Kantor polisi kecamatan berwujud bangunan beton kusam dari era 70-an terus-menerus berkeringat di bawah panasnya matahari pesisir. Cat di dindingnya menggelembung dan mengelupas, kipas angin di langit-langitnya berputar dengan enggan, lebih banyak menghasilkan suara derit daripada angin. Udara di dalam ruangan Inspektur Joko merupakan ramuan dari bau kertas tua yang lembap, kopi basi, dan keputusasaan birokrasi yang mengendap. Di ruangan ini, tragedi-tragedi besar dari desa-desa terpencil seperti Tanjung Sunyi disuling menjadi tumpukan laporan yang rapi, diberi nomor, kemudian dilupakan.
Inspektur Joko duduk di belakang meja kayunya yang besar serta penuh goresan, menatap tumpukan berkas di hadapannya dengan mata yang sama sekali tak memancarkan ketertarikan. Masa pensiunnya tinggal dua tahun lagi. Dua tahun. Tujuh ratus tiga puluh hari. Ia menghitungnya setiap pagi. Mimpinya sederhana, sebuah rumah kecil di dekat danau air tawar di pegunungan, jauh dari bau garam dan misteri-misteri laut yang tak terpecahkan. Setiap berkas yang berhasil ia tutup, setiap kasus yang berhasil ia arsipkan, menjadi satu langkah lebih dekat menuju kedamaian itu.
Pintu ruangannya diketuk pelan sebelum seorang polisi muda yang bersemangat, Bripda Agus, masuk. Wajahnya bersih, seragamnya licin, dan matanya menyimpan binar keyakinan bahwa ia bisa mengubah dunia. Joko memandang binar itu dengan rasa kasihan yang masam. Dunia, khususnya Tanjung Sunyi, seperti yang sudah-sudah, akan segera memadamkan binar itu.
“Permisi, Komandan,” kata Agus dengan hormat, meletakkan selembar map tipis di atas meja Joko. “Laporan akhir dari Tim SAR terkait pencarian anak hilang di Tanjung Sunyi, atas nama Daffa Putra Irawan. Hasilnya nihil.”
Joko mengambil map itu tanpa antusiasme. Ia membukanya, membolak-balik halamannya yang berisi jargon teknis tentang area penyisiran, kondisi cuaca, dan wawancara saksi mata. Ia tidak benar-benar membacanya. Ia hanya mencari kata kunci yang ia butuhkan. Seperti yang sudah diduganya, tak dapat ia ditemukan. Pencarian dihentikan.
“Nihil, ya,” gumam Joko, memberikan kesimpulan yang sebenarnya sudah ia ketahui sejak awal. “Sudah kuduga.”
“Para relawan dari desa masih terus mencari, Ndan,” tambah Agus, suaranya terdengar sedikit ragu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin mengatakan lebih banyak lagi. “Keluarganya… mereka masih berharap.”
“Harapan tidak akan membuat mayat mengapung lebih cepat, Agus,” kata Joko datar, tanpa mengangkat matanya dari berkas. “Sudah berapa lama kau bertugas di sini? Tiga bulan? Kau akan belajar bahwa di pesisir ini, laut adalah hakim sekaligus algojo. Tak ada banding.”
Agus tampak ingin membantah, tetapi ia menahan diri. “Ada satu hal lagi, Ndan. Di dalam laporan saksi mata. Tentang jejak kaki yang ditemukan oleh seorang warga bernama Bayu…”
“Ah, ya,” potong Joko, menutup map itu. “Anaknya Hasan Surya. Aku sudah dengar. Jejak kaki yang berhenti tiba-tiba.” Ia bersandar di kursinya, menatap Agus dengan pandangan meremehkan. “Dan kau percaya itu? Di pantai yang sama tempat angin dan ombak pasang bisa mengubah lanskap dalam hitungan jam? Itu bukan bukti, Agus. Cuma imajinasi seorang pria yang trauma, yang melihat hantu ayahnya di setiap sudut. Jangan pernah masukkan dongeng ke dalam laporan resmi.”
“Tapi, Ndan, orang tuanya juga bersikeras tentang kabut yang tidak wajar…”
“Dan setiap nelayan yang kehilangan tangkapannya akan menyalahkan penunggu laut,” sela Joko, kesabarannya mulai menipis. “Dengar, Agus. Tugas kita menemukan penjelasan yang paling logis dan menutup kasus agar semua orang bisa melanjutkan hidup. Penjelasan yang paling logis adalah seorang anak kecil bermain terlalu dekat dengan air saat kabut tebal, ia panik, tersandung, dan terseret arus. Selesai. Tragis, ya. Misterius? Tidak.”