SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #12

CHAPTER 11

“BUKAN LAUT!”. 

Dua kata, yang dilontarkan dengan suara seorang anak kecil dari tenggorokan neneknya yang rapuh, telah menjadi kunci yang membuka pintu terakhir dari kewarasannya. Pintu yang kini terbuka lebar, menunjukkan jurang yang gelap, tak berdasar.

Setelah memastikan Neneknya tetap tertidur, Bayu kembali ke kamarnya dan mengunci pintu. Namun ia tak kembali pada ranjangnya. Matanya tertuju pada satu benda di atas mejanya yang kini tampak memancarkan aura dinginnya, Walkman kuning berkarat.

Sebelumnya, benda itu menjadi teka-teki sekaligus anomali. Kini, bagi Bayu benda itu berupa kemungkinan jawaban. Teriakan neneknya telah mengubah segalanya. Jika bukan laut yang menjadi monster, lalu apa? Dan jika ada jawaban atas pertanyaan semengerikan itu, Bayu yakin jawaban yang tersembunyi ada di suatu tempat di dalam kebisingan yang memekakkan, suara dari kaset tua. Rasa ingin tahunya yang sebelumnya hanya berupa percikan api kini telah berkobar menjadi obsesi yang seutuhnya membakar.

Ia harus membersihkan suara itu.

Ia harus membedah kebisingannya, menyaringnya, mengupasnya lapis demi lapis, sampai menemukan apa pun yang bersembunyi di dalamnya—bisikan, kata, petunjuk sekecil apa pun.

Bayu bukanlah ahli audio. Ia tak punya peralatan canggih. Ia punya laptop tua yang lamban, tekad yang putus asa, dan satu malam penuh yang terbentang di hadapannya. Ia mulai bekerja, mengubah kamarnya yang sederhana menjadi laboratorium darurat yang tampak menyedihkan. Bayu mengawalinya dengan membongkar speaker komputer tua yang sudah rusak, dengan hati-hati memotong kabel audio dari sirkuitnya. Sesudahnya, dengan menggunakan plester listrik dan pisau lipat, ia menyambungkan kabel itu dengan kabel dari earphone jadul Walkman—operasi kasar yang menghasilkan kabel adaptor yang jelek namun fungsional.

Ia mencolokkan satu ujung ke lubang earphone di Walkman, dan ujung lainnya ke lubang mikrofon di laptopnya. Menjadikannya koneksi antara dua era, antara dua dunia. Ia mengunduh program editor audio gratis, antarmukanya yang rumit dan penuh dengan tombol-tombol asing tampak mengintimidasi di bawah cahaya monitor yang redup.

Akhirnya, semuanya siap. Walkman itu terhubung pada laptop seperti pasien yang terhubung pada mesin pendukung kehidupan. Bayu memasang headphone modernnya—yang jauh lebih baik daripada earphone jadul—ke laptop. Ia menarik napas dalam-dalam, beberapa detik setelahnya menekan tombol Record di program editor, kemudian, menekan tombol Play yang besar dan kikuk di Walkman.

Suara statis yang sama, yang sebelumnya menyerang telinganya, kini memenuhi headphone-nya. Keras, menusuk, tanpa ampun. Tapi kali ini, ia tidak merobek headphone itu. Ia memaksakan dirinya untuk bertahan, membiarkan kebisingan membanjiri indranya. Di layar laptopnya, suara itu mengubah dirinya menjadi bentuk visual gelombang audio yang bergerigi dan kacau, garis seismograf dari gempa bumi sonik yang tak berkesudahan. Tanpa pola dan ritme. Hanya kekacauan murni.

Dirinya merekam selama lima menit penuh, lalu menekan Stop. Memutar kembali rekamannya dari laptop. Kualitasnya sama buruknya, tetapi setidaknya ia memiliki kendali. Kemudian memulai pembedahannya.

Malam itu berubah total menjadi siklus frustrasi yang tak berujung. Bayu mencoba segalanya yang bisa ia pikirkan.

Ia mencoba menggunakan filter Noise Reduction. Program yang bekerja selama beberapa saat, sesaat setelahnya memberikan pesan Error. Kebisingannya terlalu kompleks, terlalu padat untuk bisa dianalisis sebagai noise biasa. Setiap frekuensi dipenuhi oleh sinyal yang sama kuatnya.

Bayu mencoba menggunakan Equalizer, mengisolasi frekuensi-frekuensi tertentu. Ia menaikkan frekuensi rendah, berharap menemukan gumaman atau detak jantung. Yang ia dapatkan hanyalah suara statis yang lebih dalam, lebih menggeram, seperti suara dari perut bumi. Ia menaikkan frekuensi tinggi, berharap menemukan bisikan atau jeritan. Yang ia dapatkan hanya desisan yang lebih tajam, lebih menusuk, mirip suara kuku yang digoreskan di papan tulis sepanjang satu kilometer.

Berjam-jam telah berlalu. Di luar, desa tertidur lelap. Di dalam kamarnya, Bayu masih terjaga, matanya merah dan perih karena menatap layar, telinganya berdenging. Ruangan menjadi pengap, dipenuhi oleh aroma kopi basi bercampur dengan keputusasaan yang makin pekat. Ia mulai menganggap kebisingan itu sendiri sebagai entitas hidup, makhluk parasit yang hidup di dalam kepalanya bahkan ketika headphone miliknya tergeletak di atas meja.

Lihat selengkapnya