SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #3

CHAPTER 02

Rumahnya menyambut Bayu dalam keheningan yang terasa akrab dan berat. Keheningan yang sama, yang selalu ditinggalkan ayahnya setiap kali melaut. Rumah yang leraknya agak jauh dari bibir pantai, rumah panggung kayu ulin yang menjadi satu-satunya peninggalan kakeknya, museum pribadi dari keluarga Surya. Udara di dalamnya berupa ramuan dari bau minyak cengkeh yang selalu digunakan neneknya untuk mengusir serangga. Serta campuran debu dari buku-buku tua dan foto-foto yang warnanya memudar dimakan waktu, jejaknya sepenuhnya disamarkan oleh aroma laut yang meresap ke dalam setiap pori-pori kayu.

Bayu melangkah masuk, sandal jepitnya yang basah meninggalkan jejak sesaat di lantai papan yang dipelitur gelap sebelum akhirnya menguap kembali. Ia tidak perlu menyalakan lampu. Ia sangat mengenali geografi rumah ini seperti dirinya mengenali garis-garis di telapak tangannya sendiri. Setiap papan lantai yang mengerang oleh berat badannya senada dengan not dalam simfoni melankolis rumah itu.

Dari ruang tengah yang dipenuhi perabotan kayu jati berat warisan kakeknya, ia bisa mendengar suara yang membuat bulu kuduknya sesaat berikutnya berdiri, bahkan setelah mendengarnya ribuan kali. Terdengar ritmis, kering dan mengganggu. Suara yang berasal dari gesekan metal di atas kayu.

Krrsk… krrsk… krrsk…

Suara yang berasal dari dalam dapur.

Dengan langkah yang terasa berat, Bayu berjalan menuju sumber suara itu. Dapur menjadi bagian tergelap di dalam rumah. Jendelanya yang kecil menghadap ke arah rimbunnya pohon nangka di halaman belakang, membuat cahaya pagi yang sudah pucat menjadi semakin redup. Di tengah keremangan, sesosok tubuh ringkih duduk di kursi reyot di pojok dapur.

Ratna.

Wanita berusia delapan puluhan duduk membungkuk, punggungnya menghadap ke pintu. Rambutnya yang dulu hitam legam detik ini memutih sepenuhnya digerogoti waktu, disanggul seadanya dengan tusuk konde gading yang sungguh kontras dengan pemandangan yang tampak menyedihkan. Ia mengenakan kebaya katun kusam, bahunya yang kurus menonjol dari balik kain. Tangannya yang keriput bergerak dengan determinasi yang ganjil, menggenggam sesuatu yang berkilauan samar saat menangkap sisa-sisa cahaya.

Krrsk… krrsk… krrsk…

Bayu mendekatinya perlahan. Dirinya melihat apa yang digenggam neneknya, sebatang paku berkarat, panjang dan tebal. Dengan paku yang ada di tangannya, Ratna menggoreskan sesuatu berulang-ulang di atas permukaan meja makan kayu jati yang tebal.

“Nene?” sapa Bayu lembut.

Tak ada jawaban. Gerakan tangan Ratna tak berhenti.

“Nene, mangapa bagalap di sini?”

Ratna bergumam, mengeluarkan suara lirih yang sulit terdengar di antara suara goresan. Kata-kata yang sulit terdengar jelas, hanya berupa serangkaian suku kata tanpa makna, seakan doa dalam bahasa yang telah mati.

“…arus… simpul… lapar…”

Bayu menghela napas, yang menjadi bagian dari ritual kesabarannya yang harus ia latih setiap hari. Ia berjalan mengitari meja untuk menghadap neneknya. Setelahnya Bayu berjongkok, mencoba menyejajarkan matanya dengan mata wanita itu.

“Nene, ini Bayu. Su makan ka balom? Mau beta biking teh panas kah?”

Lihat selengkapnya