SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #7

CHAPTER 06

Tidur tidak datang untuk Bayu. Ia hanya berbaring di ranjangnya yang dingin, menatap langit-langit kayu yang gelap, sementara suara isak tangis Wati dari rumah sebelah merembes masuk melalui dinding, menjadi lagu pengantar tidur yang mengerikan. Setiap isakan menjelma gema, setiap jeda keheningan dipenuhi oleh hantu-hantu dari tiga puluh tiga tahun yang lalu. Akhirnya, saat garis tipis berwarna kelabu mulai memisahkan langit dan laut, ia menyerah. Rumahnya serasa peti mati yang menyesakkan. Bayu butuh udara, sekalipun udara itu berbau garam dan duka.

Fajar di Tanjung Sunyi serupa urusan yang muram. Kabut tebal semalam telah sedikit menipis, surut bak air pasang yang absurd, namun tidak lenyap sepenuhnya. Ia kini melayang dalam gumpalan-gumpalan tipis yang berdiam di atas permukaan air dan di antara perahu-perahu, memberikan pemandangan pantai dengan penampakan yang sureal, seolah dunia belum sepenuhnya terbentuk. Udara dingin dan lembap, membawa serta bau pasir basah dan pembusukan yang samar. Pantai itu kosong. Para pencari semalam memutuskan pulang ke rumah mereka, akibat kelelahan dan putus asa, menunggu tim SAR dari kabupaten yang dijanjikan Inspektur Joko.

Keheningan ini berbeda dari keheningan pagi buta yang damai. Keheningan setelah sebuah pertempuran berat, yang berakhir dengan kekalahan dan pertanyaan yang tak terjawab. 

Bayu berjalan sendirian di atas hamparan pasir yang padat dan dingin. Ia tidak benar-benar tahu tentang apa yang sedang dicarinya. Harapan untuk menemukan Daffa hidup-hidup bagaikan kemewahan yang tidak mungkin bisa ia miliki. Bayu tidak sedang mencari seorang anak laki-laki; ia menyusuri jejak hantunya sendiri. Menganggapnya sebagai ziarah paksa, ritual yang mau tidak mau harus ia jalani. Dengan setiap langkah, ia merasa seolah berjalan di antara dua garis waktu sekaligus: di sini, sekarang, seorang pria berusia tiga puluh delapan tahun yang mati rasa, dan di masa lalu, seorang anak laki-laki yang bingung dan ketakutan, mencari ayahnya di tengah amukan badai.

Sorot matanya yang biasanya kosong saat ini menjadi lebih tajam, memindai setiap jengkal pasir, setiap lekukan, setiap benda yang tersapu ombak. Sandal jepit anak-anak yang putus talinya membuat jantungnya berhenti sejenak, sebelum kemudian ia menyadari ukurannya terlalu besar. Bola plastik yang kempes. Ranting-ranting kayu yang menghitam. Sampah-sampah biasa dari desa nelayan. Tidak ada yang luar biasa. Tidak ada jawaban.

Logika di dalam kepalanya, bagian dirinya yang selalu ia andalkan, berusaha merangkai narasi yang masuk akal. Anak itu panik di dalam kabut. Ia berlari tak tentu arah. Mungkin ia tersandung, jatuh ke laut, dan langsung terseret arus. Itulah yang akan dikatakan Joko. Itulah yang akan dipercaya semua orang pada akhirnya. Tragedi yang menyedihkan, tetapi bisa dimengerti. Menjadi kotak yang rapi untuk menempatkan duka mereka. Bayu sangat menginginkan penjelasan yang logis. Penjelasan itu akan membebaskannya, memvalidasi sinismenya, dan membiarkannya kembali ke dalam perasaan yang sudah mati rasa dengan aman.

Ia tetap berjalan, kakinya membawanya ke arah perahu-perahu tua yang terdampar, tempat permainan petak umpet dimulai. Dan di sanalah, di dekat kerangka perahu bercat biru yang lapuk tempat Daffa terakhir bersembunyi, ia melihatnya.

Jejak kaki.

Kecil, telanjang, dan tercetak dengan jelas di atas pasir yang basah dan padat. Jejak kaki seorang anak kecil. Tidak salah lagi. Jantung Bayu berdebar kian kencang. Ini nyata. Bukti fisik terakhir dari keberadaan Daffa di dunia ini.

Dengan kehati-hatian seorang arkeolog yang menemukan artefak rapuh, Bayu mulai mengikuti jejak itu. Awalnya, jejak-jejak itu berdekatan, menunjukkan keraguan. Lalu, jaraknya melebar, menunjukkan anak itu mulai berlari. Arahnya aneh. Jejak itu tidak sedang mengarah ke laut, juga tidak kembali ke arah desa. Jejak itu justru mengarah lurus ke tengah-tengah hamparan pantai yang paling terbuka dan kosong.

Bayu terus mengikuti, langkahnya sendiri terasa berat, seolah enggan mencapai akhir dari jejak ini. Kabut tipis berputar di sekitar pergelangan kakinya. Angin laut yang dingin meniup rambutnya. Ia merasa sedang diawasi. Perasaan konyol, tentu saja. Hanya ada dia dan burung-burung camar di pantai ini. Meskipun begitu perasaan itu tidak mau hilang.

Jejak kaki Daffa terus berlanjut, selaras dengan narasi sunyi dari kepanikan seorang anak. Satu langkah, dua langkah, sepuluh, dua puluh. Garis itu lurus tanpa putus. Tidak ada jejak lain di sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda seretan atau perlawanan. Hanya jejak kaki kecil yang sendirian.

Lihat selengkapnya