Malam telah menancapkan klaimnya atas Tanjung Sunyi, membungkus desa dalam kegelapan yang begitu pekat hingga terasa seperti substansi fisik. Angin laut yang biasanya membawa aroma garam kini berembus pelan, membawa bisikan-bisikan dingin yang membuat daun-daun pohon kelapa berdesir. Di dalam rumah tua keluarga Surya, keheningan terasa lebih berat dari biasanya, duka dari hilangnya Daffa ikut meresap ke dalam kayu-kayu rumah, membebani setiap balok dan papan lantainya.
Bayu duduk sendirian di kamarnya, diterangi hanya oleh cahaya kuning redup dari lampu mejanya. Ia belum berniat untuk tidur. Ia sadar bahwa itu akan sia-sia. Setiap kali ia berusaha memejamkan mata, ia selalu melihat dua hal yang sama, berputar di dalam diorama neraka benaknya: jejak-jejak kaki kecil yang lenyap di tengah hamparan pasir, dan Walkman kuning berkarat yang menjerit dengan suara ketiadaan.
Walkman yang kini tergeletak di atas mejanya, diam. Namun keheningannya terasa lebih mengancam dibanding suaranya yang memekakkan. Benda itu bagaikan berhala dari dewa yang sudah gila, warisan dari logika yang terbalik. Bayu telah mencoba mengeluarkan kasetnya, tetapi slotnya macet total, seakan pita itu tidak dimaksudkan untuk pernah dilepaskan. Ia telah mencoba mencari tahu modelnya di internet melalui sinyal ponselnya yang lemah, namun model spesifiknya tidak pernah ada dalam arsip Sony. Benda yang serupa hantu.
Di luar kamarnya, rumah itu sunyi senyap. Ratna, setelah seharian gelisah, akhirnya tertidur beberapa jam yang lalu. Bayu telah memeriksanya, memastikan wanita tua itu berselimut dan pintu kamarnya sedikit terbuka, kalau-kalau ia membutuhkan sesuatu. Untuk saat ini, tak ada suara goresan paku di atas kayu, tak ada gumaman-gumaman aneh. Hanya keheningan yang rapuh.
Bayu mencoba mengalihkan pikirannya. Ia mengambil buku tua milik ayahnya, atlas dunia dengan halaman-halaman yang menguning. Ia membukanya secara acak, menelusuri detail peta-peta kuno dari kepulauan Hindia, nama-nama pelabuhan yang telah lama hilang. Tapi pikirannya terus kembali. Kembali pada suara statis. Suara yang terasa seperti pintu yang tertutup, dengan sesuatu yang tak terkatakan sedang menggedor-gedor dari sisi lainnya.
Saat itulah ia mendengarnya.
Awalnya, yang terdengar hanyalah suara yang lirih. Seperti rengekan atau isak tangis yang tertahan, datang dari arah kamar neneknya. Bayu menegakkan tubuhnya di kursi, seluruh indranya menegang. Ia mematikan lampu mejanya, membiarkan kegelapan dan cahaya bulan yang pucat mengambil alih. Ia menahan napas, berusaha mendengarkan.
Keheningan kembali hadir. Pikirnya hanya salah dengar. Mungkin saja suara tikus di atap atau decit kayu rumah yang meregang akibat udara dingin. Ia hampir saja kembali bersandar di kursinya saat suara itu terdengar lagi.
Kali ini terdengar lebih jelas. Suara tangisan. Tangisan seorang anak kecil.
Pelan, pilu, penuh ketakutan.
Jantung Bayu serasa berhenti berdetak. Tidak mungkin. Di dalam rumah itu hanya ada dia dan neneknya. Suara itu… begitu jernih, begitu nyata. Ia berdiri perlahan, kursinya berderit pelan di atas lantai kayu, suara yang terasa begitu keras di tengah keheningan yang tegang. Bayu berjalan tanpa suara ke arah pintu kamarnya, sejurus kemudian membukanya sedikit, lalu mengintip ke lorong yang gelap.
Kamar neneknya berada di ujung lorong. Pintunya yang sedikit terbuka tampak seperti mulut hitam yang menganga. Tangisan itu datang dari sana. Tangisan itu sesaat kemudian berhenti, digantikan oleh gumaman yang panik, masih dalam suara yang sama—suara anak kecil yang ketakutan.
“...jangan… jangan… di sini… gelap…”