SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #2

CHAPTER 01

TANJUNG SUNYI – SEKARANG

Pagi di Tanjung Sunyi tak pernah datang bersama janji; ia selalu merayap diam-diam menyusup layaknya penyakit. Sinar matahari, yang di tempat lain disambut dengan riang gembira, di sini tiba dengan enggan. Warnanya pucat dan encer, seolah disaring menggunakan kafan awan kelabu yang menggantung rendah di atas lautan, menekan desa kecil ini lebih dalam, jauh merangsek kian terasing dan terasa lembap.

Udara di sini sarat dengan tiga aroma abadi yang menjadi napas Tanjung Sunyi, bau garam yang tajam dari lautan yang selalu terjaga, anyir ikan membusuk di palka-palka kapal serta di sela-sela papan dermaga, serta yang paling pekat dari semuanya, tak lain adalah aroma keputusasaan. 

Keputusasaan menempel di mana-mana, pada cat yang mengelupas dari dinding rumah-rumah panggung, pada jaring-jaring ikan yang lebih banyak menampung robekan daripada ikan. Dan di dalam tatapan mata orang-orangnya.

Demikianlah desa Tanjung Sunyi lambat laun menjadi catatan kaki yang terlupakan oleh waktu dan kemajuan. Terjepit di antara tebing kapur yang curam dan Laut Banda yang muram, desa ini berwujud pulau daratan, terhubung ke dunia luar hanya oleh sejalur jalan aspal penuh lubang, yang lebih sering terputus longsor daripada dilalui kendaraan. 

Listrik menjadi simbol kemewahan yang datang dan pergi sesuka hatinya, memaksa penduduk kembali pada lentera minyak dan generator diesel yang batuk-batuk. Di dalam kegelapan yang lebih sering datang, takhayul kemudian tumbuh subur bak jamur di musim hujan, merajalela di setiap sudutnya, di setiap bisikan yang terdengar.

Akan tetapi hal tersebut tak sekadar takhayul biasa. Takhayul yang lebih dekat dengan kegilaan yang merembes perlahan. Para tetua tak lagi bercerita hanya tentang penunggu laut, mereka juga berbisik-bisi tentang waktu yang terasa longgar. 

Nelayan seperti Pak Maman, sebulan yang lalu, menarik jaringnya dan menemukan seekor kerapu raksasa. Di dalam perutnya yang buncit, isinya tak hanya ikan-ikan kecil, melainkan juga jam saku perunggu yang sudah menghijau karena patina, rantainya menyatu dengan tulang ikan. Jarumnya membeku pada pukul tiga, tiga puluh menit, dan tiga detik. Pak Maman melemparkannya kembali ke laut, sembari menggumamkan doa-doa, membuat dirinya tak pernah ingin melaut sendirian lagi sejak saat itu.

Anak-anak, yang seharusnya menjadi gambaran kepolosan, menjadi medium yang paling peka. Mereka duduk di tepi pantai selama berjam-jam, menggambar di atas pasir yang basah. Mereka tidak menggambar wujud yang normal seperti perahu atau ikan atau gunung, seperti sewajarnya anak kecil. Mereka menggambar spiral. Lagi dan lagi. Pusaran-pusaran yang tak berkesudahan, yang ditarik dengan jari-jari kecil mereka tanpa diajarkan, tetapi digerakkan oleh naluri, seolah-olah mereka menjiplak bentuk tak kasat mata dari luka di dasar lautan. Saat ditanya apa yang mereka gambar, jawaban mereka selalu saja sama, yang mereka bisikkan dengan kepolosan yang terdengar mengerikan, gambar pintu air.

Orang-orang lebih percaya pada cerita-cerita ini alih-alih berita di televisi yang sinyalnya sering kali hanya menampilkan semut digital. Mereka telah belajar, melalui generasi-generasi yang hilang dan keanehan-keanehan yang tak bisa dijelaskan, bahwa di Tanjung Sunyi, hukum-hukum dunia luar tidak sepenuhnya berlaku.

Di ujung dermaga utama yang reyot, di mana kayu-kayu ulin tua mengerang setiap kali ombak malas menghantam tiang-tiangnya, seorang pemuda duduk sendirian di bangku panjang nan kasar. Namanya Bayu. Usianya tiga puluh delapan tahun, namun laut dan kesedihan telah mengukir lebih banyak tahun di wajahnya. Kulitnya gelap terbakar matahari, rambutnya hitam dan tebal, selalu tampak sedikit acak-acakan oleh angin laut. Pagi ini, seperti pagi-pagi lainnya, ritualnya tidak pernah berubah.

Di satu tangan, ia memegang cangkir kaleng berisi kopi hitam pekat tanpa gula, uapnya yang pahit menari-nari di udara pagi yang dingin. Sedangkan tangan lainnya, Bayu memegang papan kecil berisi satu pil penenang berwarna putih. Dengan gerakan yang sudah menjadi kebiasaan, ia memasukkan pil itu ke mulutnya, lalu menelannya dengan bantuan kopi panas. Tontonan kombinasi yang aneh—stimulan dan depresan—tetapi itulah yang dibutuhkannya untuk menghadapi hari. Kopi untuk membangunkan tubuhnya. Sebaliknya, pil akan menidurkan hantu-hantu di kepalanya.

Matanya, yang seharusnya berada di puncak kejernihan seorang pemuda dewasa, lebih nampak kosong dan keruh. Tatapannya tak pernah tertuju pada kapal-kapal nelayan yang bersiap melaut atau setidaknya pada camar-camar yang melayang malas. Tatapannya menembus semua itu, terpaku pada satu titik pada cakrawala yang tak berbentuk. Titik pertemuan antara langit dengan laut yang sama-sama kelabu. Titik yang sama yang telah ditatapnya selama ribuan pagi. Titik di mana laut telah menelan ayahnya, Hasan Surya, tiga puluh tiga tahun yang lalu, angka yang terasa ganjil, juga nyata disaat yang bersamaan.

Sinismenya membentuk selimut baja yang ia kenakan setiap hari, ditempa dari kehilangan dan kekecewaan. Ia memakainya untuk melindungi dirinya dari tatapan kasihan para tetua, dari bisik-bisik takhayul, dan yang terpenting baginya, dari harapan. Karena harapan di Tanjung Sunyi seringkali dianggap wujud lain dari siksaan yang paling kejam.

Lihat selengkapnya