Malam tidak turun di Tanjung Sunyi; ia tumpah dari dalam kabut, noda tinta hitam yang menyebar dan menelan sisa-sisa cahaya senja. Kabut yang sebelumnya berwarna putih tulang kini menjadi dinding kelabu pekat yang hidup. Ia menekan dari segala arah, meredam suara, mendinginkan tulang, serta mengubah dunia menjadi labirin tak berujung yang terasa asing dan memusuhi.
Pantai tak ubahnya panggung neraka. Puluhan cahaya senter memotong-motong kegelapan, bilah-bilah cahaya pucat yang bergerak panik, menyapu perahu-perahu yang kini tampak seperti kerangka monster prasejarah, menyisir semak-semak di tepi pantai, dan akhirnya mati saat menabrak dinding kabut yang rakus. Setiap sorot cahaya menyiratkan pertanyaan putus asa, dan setiap jengkal kegelapan yang kembali tertutup menjadi jawaban yang sama: ketiadaan.
“DAFFAA!”
Teriakan demi teriakan terus bergema, dilontarkan dari puluhan paru-paru yang terbakar oleh udara dingin. Suara laki-laki yang serak, suara perempuan yang pecah bercampur tangis. Sayangnya kabut bertindak seperti penyerap suara raksasa. Teriakan-teriakan terasa datar, tanpa gaung, seolah langsung mati begitu meninggalkan bibir, ditelan oleh keheningan yang kian menebal sekaligus menindas.
Bayu berada di tengah-tengah kekacauan itu, senter berat tergenggam di tangannya yang dingin. Ia bergerak dengan hati-hati, menyusuri garis pantai, menyorotkan cahayanya pada kolong-kolong perahu, pada tumpukan jaring yang basah. Anehnya pikiran Bayu tak berada di sana. Ia merasa layaknya hantu yang sedang menyaksikan pengulangan dari tragedinya sendiri. Déjà vu ini begitu kuat, begitu menyakitkan, hingga terasa seperti luka fisik yang kembali terbuka.
Setiap isak tangis Wati, ibu Daffa, yang kini terduduk lemas di pasir dan ditenangkan oleh suaminya, serupa gema dari tangisan ibunya sendiri tiga puluh tiga tahun yang lalu. Setiap teriakan “Daffa!” yang putus asa menjadi gema dari namanya sendiri yang diteriakkan ke dalam badai malam ini. Dirinya melihat wajah-wajah para nelayan yang dipenuhi ketakutan dan simpati ketidakberdayaan, wajah-wajah yang sama yang dahulu pernah menatapnya, seorang anak kecil yang kehilangan ayahnya. Waktu di Tanjung Sunyi bukanlah garis lurus, melainkan lingkaran setan yang kejam.
“Batu basar dakat tebing, su liat ka?” teriak Pak Toha, suaranya tegang.
“Sudah, Bapa! Seng ada!” balas suara lain dari kejauhan. “Jang sampe dia lari masok hutan sana?”
“Beta pung anak tu tako galap! Seng mungkin dia lari sandiri masok hutan!” isak Wati, suaranya terisak bercampur dengan tangis.
Bayu mengabaikan mereka. Ia tahu pencarian ini sia-sia. Bukan hutan yang mengambil anak itu. Lautlah yang mengambilnya. Laut selalu mengambil. Itulah satu-satunya kebenaran yang Bayu yakini di desa ini. Ia terus berjalan, sorot senternya menari di atas ombak kecil yang menjilati pantai, ombak yang sama yang kini terasa seperti lidah seekor predator yang baru saja selesai makan.
Tiba-tiba saja, dua sorot lampu mobil yang kuat menembus kabut dari arah jalan utama, menyapu kerumunan dengan cahaya putihnya yang menyilaukan. Mobil jip tua yang sudah usang, dengan lambang kepolisian yang memudar menempel di pintunya, berhenti dengan derit rem yang mengeluh. Pintu pengemudi terbuka, kemudian sesosok pria keluar.
Inspektur Joko.
Seorang pria berusia akhir lima puluhan, dengan bahu yang terkulai karena menanggung beban bertahun-tahun, penuh kekecewaan. Perutnya sedikit buncit, seragam cokelatnya tampak kusut, matanya memiliki ekspresi lelah yang permanen, seolah ia sudah melihat seluruh keburukan di dunia dan merasa bosan karenanya. Ia berjalan ke arah kerumunan dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, menampakkan aura kejenuhan yang dingin menguar darinya.
Bagi Joko, panggilan darurat dari Tanjung Sunyi selalu berarti satu dari dua hal: perkelahian nelayan mabuk atau kasus orang hilang. Dan ia jauh lebih memilih perkelahian. Kasus orang hilang di desa ini selalu berakhir dengan cara yang sama: tak ada mayat, tak ada jawaban, hanya seonggok laporan yang berdebu di laci mejanya, bergabung dengan laporan-laporan lain yang serupa. Ia hanya ingin beberapa tahun lagi yang tenang sebelum masa pensiun tiba, mungkin memancing di danau air tawar yang jauh dari laut sialan ini.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanyanya, suaranya datar, ditujukan kepada siapa saja yang mau menjawab.