristiwa tersebut. Aku tidak tahu apakah aku terus bersikeras melakukan pencarian ini karena aku tertarik atau karena aku sangat khawatir padamu sampai rasanya kesal dan ingin menemukan si pembuat onar ini.”

“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku,” sahut Rehan seraya tersenyum, anak lelaki itu pun mengusulkan agar mereka beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pencarian. Fara pun segera menurutinya karena sejak tadi mereka belum sempat berbicara berdua saja. Gadis itu menatap Rehan yang bersandar di dinding seraya menghela napas, anak lelaki itu pun balik menatap Fara dan terjadi keheningan sepersekian detik. Raut wajahnya tampak menimbang-nimbang dan matanya tidak berkedip sedikit pun.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Fara.

“Aku menyukaimu,” sahutnya.

Fara terkekeh, entah mengapa jawabannya terdengar konyol ketika melihat raut wajah serius yang ditunjukkannya. Seolah mengatakan hal tersebut merupakan hal terpenting yang harus dipikirkan secara matang, “Bagaimana jika aku tidak menyukaimu?”

“Karena kau mencintaiku, bukankah begitu?”

Fara mengangguk seraya tersenyum, gadis itu mengajukan pertanyaan yang sama dan anak lelaki itu pun menjawab, “Aku akan mengajakmu untuk melakukan hal yang kau sukai, akan kulakukan untukmu agar kau senang.”

“Wow, hentikan gombalan konyolmu itu… aku tidak siap jika kau harus bersikap menyebalkan seperti Sean.”

Rehan menegakkan tubuhnya, raut wajahnya berubah menjadi serius. “Tidak, aku benar-benar akan melakukannya.”

“Ya, tentu saja aku percaya padamu. Aku hanya bergurau saja tadi.”

Rehan tidak menjawabnya, anak lelaki itu kembali menatap Fara dalam hening—hal yang membuat gadis itu merasakan sesuatu hal yang tidak beres, karena Rehan hanya akan menatapnya seperti itu ketika dia ingin membicarakan hal yang serius. Biasanya anak lelaki itu akan langsung mengatakannya, namun kali ini tampaknya dia masih berusaha untuk menahannya. Fara juga tidak ingin menuntutnya untuk membahas mengenai apa yang dipikirkannya, gadis itu mengambil tindakan diam yang sama untuk memberikan ruang agar Rehan bisa membicarakannya secara perlahan.

“Apakah kau merasa bosan jika tidak bermain? Tadi kau mengatakan bahwa kau menyukai permainan teka-teki seperti ini,” katanya pada akhirnya.

“Rehan, apakah kau berpikiran seperti ini karena tadi kukatakan bahwa aku menyukai permainan teka-teki? Aku tidak bosan jika tidak bermain, aku juga tidak merasa tertekan atau stress ketika harus belajar setiap hari. Aku ingin bermain hanya karena rasa penasaran dan ternyata hal itu juga menyenangkan jika melakukannya secara bersama-sama.”

“Aku ingin membuatmu senang,” sahutnya.

Mengapa dia tiba-tiba seperti ini? Apakah dia mulai sensitif karena kecapekan? Batin Fara. Gadis itu melihat jika raut wajah Rehan tampak murung dan terlihat kurang puas dengan jawaban yang diberikannya. Gadis itu pun segera menghampirinya dan bersadar di sampingnya.

“Ayo kita seperti ini untuk sementara, sepertinya kau lelah.” Kata Fara.

“Tidak, tidak… aku tidak lelah, aku yakin sebentar lagi kau akan merasa senang,” sahut Rehan, anak lelaki itu menyeringai seraya berdiri tegap, “Seharusnya sebentar lagi teman-teman datang karena kita sudah terlalu lama di sini. Mungkin saja mereka sudah menemukan petunjuk yang lain.”

“Bukankah seharusnya kita berkumpul di tempat yang sudah ditentukan? Kalau begitu seharusnya kita bergegas ke sana, mereka bisa saja menunggu kita dari tadi,” sahut Fara.

Rehan benar, tanpa terasa mereka sudah menghabiskan beberapa menit yang berharga dalam diam. Teman-temannya pasti sedang menunggu mereka dalam kebingungan, mungkin saja berharap agar mereka menemukan sebuah petunjuk—hal yang membuat Fara kembali tersadar karena Rehan dan dirinya belum menemukan petunjuk satu pun. Gadis itu hendak menyuruh Rehan untuk kembali ke titik berkumpul ketika teman-temannya datang dengan beberapa petunjuk tambahan.

“Apa yang kalian lakukan selama ini? Kukira kalian menemukan sesuatu yang besar sampai tidak bisa kembali,” kata Sean, anak lelaki itu membawa lembaran sampul-sampul buku yang sudah hangus.

“Kalian sibuk berkencan dan hanya aku yang terjebak dalam hal ini,” gerutu Faruq.

“Apa yang terjadi?” tanya Fara.

Ketiga temannya menaruh petunjuk-petunjuk yang sudah ditemukan sejauh ini dan mereka mulai menjelaskannya kepada Fara dan Rehan. Sean menambahkan jika kemungkinan bisa menemukan pembuat permainan sangat mustahil karena segalanya hanya mengarah kepada diri mereka masing-masing. Semua anak sudah ditargetkan kecuali Faruq, anak lelaki itu sekarang adalah satu-satunya petunjuk yang bisa mereka dapatkan.

“Akan kuhitung sampai tiga, jika kau tidak mengakui maka kau akan ku hajar.. satu… tiga…” Sean segera melayangkan tamparan ke wajah Faruq ketika mengatakannya, anak lelaki itu terkekeh saat melihat temannya yang terkejut di hadapannya.

“Sialan,” gumam Faruq seraya menyentuh pipinya.

“Yah, aku tidak bisa mengatakan jika Faruq adalah pelakunya. Tidak mungkin seseorang memberikan identitasnya secara sukarela di saat seperti ini, bisa-bisa malah kena pukul oleh masing-masing dari kita,” ujar Chelsea.

“Hal yang terpenting adalah, tidak mungkin pelakunya salah satu dari kita. Bisakah kau berhenti memberi penjelasan yang membuat kami menjadi salah paham?” tanya Rehan.

“Hei, lihatlah siapa yang mengatakannya. Orang yang memukulku sebelumnya tanpa berpikir,” sahut Sean seraya mendengus, anak lelaki itu mengacungkan jari tengahnya kepada Rehan.

“Sialan, Sean. Aku hanya mengatakannya agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti tadi, jadi cobalah untuk bersikap baik dan jangan memancing emosiku.”

Sementara Sean dan Rehan berdebat, Fara kembali memerhatikan semua petunjuk yang telah ditemukan. Kalau dilihat secara keseluruhan, sebenarnya bukan hanya Faruq saja yang tidak menjadi sasaran melainkan juga Chelsea. Gadis itu tidak ditempatkan dalam petunjuk manapun, namun dia tetap bisa terkena masalah jika tidak menceritakan kesaksiannya terhadap Hansel. Fara kembali melihat angka-angka 1 dan 9 yang sering muncul pada hampir semua petunjuk—angka yang tidak asing menurutnya, sekalipun gadis itu tetap tidak terpikirkan hal lain selain perasaan tidak asingnya itu. Gadis itu hendak meneliti petunjuk lainnya ketika terdengar suara tulang yang beradu.

“Sialan!” pekik Faruq seraya meninju wajah Rehan, anak lelaki itu terjatuh karena pukulan yang keras.

“Apa-apaan—“

Lihat selengkapnya