SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #1

PROLOG

LAUT BANDA – 1659

Deru itu bukanlah suara badai biasa. Abel van der Heijden merasakan itu menelusup ke dalam sumsum tulangnya, ke dalam giginya yang bergemeletuk. Selama separuh hidupnya, lautan telah menjadi gereja sekaligus medan perangnya. Ia belajar membaca amarahnya dalam warna awan dan mendengar bisikannya dalam siulan angin. Tapi ini… ini bahasa yang berbeda. Bahasa yang lebih tua serta lebih buas. Suaranya lebih liar. Terdengar seperti bahasa purba. Bahasa yang bahkan terlahir sebelum dunia mengenal Adam.

Di atas geladak De Verdwaalde yang terhuyung-huyung, para pelaut bergerak seperti hantu dalam opera kekalutan. Air bah yang dingin dan ganas menyapu dek, mencuri peralatan, tong, dan hampir saja merampas nyawa seorang pemuda yang tergelincir sebelum akhirnya ditarik kembali oleh lengan-lengan kasar rekannya. Lentera-lentera menari liar, cahayanya yang berwarna kekuningan memotong kegelapan pekat, menerangi wajah-wajah yang basah oleh air hujan dan teror. 

Bij de mast! Bind alles vast!” 

Raung Bootsman gemuk bernama Corstiaan, suaranya yang keluar, seketika itu lenyap ditelan angin. 

“Ikat semuanya! Jangan biarkan ombak mengambil jatahnya sebelum iblis di bawah sana mengambil jatah kita!”

Abel mencengkeram pagar dek yang licin, buku-buku jarinya memutih. Darahnya tercekat. Angin merobek topi lakennya, melemparkannya ke dalam pusaran kegelapan. Rambut cokelatnya yang biasanya tertata rapi kini menempel, lepek di dahi dan pelipisnya, basah kuyup. Ia tak pernah menjadi kapten yang memimpin dari kabinnya yang hangat. Ia percaya bahwa seorang pemimpin harus merasakan garam dan angin yang sama dengan anak buahnya. Akan tetapi malam ini, ia benar-benar ingin berada di mana saja selain di sini. Nyatanya, takdir acuh pada keinginannya.

Ombak setinggi gereja Rotterdam belum pernah membuatnya ngeri, gentar. Pun angin yang mengancam hendak merobek tiang-tiang utama dari akarnya. Ketakutannya datang selaras cahaya. Cahaya hijau pucat yang dalam benak siapapun yang melihatnya akan terasa ganjil. Di luar batas kewarasan. Cahaya itu tiadalah ia datang dari surga ataupun sambaran petir, cahaya yang memancar berasal dari kedalaman laut yang tak terukur. Seluruh lautan di sekitar mereka berdenyut dengan cahaya yang mengerikan, mengubah puncak-puncak ombak menjadi gelombang nanah dari luka yang terinfeksi. 

“Kapitein!” Hendrik, perwira pertamanya—seorang pria jangkung dan kurus dengan wajah cemasnya terpasang abadi—berjuang menerobos angin demi berdiri di sampingnya. “Para penembak meriam menolak kembali ke pos! Mereka bilang… mereka bilang laut ini dikutuk!”

“Kutukan itu urusan pendeta. Untuk orang-orang yang tak percaya Tuhan, Hendrik!” balas Abel, suaranya serak karena berteriak melawan badai. Ia berusaha terdengar tegas, rasional. “Itu cuma fenomena alam! Api Santo Elmo dari bawah, mungkin! Pelepasan gas dari dasar laut! Jaga kapal ini tetap utuh!”

Hendrik menatapnya, matanya melotot melemparkan ketidakpercayanya. “Gas? Kapitein, dengan segala hormat, gas tak pernah membuat kompas kita menari seperti pelacur mabuk! Lihatlah!”

