SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #14

CHAPTER 13

TANJUNG SUNYI – SEKARANG


Dua hari telah berlalu sejak Daffa lenyap. Bagi Desa Tanjung Sunyi, kepanikan awal telah membeku menjadi duka yang pasrah. Tim SAR dari kabupaten datang dan pergi, menyisir pantai berbekal perahu karet dan anjing pelacak, sayangnya, tak menemukan apa pun selain beberapa potong sampah laut. Mereka pada akhirnya pergi dengan bahu yang terangkat serta janji-janji kosong, menutupi keputusasaan mereka, meninggalkan desa, membiarkannya menelan kesedihannya sendiri. Dunia luar tampaknya sudah benar-benar menyerah.

Namun sebaliknya, di dalam kamarnya yang terkunci, Bayu belum berniat menyerah. Ia justru baru saja memulainya.

Dunia Bayu sekarang telah menyusut menjadi seukuran kamar tidurnya. Di luar, matahari terbit dan terbenam, para nelayan melaut dan kembali dengan palka kosong, bagi Bayu semua itu terasa jauh dan tidak nyata. Realitasnya yang sesungguhnya berupa empat dinding kayu, ditemani cahaya redup dari monitor laptopnya, beserta denyut sunyi yang berdetak setiap tiga koma tiga detik.

Ia menjelma seorang pertapa, seorang biarawan dari ordo kebisingan suci. Dirinya hampir saja tak tertarik untuk makan, isi lambungnya hanyalah kopi hitam dan pil penenangnya, kombinasi yang akan membuatnya tetap terjaga dalam keadaan gelisah, yang anehnya fokus. Kamarnya berubah menjadi sarang seorang fanatik. Piring-piring kotor menumpuk di sudut, asbaknya meluap dengan puntung rokok, dan di dinding, Bayu menempelkan selembar kertas besar di mana ia mencoba memetakan pola denyut itu, menggambar gelombang-gelombang aneh dan membuat catatan-catatan yang acak.

Denyut itu segalanya pikir Bayi. Detak jantung di dalam badai. Tapi itu saja tidaklah cukup. Denyut itu menjadi ritme tanpa melodi, kerangka tanpa daging. Ia tahu, dengan kepastian seorang yang berada di ambang kegilaan, bahwa ada sesuatu yang lain di dalam rekaman itu, sesuatu yang tersembunyi lebih dalam.

Malam ketiga, saat kelelahan dan kafein telah mengikis habis benteng logikanya, ide gila muncul di benaknya. Ide yang lahir dari keputusasaan murni. Ia telah mencoba segalanya, mulai dari filter, kemudian equalizer, perlambatan, hingga percepatan. Ia telah menyerang rekaman itu dari depan. Namun bagaimana jika… bagaimana jika pesannya tidak dimaksudkan untuk didengar dari depan dengan runut?

Ia teringat pada kaset-kaset band metal dari masa remajanya, di mana ada desas-desus tentang pesan-pesan satanicdisembunyikan dengan cara merekamnya secara terbalik. Jaman itu ia menertawakannya sebagai omong kosong. Sekarang, omong kosong terdengar seperti kemungkinan yang logis.

Dengan tangan yang gemetar akibat kurangnya tidur, ia mencari fungsi Reverse di program editor audionya. Setelah beberapa saat kebingungan, ia menemukannya, tersembunyi di bawah menu Effects. Ia menyorot seluruh rekaman berdurasi lima menit itu, blok kekacauan visual yang bergerigi, ditambah dengan satu klik yang terasa menentukan, ia memilih fungsi itu.

Laptop tuanya mengerang, prosesornya bekerja keras untuk melakukan tugas yang tak lazim. Memutar balik waktu, setidaknya secara sonik. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, proses itu selesai. Bentuk gelombang di layarnya kini terlihat sama kacaunya, tetapi terbalik, cerminan dari neraka audio yang telah ia dengarkan selama dua hari terakhir.

Jantungnya berdebar kencang. Ia mengambil headphone-nya, ragu sejenak, lalu memasangnya. Ia menempatkan kursor di awal rekaman dan menekan Play.

Suara yang keluar dari headphone merupakan suara yang paling tak masuk akal yang pernah ia dengar.

Suara anti-kehidupan.

Lihat selengkapnya