SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #17

CHAPTER 16

Langit di timur baru saja mulai memerah, luka yang berdarah secara perlahan di cakrawala yang kelabu. Lautan pagi ini tenang, tanpa ombak, permukaannya yang kelam dan licin seperti minyak. Namun keheningannya terasa menipu. Di atas perahunya yang kecil dan lapuk, yang diberi nama Bintang Pagi, Pak Udin merasakan keheningan itu di dalam tulangnya. Keheningannya tak terasa damai; lebih terasa seperti mengintai.

Sejak Daffa hilang, lautan seolah menahan napas. Para nelayan lain, yang lebih muda dan lebih pragmatis, mengeluh tentang perubahan arus atau suhu air. Pak Udin, yang telah menghabiskan enam puluh dari tujuh puluh tahun hidupnya di atas air, tahu lebih baik. Laut sedang marah. Atau bisa jadi lebih buruk lagi, laut sedang lapar.

“Kosong lai, Bapa,” kata Dodo, suaranya terdengar lemas. Ia baru saja menarik jaring pertama mereka, dan isinya hanya beberapa ekor ikan kecil yang meronta menyedihkan bersama dengan segumpal sampah plastik.

Pak Udin menghela napas, uap hangat keluar dari mulutnya di udara pagi yang dingin. Ia menatap ke dalam ember yang kosong. “Coba lempar dakat karang hitam sana,” katanya, suaranya serak. “Sapa tahu di sana masih ada sisa.”

Dodo mengangguk patuh, meskipun wajahnya menunjukkan keraguan. Karang hitam, tempat yang dihindari sebagian besar nelayan. Dasarnya terlalu tajam dan arusnya tidak terduga. Tempat itu memiliki reputasi sebagai pencuri jaring. Tapi mereka tidak punya banyak pilihan. Perut di darat harus diisi.

Mereka berlayar perlahan menuju gugusan karang yang tampak seperti punggung monster yang sedang tertidur di kejauhan. Setelah menebar jaring mereka untuk kedua kalinya, menunggu. Keheningan kembali menyelimuti mereka, yang hanya dipecah oleh suara mesin diesel perahu yang sudah mulai batuk-batuk dan teriakan burung camar yang terdengar bagaikan tangisan.

Pak Udin memejamkan mata sejenak. Ia mencoba untuk tidak memikirkan tentang anak yang hilang. Akan tetapi gambaran tentang Wati yang menangis di pantai terus kembali. Sama halnya dengan dirinya yang juga pernah kehilangan seorang putra di laut, puluhan tahun yang lalu, karena badai. Ia pernah memiliki rasa sakit itu. Meskipun ini berbeda. Kehilangan karena badai adalah takdir yang bisa diterima. Kehilangan karena kabut aneh dan jejak kaki yang lenyap… terasa seperti sesuatu yang lain. Lebih menyerupai sihir hitam.

“Bapa! BAPA UDIN!” Suara panik Dodo menyentakkannya dari lamunannya. “Jaringnya! Liat!”

Pak Udin membuka mata dan melihat ke arah tali jaring. Tali itu menegang lurus ke bawah, nyaris tidak bergerak, seolah tersangkut pada sesuatu yang sangat berat di dasar laut.

“Setan,” gerutu Pak Udin. “Su duga. Takait di karang. Coba tarek palan-palan.”

Mereka berdua mulai menarik. Mesin penarik jaring yang sudah tua mengerang protes, mengeluarkan asap hitam yang lebih tebal. Jaring itu bergerak, tetapi sangat lambat. Beratnya luar biasa.

“Ini bukang takait biasa, Bapa,” kata Dodo, otot-otot di lengannya menegang. “Rasa… macam tarek jangkar kapal tongkang.”

Setelah sepuluh menit berjuang, jaring itu akhirnya mulai terangkat dari kedalaman. Harapan Dodo mulai tumbuh.

“Jang sampe ini rajaki basar!” serunya, wajahnya berbinar. “Sapa tau katong dapa garopa babon!”

Sebaliknya Pak Udin tidak merasakan kegembiraan. Ia merasakan firasat buruk yang dingin merayap di perutnya. Berat ini terasa mati. Tanpa perlawanan, pun tak ada sentakan dari ikan-ikan yang terperangkap. Yang ada hanya beban yang berat dan lembam.

“Bukang ikang,” bisiknya pada diri sendiri.

Lihat selengkapnya