Abel melirik ke arah rumah kemudi. Melalui pintu yang terbuka, ia bisa melihat Klaas, samar oleh tirai air dari percikan ombak. Juru mudi tua yang tangguh, berjuang keras mengendalikan roda kemudi raksasa, wajahnya pucat pasi tanpa nyawa. Di atasnya, di dalam kotak kuningan yang kokoh, jarum kompas berputar liar tanpa henti. Utara, selatan, timur, barat. Semua konsep itu, detik ini, telah kehilangan artinya. Mereka tersesat dalam cara yang paling fundamental.  

“Dan baunya…” bisik Hendrik, lebih kepada dirinya sendiri. “Bau ozon dan… dan sesuatu yang lain. Amis daging busuk yang sudah lama terendam.”

Tiba-tiba, seorang pelaut muda dari tiang pengintai teratas meluncur turun menggunakan tali dengan kecepatan yang hampir membuatnya tewas. Ia mendarat dengan keras di dek, tergelincir, dan merangkak ke arah Abel, sorot matanya dipenuhi kegilaan.

“Aku melihatnya, Kapitein! Aku melihatnya!” isaknya, mencengkeram erat sepatu bot Abel. “Bentuk-bentuk di dalam air! Bergerak di bawah cahaya itu! Bayangan sebesar pulau-pulau kecil!”

“Tenangkan dirimu, jongen!” perintah Abel, menarik kakinya. “Kau hanya melihat…”

Abel mendadak tercekat. Karena untuk sesaat, ia juga melihatnya. Saat gelombang raksasa mengangkat kapal ke puncaknya, permukaan air yang bergolak di bawah mereka berubah menjadi transparan oleh cahaya hijau. Dan di bawah sana, sesuatu yang kolosal nan gelap bergerak dengan kecepatan yang sama sekali tak masuk logika. Sesuatu itu menghalangi cahaya sejenak sebelum kemudian menghilang lagi. Sesuatu yang begitu besar hingga De Verdwaalde seolah kini berukuran tak lebih besar dari sebutir beras di atas piring makan.

Rasionalitas yang selalu menjadi jangkar jiwa Abel mulai terkikis. Sains, logika, bahkan keimananya terasa bagaikan persenjataan yang tak berguna melawan musuh yang bahkan tak bisa ia pahami. Ia menatap wajah-wajah anak buahnya. Wajah-wajah penuh ketakutan yang detik ini menatapnya. Mencari jawaban. Mengais-ngais harapan di dalam mimik wajah Abel.  Sayangnya, Abel tak punya apa-apa untuk diberikan.

“Hendrik,” katanya, suaranya kini lebih pelan, lebih tajam. “Ambil alih. Gunakan cambuk jika perlu. Jaga agar kapal ini tetap utuh selama kau bisa. Aku… aku harus mencatat ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Abel berbalik sembari terhuyung-huyung menuju kabinnya. Ia membanting pintu di belakangnya, menguncinya, memisahkan dirinya dari kekacauan di luar. Tapi ia tahu apapun yang dilakukannya, tetap sia-sia. Kekacauan yang sebenarnya sudah meresap ke dalam pikirannya.

Kabinnya serupa miniatur dari badai itu sendiri. Peti hancur, peta-peta berserakan, dan air asin menggenangi lantai. Abel mengabaikan semuanya. Matanya terpaku pada jurnal bersampul kulit, yang tergeletak di lantai layaknya korban yang masih bisa ia selamatkan. Ia serta merta memungutnya, memeluknya sejenak. Satu-satunya bentuk yang teratur, yang masih tersisa di dunianya yang terbalik.

Sambil berlutut di lantai yang basah, Abel membuka lembar demi lembar mencari halamannya yang masih kosong. Kemudian, dengan tangan gemetar, ia mencelupkan pena bulunya ke dalam botol tinta. Ketergesaan membuatnya mulai menulis. Ia tak lagi merasa sebagai kapten VOC, ia menjadikan dirinya saksi mata dari perwujudan kiamat.

21 Oktober 1659,

Aku tak tahu apakah catatan ini akan lolos dari kekacauan malam ini. 

Aku tak tahu apakah ada di antara kami yang akhirnya tetap hidup. Badai ini… Badai ini, serupa kebohongan. 

Lihat selengkapnya