SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #9

CHAPTER 08

Alarm berhenti. Dengungan bernada tinggi yang menusuk telinga telah surut, digantikan oleh keheningan yang berat dan berdengung, keheningan setelah ledakan. Di dalam katedral sains milik Dr. Ardian Bahari, mesin-mesin kembali pada ritme kerja mereka yang tenang, lampu-lampu darurat yang berkedip merah kembali menjadi cahaya biru yang dingin serta stabil. Semuanya tampak normal, terkendali. 

Lila Bahari berdiri terpaku di tengah ruangan, tubuhnya masih gemetar akibat sisa-sisa adrenalin. Jantungnya berdebar kencang, ritme panik yang ia rasakan tidak pada tempatnya di dalam ruangan yang begitu tenang ini. Ia baru saja menyaksikan badai data, tsunami energi yang nyaris merobek sangkar digital yang telah mereka bangun dengan susah payah. Ia telah melihat angka-angka yang seharusnya tidak mungkin ada, grafik yang menentang hukum fisika yang ia kenal. Dan kini… hening. Seolah tak terjadi apa-apa.

Namun ayahnya tidak tinggal diam.

Dr. Ardian Bahari bergerak penuh keanggunan yang mengerikan, layaknya seekor pemangsa yang tenang setelah berhasil melumpuhkan mangsanya. Tak ada kepanikan dalam gerakannya. Yang ada hanyalah fokus yang dingin dan intens. Ia berjalan dari satu monitor menuju monitor lainnya, jari-jarinya yang panjang dan terawat menari di atas keyboard atau menggeser data pada layar sentuh. 

“Luar biasa…” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Lila. Matanya berbinar di balik kacamata bacanya yang berbingkai tipis, memantulkan baris-baris kode dan spektrum energi yang berwarna-warni. “Lihat disipasi termal-nya, Lila. Hampir nol. Energinya tidak hilang, ia hanya… melipat ke dalam dirinya sendiri. Membentuk pocket dimension sesaat.”

Lila tidak ingin menjawab. Dirinya terlalu sibuk mencoba menenangkan napasnya. Ia menatap layar utama, tempat anomali yang tadi bersinar putih menyilaukan yang telah kembali menjadi gumpalan ungu yang berdenyut pelan. Lila tampak lebih kecil, lebih jinak. Tapi data historis di layar sebelahnya menceritakan kisah yang berbeda. Lonjakan vertikal yang hampir saja menembus langit-langit grafik. Tanda tangan dari kekuatan yang tak punya kendali.

“Ayah, kita hampir kehilangan semuanya,” kata Lila, suaranya serak. “Medan penahannya hampir runtuh. Jika itu terjadi…”

“Tapi tidak, kan?” potong Ardian, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. “Justru sebaliknya. Medan itu tidak pecah. Medan itu melengkung. Beradaptasi. Menciptakan event horizon sementara untuk melindungi dirinya sendiri. Seperti sel yang melindungi intinya. Ini lebih canggih dari yang kita duga.”

Ardian mengetikkan beberapa perintah, dan sebuah jendela data baru muncul. Isinya pola-pola geometris yang rumit, fraktal yang terus berubah, berputar, dan berevolusi. Jejak yang ditinggalkan oleh lonjakan energi tadi.

“Ini bukan kekacauan acak,” lanjut Ardian, suaranya dipenuhi kekaguman. “Ini bahasa. Sidik jari. Sidik jari dari jemari Tuhan yang sudah gila.”

Lila merasakan gelombang mual menjalari tubuhnya. Ayahnya melihat keindahan di dalam bencana itu. Ia melihat bahasa di dalam pekikan data yang seharusnya menyakitkan. Sementara itu, pikiran Lila terus kembali ke dunia di atas mereka. Ke desa yang gelap. Ke pantai yang diselimuti kabut.

Lihat selengkapnya