Untuk sesaat yang terasa singkat dan menipu, senja di Tanjung Sunyi tampak indah. Matahari, bola api yang kelelahan, tenggelam di ufuk barat, cahayanya melukis langit yang biasanya tampak muram. Didetik ini dengan sapuan warna jingga, ungu, dan merah muda yang dramatis. Cahayanya yang hangat dan keemasan memandikan pantai berpasir kelabu, membuat bayangan perahu-perahu nelayan yang ditarik ke darat menjadi lebih panjang dan terlihat aneh, menyerupai jari-jari raksasa yang kurus.
Di atas hamparan pasir yang lembap inilah denyut kehidupan desa yang paling murni bisa ditemukan. Sekelompok anak-anak, mungkin tujuh atau delapan orang, berlarian dan berteriak dengan energi tak terbatas, yang hanya dimiliki oleh mereka yang belum mengenal keputusasaan. Tawa mereka yang melengking dan nyaring menjadi satu-satunya irama yang mampu melawan suara debur ombak yang monoton, yang memancarkan melodi kepolosan yang begitu tulus hingga terasa menyakitkan di tempat seperti ini.
Di antara mereka, yang paling bersemangat bernama Daffa. Bocah laki-laki berusia tujuh tahun dengan rambut ikal acak-acakan dan mata hitam yang selalu berbinar penuh rasa ingin tahu. Ia semacam gambaran hidup dari semua yang pernah hilang dari Tanjung Sunyi. Kegembiraan yang naif, kepercayaan pada hari esok, kepolosan yang tak lama lagi, akan segera dihancurkan. Ia berlari paling kencang, dengan tawa paling keras. Tubuhnya yang kecil dan kurus bergerak dengan kelincahan seekor anak kucing.
“Mari main petak umpet!” teriak seorang gadis kecil bernama Rini, giginya yang ompong terlihat jelas saat ia tersenyum lebar. “Yang kalah jaga!”
“Biar beta yang jaga!” seru Daffa dengan antusias, ia seakan tidak mau membuang waktu. Ia segera berlari ke arah sebatang pohon kelapa yang miring di tepi pantai, yang secara tidak resmi ditetapkan sebagai pos jaga mereka.
Ia membalikkan badan, menyandarkan dahinya ke batang pohon yang kasar, dan menutup matanya dengan lengannya yang kurus dan berkulit kecokelatan. “Satu… dua… tiga…” Suara hitungannya yang lantang dan sedikit cadel terdengar.
“Jangan intip, ya!”
Di belakang Daffa, terdengar suara derap kaki-kaki kecil yang panik di atas pasir, diiringi cekikikan yang tertahan telapak tangan mungil. Teman-temannya berpencar seperti sekawanan kepiting yang terkejut, mencari tempat persembunyian di antara perahu-perahu terbalik, di balik tumpukan jaring tua, atau di kolong-kolong rumah panggung yang berbatasan dengan pantai.
“...sembilan… sepuluh! Siap seng siap, beta dataaang!” teriak Daffa, membalikkan badan dengan seringai penuh kemenangan. Matanya menyapu pantai, seolah predator kecil yang sedang mencari mangsanya.
Saat itulah ia pertama kali menyadarinya. Sesuatu yang kelihatan aneh di cakrawala.
Kabut.
Kabut ini tampak berbeda, tidak seperti kabut pagi yang tipis, pun kabut malam yang biasanya. Kabut itu tidak melayang atau mengambang; melainkan merayap. Membentuk dinding putih yang solid dan begitu tebal, seakan bangkit dari permukaan laut dengan kecepatan yang absurd, bergerak menuju pantai seolah ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Warnanya putih kotor layaknya warna tulang yang berusia tua, dan sekejap mata menelan setiap cahaya senja yang keemasan, menggantikannya dengan cahaya kelabu yang dingin dan mati.
Para ibu yang mengawasi dari beranda rumah mereka atau dari bangku-bangku di dekat warung kopi mulai bergumam.
“Wee, kabut turung capat sekali e,” seru seorang wanita pada temannya.
“Iyo. Angin jua langsung barhenti. Ose rasa ka seng? Tiba-tiba jadi dingin bagini,” balas yang lain, menggosok-gosok lengannya.
Anak-anak, yang terlalu asyik dengan permainan mereka, mulanya tidak menyadarinya. Daffa, yang masih fokus menjadi seorang pemburu, berhasil menemukan Rini yang bersembunyi di balik tumpukan ban bekas. Tawa kemenangan mereka pecah, tapi tawa itu terdengar sedikit teredam, udara di sekitar mereka mulai berubah, mengental.
Dinding kabut kini hanya berjarak beberapa puluh meter dari bibir pantai. Bergerak dalam keheningan yang mengerikan, tanpa diiringi angin atau suara lain. Dan saat dinding kabut itu menyentuh pasir, hawa dingin yang menusuk seketika menyebar ke segala penjuru. Suhu udara langsung turun drastis dengan cepat, ibarat seseorang telah membuka pintu ruang pendingin raksasa. Aroma garam dan ikan tergantikan oleh bau lain. Bau ozon yang tajam dan bau tanah basah dari tempat yang sangat dalam, seperti ruang bawah tanah yang belum pernah dibuka selama berabad-abad.