Di puncak bukit yang berhadapan dengan Desa Tanjung Sunyi, menjulang sesosok anomali arsitektur. Kediaman Bahari tidaklah berwujud rumah pada umumnya; melainkan sebagai bentuk pernyataan. Dinding-dindingnya yang terbuat dari beton putih dan kaca gelap menjulang dengan sudut-sudut tajam yang menantang lanskap organik di sekelilingnya. Rumput di halamannya dipangkas dengan presisi geometris, setiap helainya tampak seragam. Tak ada perahu nelayan yang lapuk atau jaring ikan yang robek di sini. Semuanya terlihat bersih, steril, serta sunyi senyap—keheningan yang terasa berbeda dari keheningan di desa Tanjung Sunyi, akibat ketiadaan dari kehidupan yang sesungguhnya.
Bagi penduduk desa, rumah itu dianggap misteri yang lain. Yang mereka tahu hanyalah pemiliknya, bernama Dr. Ardian Bahari, seorang pria kaya raya dari Jakarta yang ayahnya konon pernah tinggal di desa ini puluhan tahun lalu. Mereka melihat mobil-mobil mewahnya sesekali turun ke desa, walaupun begitu mereka tak pernah benar-benar melihat penghuninya. Rumah itu, layaknya juga pemiliknya, lebih memilih untuk menjaga jarak. Memilih untuk tetap menjadi misteri.
Di dalam mahakarya arsitektur modern, di balik dinding ruang keluarga yang dihiasi lukisan abstrak bernilai mahal dan perabotan desainer Italia, terdapat pintu yang tidak terlihat. Pintu yang menyatu sempurna dengan panel kayu jati gelap, tanpa gagang, tanpa engsel yang terlihat. Pintu yang hanya bisa dibuka dengan kombinasi sidik jari dan kode numerik yang dimasukkan pada sekotak layar sentuh kecil yang posisinya tersembunyi.
Lila Bahari, dua puluh delapan tahun, berdiri di depan pintu, napasnya sedikit terengah. Dirinya cemas. Ia menekan ibu jarinya pada pemindai, lalu dengan cepat mengetikkan serangkaian angka. Terdengar bunyi klik yang lembut dan pintunya bergeser tanpa mengeluarkan suara, menyingkap tangga spiral yang terbuat dari baja poles, menurun ke dalam kegelapan.
Saat ia menuruni tangga, udaranya langsung berubah. Kehangatan rumah yang diatur oleh pendingin udara dalam sekejap saja tergantikan hawa dingin. Aroma samar bunga lili dari vas di ruang tengah digantikan oleh bau ozon yang berasal dari mesin yang selalu bekerja keras. Ia memasuki dunia lain. Dunia ayahnya.
Laboratorium. Katedral bagi sains modern. Ruangan yang luas, melingkar, dan bermandikan cahaya biru lembut yang berasal dari strip LED di lantai dan langit-langit. Di sepanjang dinding, rak-rak server berdengung pelan, lampu-lampu kecilnya berkedip-kedip seperti rasi bintang digital. Di tengah ruangan, peta holografik tiga dimensi Laut Banda berputar perlahan, menampilkan kontur dasar laut dengan detail yang bahkan tak dimiliki oleh angkatan laut. Di sekelilingnya, berderet monitor-monitor beresolusi tinggi, menampilkan gelombang data, spektrum frekuensi, dan citra sonar yang terus diperbarui secara berkala.
Dan di hadapan monitor utama yang paling besar, yang menampilkan peta digital lepas pantai Tanjung Sunyi, berdiri sesosok pria.
Pria yang bernama Dr. Ardian Bahari.
Pria yang berusia enam puluhan yang saat ini membelakangi pintu masuk, punggungnya lurus serta kaku. Ia mengenakan kemeja linen putih yang terlihat mahal berpasangan dengan celana katun, pakaian yang sebenarnya akan lebih cocok jika dikenakan saat bersantai di atas kapal pesiar dibandingkan bekerja di dalam laboratorium. Namun sebaliknya, posturnya tak nampak santai sama sekali. Ia berdiri terpaku, lengannya bersedekap, kepalanya sedikit miring, bak seorang konduktor yang sedang mengamati orkestra kosmiknya. Ia begitu terhanyut dalam apa yang dilihatnya sehingga ia sama sekali tak menyadari kehadiran putrinya.
“Ayah?” panggil Lila, suaranya terdengar kecil di ruangan yang berdengung itu.
Ardian tak menoleh. Tatapannya tetap menancap pada penampakan anomali yang mekar di layar utama—gumpalan energi berwarna merah dan ungu yang berdenyut tepat di lokasi di mana kabut aneh kini sedang menelan pantai.
“Lihat, Lila,” kata Ardian, suaranya tenang, seirama dengan bisikan penuh kekaguman. “Indah, kan? Resonansi kaskadeyang sempurna. Tepat seperti prediksi model kakekmu.”