SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #10

CHAPTER 09

Bayu kembali ke rumahnya seperti seorang pencuri yang menyelinap ke tempat persembunyiannya sendiri. Ia bergerak dengan cepat dan tanpa suara, melewati para tetangga yang masih berkumpul di beranda depan rumah Daffa, wajah-wajah mereka masih terlihat muram, percakapan mereka berupa bisikan-bisikan duka. Ia tak ingin berbicara dengan siapa pun. Ia tak ingin berbagi tatapan kasihan atau menjawab pertanyaan tentang apa yang mungkin dilihatnya di pantai. Di dalam genggaman tangannya yang berkeringat, tersembunyi di balik lipatan jaketnya, Walkman berkarat yang terasa dingin dan berat, sebuah rahasia yang memiliki gravitasinya sendiri.

Ia masuk ke dalam kamarnya—ruangan kecil dan sederhana yang tidak pernah berubah semenjak ia remaja—dan mengunci pintu di belakangnya. Di dalam kamarnya, di antara poster-poster band dari era 90-an yang memudar oleh waktu dan tumpukan buku-buku usang, Bayu merasa aman untuk mengeluarkan peninggalan yang baginya terasa ganjil. Ia meletakkannya dengan hati-hati di atas meja belajarnya yang penuh goresan, di bawah cahaya redup yang masuk dari jendela.

Benda itu tampak lebih ganjil lagi di dalam ruangan. Di pantai, ia bisa saja dianggap sebagai sampah biasa yang terbawa ombak. Tapi di sini, di atas permukaan kayu yang kering, ia tampak seperti sesuatu yang seharusnya tidak berada di sana. Anomali. Plastik kuningnya yang pudar dan tergores kontras dengan karat tebal berwarna jingga yang melapisi setiap sekrup dan engsel logamnya. Beberapa teritip kecil dan tajam menempel di sisinya.

Bayu duduk sembari menatap benda itu untuk waktu yang lama. Pikirannya bagai badai. Logika dan kewarasan berteriak campur aduk padanya bahwa ini hanyalah sampah, suatu kebetulan yang tak memiliki arti. Bisa saja seorang turis kehilangannya bertahun-tahun yang lalu. Bukanlah hal yang tak mungkin jika baru saja tersapu ke daratan semalam. Penjelasan-penjelasan rasional berbaris di kepalanya, akan tetapi semuanya terasa hampa dan tak terasa memuaskan. Faktanya tak ada penjelasan rasional yang bisa menjembatani jurang antara benda dari era 90-an ini dan jejak kaki seorang anak yang lenyap di tahun 2025.

Didorong oleh obsesi yang mulai mengakar di dalam dirinya, ia memulai ritual pembersihan. Ia tidak ingin sekadar membersihkannya; ia sangat ingin membedahnya, memahami setiap goresan serta setiap noda karatnya. Ia mengambil sikat gigi tua, sehelai kain lap lembut, dan sebilah pisau lipat kecil dari laci mejanya.

Pekerjaan yang lambat nan meditatif. Pertama, ia menggunakan ujung pisau untuk mencongkel teritip-teritip itu dengan hati-hati. Mereka lepas bersama bunyi retakan kecil, meninggalkan lingkaran-lingkaran putih di atas plastik kuning. Setelahnya, Bayu menggunakan sikat gigi yang dibasahi untuk membersihkan pasir dan lumpur kering dari setiap celah—dari tombol-tombol Play dan Stop yang besar, dari roda pengatur volume yang bergerigi, dari sela-sela pintu kaset. Pasir itu berjatuhan ke atas meja, butiran-butiran kecil dari TKP yang di luar nalarnya.

Saat membersihkannya, Bayu memperhatikan detail-detail yang semakin mengganggu pikirannya. Meskipun lapisan karatnya begitu tebal, menunjukkan perendaman yang sangat lama di air laut, plastik kuningnya tak tampak rapuh atau retak sedikit pun, akibat dari paparan sinar matahari dan garam seperti yang seharusnya terjadi. Di beberapa tempat yang terlindung dari karat, warnanya bahkan terbilang masih cukup cerah. Dan yang paling aneh, saat ia mencoba membuka pintu kasetnya, engselnya yang berkarat parah justru bergerak dengan sedikit perlawanan, seolah baru saja diminyaki.

Ia berhasil membukanya dengan bunyi derit yang pelan. Di dalamnya, kaset tanpa label terpasang di tempatnya. Pitanya yang berwarna cokelat gelap tampak kering dan utuh, tidak kusut atau lengket karena air.

Semakin dibersihkan, semakin benda itu menentang logikanya. Benda ini tak lebih dari paradoks fisik yang tampak tua dan hancur dimakan waktu, namun di saat yang sama berfungsi seolah baru kemarin terendam.

Bagian terakhir ada pada kompartemen baterai. Penutupnya macet total, disegel oleh karat. Memaksa Bayu untuk menggunakan ujung pisaunya sebagai pengungkit, mengerahkan seluruh kekuatannya hingga terdengar bunyi krak yang keras dan penutup itu pada akhirnya terbuka. Bayu mengira jika dirinya akan menemukan bagian dalam yang hancur, dipenuhi oleh sisa-sisa baterai yang bocor dan korosi. Namun kenyataan berkata lain, Bayu justru disambut oleh pemandangan yang membuatnya merinding.

Bagian dalamnya bersih. Benar-benar bersih. Kontak-kontak logamnya yang berbentuk per berkilauan nampak seperti masih baru, tanpa noda karat sedikit pun. Seolah-olah bagian ini telah dilindungi dari amukan waktu oleh semacam kekuatan yang tak tampak.

Bayu bersandar di kursinya, meskipun jantungnya tetap berdebar kencang. Ini sama sekali tak masuk akal baginya. Ini benar-benar melanggar hukum alam.

Ia butuh baterai.

Lihat selengkapnya