SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #8

CHAPTER 07

Rumah kecil di ujung desa yang detik ini menjadi pusat dari lubang hitam kesedihan. Udara di dalamnya terasa tipis sekaligus berat secara bersamaan, seluruh oksigen dihisap oleh duka. Para tetangga dan kerabat bergerak masuk serta keluar dalam keheningan yang canggung, membawa rantang berisi makanan yang sudah semestinya tak akan ada yang menyentuh, atau hanya duduk diam di tikar pandan, menjadi saksi bisu dari tragedi. Setiap sudut ruangan dipenuhi oleh kenangan dari tawa seorang anak laki-laki yang kini telah lenyap, membuat keheningan di antara isak tangis menjadi semakin menyiksa.

Di ruang tamu yang sempit, Wati, duduk di lantai, memeluk sehelai kaos bergambar dinosaurus yang sudah lusuh. Matanya bengkak dan merah, tatapannya kosong, sesekali ia akan membisikkan nama putranya, "Daffa... Daffa-ku..." Iwan, suaminya, duduk di sampingnya, punggungnya membungkuk, wajahnya yang biasanya keras karena terpaan angin laut kini tampak rapuh.

Ke dalam pemandangan duka yang mentah inilah Inspektur Joko melangkah masuk. Ia melepas sepatunya yang berdebu di teras disertai desahan lelah, buku catatan kecil tergenggam di tangannya yang berkeringat. Baginya, ruangan ini bukanlah ruang duka; melainkan kantor sementaranya, TKP emosional yang harus ia proses dengan kecepatan yang dingin sebelum ia bisa kembali pada mejanya, pada kopi paginya, pada hitungan mundur menuju masa pensiunnya.

Ia menarik kursi kayu dan mendudukkannya di hadapan pasangan yang berduka, menciptakan jarak formal yang terasa kejam.

“Selamat pagi, Pak Iwan, Bu Wati,” sapanya, suaranya datar, penuh bobot formalitas yang dipelajarinya dari buku manual kepolisian. “Saya turut berduka cita atas musibah yang terjadi.”

Iwan mengangkat kepalanya. Muncul secercah harapan yang putus asa di matanya saat melihat seragam itu. Harapan bahwa tatanan dunia, hukum, serta otoritas sanggup melakukan sesuatu, menyelesaikan kekacauan yang telah merenggut putranya. “Bapa Polisi... ada kabar, ka? Tim SAR su dapat apa-apa?”

Joko menggeleng ragu, gerakan kecilnya memupuskan harapan itu. “Tim SAR baru memulai penyisiran di sepanjang garis pantai. Saya rasa akan memakan waktu. Saya ke sini hanya untuk bertanya beberapa hal rutin, melengkapi laporan awal.”

“Laporan?” bisik Wati, suaranya serak seperti amplas. “Beta pung anak hilang, Bapa. Bukan cuma laporan sa.”

Joko berdehem, merasa sedikit tidak nyaman. “Ini prosedur, Bu. Untuk memastikan kami tidak melewatkan detail apa pun.” Ia membuka buku catatannya, pulpennya siap di tangan. Pemandangan itu, tindakan birokrasi yang dingin di tengah-tengah kesedihan yang membara, terasa sangat tidak pada tempatnya.

“Baik,” kata Joko, matanya tertuju pada catatannya, menghindari tatapan mata Iwan. “Nama lengkap korban, Daffa Putra Irawan, usia tujuh tahun, betul?”

“Betul, Bapa,” jawab Iwan lirih.

“Apakah korban bisa berenang?”

Lihat selengkapnya