TANJUNG SUNYI – 1992
Tahun 1992 di Tanjung Sunyi berbau asap rokok kretek, kopi robusta yang diseduh kental, dan optimisme naif yang disiarkan oleh pemerintah Orde Baru. Di satu-satunya warung kopi di desa yang buka hingga larut malam, lampu petromaks mendesis keras, tergantung di tiang tengah, memandikan ruangan berdinding papan dengan cahaya putih yang tajam dan bayangan-bayangan yang menari. Listrik, seperti biasa, sudah padam sejak magrib. Udara terasa pengap, dari campuran aroma-aroma tadi ditambah dengan bau asin dari para nelayan yang baru saja kembali melaut.
Di sudut ruangan, televisi tabung 14 inci bermerek National duduk di atas meja kayu yang reyot. Gambarnya bergoyang dan dipenuhi semut, antenanya yang terbuat dari kaleng biskuit yang penyok harus terus-menerus disesuaikan posisinya. Benda itu menjadi jendela mereka satu-satunya ke dunia di luar Tanjung Sunyi, oracle elektronik yang berbicara dengan suara formal dan kaku.
Sekelompok pria duduk mengelilingi beberapa meja, gelas-gelas kopi hitam mereka sudah setengah kosong. Di antara tawa dan kepulan asap, suara dari televisi berusaha menembus keramaian. Seorang pembaca berita berwajah serius sedang membacakan laporan ekonomi malam.
“…Deregulasi sektor perbankan yang dicanangkan pemerintah diharapkan akan terus memacu pertumbuhan ekonomi nasional,” kata suara dari televisi. “Meskipun beberapa pengamat asing menyuarakan kekhawatiran mengenai meningkatnya utang luar negeri swasta…”
“Ah, utang lai utang lai,” gerutu Pak Toha, yang saat itu masih seorang pria paruh baya yang tegap. “Itu urusan orang-orang basar di Jakarta sana. Yang panting di sini harga solar seng nae deng tengkulak seng tipu, katong pung parut aman.”
Beberapa pria lain mengangguk setuju, menggumamkan persetujuan mereka. Bagi mereka, krisis moneter Asia hanyalah konsep yang sama asingnya dengan obrolan tentang satelit domestik yang berhasil mengorbit bumi. Masalah mereka nyata dan ada di depan mata, tak jauh dari hal-hal seputar jaring yang robek, mesin perahu yang tersendat-sendat, dan musim angin barat yang akan segera tiba.
Di antara mereka, duduk seorang pemuda yang paling banyak tertawa malam itu. Hasan Surya, ayah Bayu. Di usianya yang menjelang tiga puluhan, ia perwujudan dari kehidupannya itu sendiri. Matanya berbinar dengan kecerdasan dan humor, kulitnya legam terbakar matahari, senyumnya lebar dan tulus. Ia terlihat berbeda dari nelayan lainnya. Ia gemar membaca buku, ia mendengarkan radio, dan sangat percaya pada masa depan.
“Jang bagitu, Bapa,” kata Hasan sambil terkekeh, menyulut sebatang rokok. “Sapa tau nanti beta pung anak si Bayu tu jadi manteri. Biar dia yang kase lunas samua utang tu.”
Tawa meledak di warung itu. Pemilik warung, seorang wanita gemuk bernama Mama Ros, menimpali dari balik meja dapurnya. “Manteri! Ose pun anak tu baru bisa lari, San! Jang mimpi katinggian, nanti kalo jatu sakit!”
“Mimpi tu kan gratis, Kaka!” balas Hasan, senyumnya tak pudar.
Acara berita di televisi berakhir, digantikan oleh jingle iklan merek penyedap rasa, sebelum akhirnya program musik dimulai. Seorang VJ berambut gondrong dengan antusiasme yang berlebihan muncul di layar.
“Oke, pemirsa! Buat kalian para anak gaul, siap nggak siap—pokoknya siap-siap! Karena sebentar lagi kita bakal digempur musik cadas langsung dari Seattle, Amerika! Musik yang lagi bikin geger dunia… Ini dia—Nirvana!”