Perjalanan dari Tanjung Sunyi ke kantor polisi kecamatan bagi Bayu, rasanya seperti perjalanan melintasi perbatasan antar dunia. Bayu meninggalkan desa yang kini berdenyut akibat demam kepanikan—para warga berkumpul di dermaga, menatap tumpukan tulang dan koin VOC, menganggapnya altar berhala yang mengerikan, bisikan-bisikan tentang kutukan serta dasar laut yang marah menyebar lebih cepat dari bara api. Ia meninggalkan dunia horor yang gamblang, memasuki dunia horor yang lain: horor yang suci, merambat dengan lamban, serta apatis dari birokrasi.
Bayu duduk di ruang tunggu yang panas di depan kantor Inspektur Joko selama hampir satu jam. Kipas angin yang bergayut di langit-langit berputar lesu, tak mampu mengusir panas, hanyalah mengaduk-aduk udara yang berbau kertas tua bercampur putus asa. Di pangkuannya, tas ransel usang miliknya terasa berat. Di dalamnya, laptop dan Walkman berdiam, dua peninggalan dari realitas alternatif yang ia bawa ke dalam dunia formulir dan stempel karet ini. Ia merasa seperti seorang nabi gila yang datang untuk memberitakan kiamat kepada dewan kota yang hidupnya penuh kebosanan.
Akhirnya, seorang polisi muda memanggil namanya. Ruangan Joko bahkan lebih kelihatan menyedihkan dari yang ia ingat. Sinar matahari yang keras menembus jendela berdebu, menerangi partikel-partikel debu yang menari-nari di udara. Tumpukan map dan berkas mengancam akan longsor dari setiap permukaan datar. Joko sendiri duduk di belakang mejanya, terlihat merasa terganggu oleh kedatangan Bayu. Ia sedang membaca koran, kemudian meletakkannya dengan desahan yang menunjukkan bahwa apa pun urusan Bayu, itu tidaklah lebih penting dibanding teka-teki silang yang sedang diisinya.
“Bayu. Ada perlu apa lagi? Kasus anak itu sudah saya tutup.”
Bayu melangkah maju, meletakkan tas ranselnya di atas kursi di depan meja Joko. Tangannya gemetar karena campuran antara kelelahan, kafein, dan adrenalin.
“Justru itu, Pak. Kasus ini harusnya tidak pernah ditutup,” kata Bayu, suaranya terdengar serak. “Saya punya bukti.”
Joko bersandar di kursinya, melipat tangannya di atas perutnya. Ekspresinya menyerupai ekspresi seorang ayah yang sabar menghadapi rengekan anaknya. “Dengar, Bayu. Saya tahu ini berat. Kehilangan…”
“Ini bukan soal berat atau tidak, Pak!” potong Bayu, nadanya lebih tajam. “Ini soal fakta. Jejak kakinya berhenti di tengah pantai. Dan saya menemukan ini.”
Ia membuka ranselnya, dengan hati-hati mengeluarkan Walkman kuning yang berkarat, meletakkannya di atas meja di antara tumpukan kertas Joko. Benda itu tampak sangat tidak pada tempatnya, relik dari dunia lain yang terdampar di atas tumpukan laporan lalu lintas.
Joko menatap Walkman itu dengan pandangan kosong selama beberapa detik, lalu menghela napas lagi. “Pemutar kaset. Cuma sampah laut. Pantai itu isinya memang sampah, Bayu.”
“Ini bukan sampah,” desak Bayu. “Benda ini muncul pas di tempat Daffa hilang. Dan ada suaranya di dalam. Suara Daffa.”
Mata Joko sedikit menyipit, secercah minat profesional yang samar-samar muncul, tetapi dengan cepat padam, digantikan oleh skeptisisme yang membosankan. “Suara Daffa? Di dalam kaset tua yang sudah puluhan tahun kena air laut? Bayu, kau sadar tidak sih sama omonganmu?”
“Bapak dengar saja sendiri,” kata Bayu, nadanya menantang. Ia mengeluarkan laptopnya, membukanya, dan dengan beberapa klik, ia telah siap. “Sudah saya rekam. Aslinya cuma suara kresek-kresek, keras sekali. Tapi kalau dibalik…”
Ia memutar klip audio yang sudah ia bersihkan itu. Dari speaker laptop yang kecil dan pecah, suara desisan yang aneh dan tidak wajar memenuhi ruangan yang sunyi. Di tengah-tengah desisan, terdengar bisikan yang sangat lirih dan terdistorsi.
“...ini… jam…”