Empat hari setelah Daffa lenyap, roda kehidupan di Tanjung Sunyi mulai berputar kembali, meskipun masih goyah. Di warung kopi Mama Ros, beberapa nelayan telah kembali pada ritual pagi mereka, menyeruput kopi hitam dan mengisap rokok kretek dalam keheningan yang lebih muram dari biasanya. Percakapan mereka pelan, topiknya menghindari lubang hitam yang ditinggalkan oleh hilangnya seorang anak. Mereka bicara tentang cuaca, tentang harga ikan yang tak kunjung membaik, tentang apa saja selain tentang kengerian yang masih menggantung di udara seperti jaring laba-laba yang tak nampak.
Bayu duduk di pojok warung, seperti biasanya. Namun ada yang berbeda darinya. Ia tak lagi menatap kosong ke arah laut. Matanya bergerak gelisah, melesat dari satu wajah ke wajah lain, mempelajari setiap gerakan, setiap bisikan. Kelelahan telah mengukir lingkaran hitam di bawah matanya, dan rahangnya menegang karena kurang tidur. Di sampingnya, di atas bangku kayu, tergeletak tas ransel usang yang ia peluk dengan posesif. Di dalamnya, terbungkus sehelai kain, Walkman itu berdiam seperti jantung buatan yang menopang obsesinya.
Setelah malam-malam yang dihabiskan untuk membedah suara statis, ia telah berubah. Sinismenya yang dulu menjadi perisai pasif kini terlahir kembali menjadi paranoia yang aktif dan tajam. Teriakan Nenek Ratna dan bisikan terbalik Daffa telah meyakinkannya bahwa ia sedang berhadapan dengan sesuatu yang memiliki kecerdasan, sesuatu yang memiliki rencana. Dan jika ada rencana, maka dibaliknya tentu ada pemain lain. Ia kini melihat setiap orang sebagai kemungkinan musuh atau pun bidak dalam permainan yang belum ia pahami betul.
Saat itulah pintu warung yang reyot terbuka, dan seorang wanita melangkah masuk. Seluruh percakapan pelan di warung langsung seketika berhenti.
Wanita itu Lila Bahari.
Lila menjadi anomali di tempat ini. Di tengah-tengah lantai semen yang retak dan dinding papan yang menghitam karena asap, ia tampak seperti makhluk dari planet lain. Ia mengenakan blus katun putih yang bersih dengan bawahan celana panjang berwarna khaki, rambutnya yang panjang diikat ekor kuda dengan rapi. Wajahnya kelihatan cerdas, tetapi pagi ini ada ketegangan di sudut-sudut matanya. Ia tampak sama tidak nyamannya berada di sini seperti para nelayan yang menatapnya.
Bayu langsung menegakkan tubuhnya. Otot-ototnya menegang. Putri dari Dr. Ardian Bahari. Wanita dari rumah kaca di atas bukit. Apa yang dilakukannya di sini, di sarang keputusasaan ini?
Lila tampaknya mengabaikan tatapan mata para nelayan. Matanya memindai seluruh isi ruangan, kemudian berhenti saat menemukan Bayu. Dengan keraguan sesaat, ia berjalan menghampiri meja Bayu.
“Permisi,” katanya, suaranya jernih dan berpendidikan, sangat kontras dengan dialek pesisir yang kasar. “Boleh saya duduk sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan.”
Bayu hanya mengangguk pelan, matanya tak pernah meninggalkan wajah Lila. Ia menggeser tas ranselnya sedikit lebih dekat padanya. Lila menarik kursi plastik dari meja sebelah lalu sejurus kemudian duduk di hadapan Bayu. Ia meletakkan amplop tebal berwarna putih di atas meja.
“Nama saya Lila Bahari,” mulainya. “Saya dan ayah saya tinggal di rumah di atas bukit.”
“Aku tahu kau siapa,” kata Bayu datar.
Lila tampak sedikit terkejut oleh nada dingin itu, tetapi ia melanjutkannya. “Saya… saya turut berduka cita atas apa yang menimpa anak laki-laki itu… Daffa.” Ia mengucapkan nama itu dengan hati-hati. “Kami baru mendengarnya kemarin. Berita yang sangat mengerikan.”
Bayu tak tertarik mengucapkan apa-apa. Ia hanya menatap Lila, menunggu. Ia yakin ini bukan sekadar kunjungan basa-basi. Orang-orang seperti keluarga Bahari tidak turun gunung hanya untuk mengucapkan belasungkawa.
“Ayah saya memiliki sebuah yayasan,” lanjut Lila, mengisi keheningan yang canggung. “Kami ingin membantu. Ini… ini ada sedikit sumbangan untuk keluarga Daffa. Untuk biaya pencarian, atau untuk apa pun yang mereka butuhkan.”
Bayu melirik amplop itu. Tebal. Mungkin berisi lebih banyak uang daripada yang pernah dilihat keluarga Iwan seumur hidup mereka. Gerakan yang murah hati. Atau mungkin saja uang tutup mulut.
“Kenapa kau kasih ini ke aku?” tanya Bayu, matanya menyipit. “Rumah keluarganya di ujung jalan sana.”