SIMPUL ARUS HITAM

IGN Indra
Chapter #19

CHAPTER 18

Bayu kembali ke rumahnya dengan kemarahan dingin yang membeku di dalam pembuluh darahnya. Penolakan Inspektur Joko tidak mematahkan semangatnya; sebaliknya, membakar habis semua keraguannya, meninggalkannya dengan kepastian yang tajam dan berbahaya. Bayu dipaksa menghadapinya sendirian. Kebenaran tak akan datang dari seragam atau lencana. Kebenaran harus ia gali seorang diri, dari kedalaman misteri yang semakin gelap ini.

Saat ia melangkah masuk, hal pertama yang ia sadari adalah keheningan. Bukanlah dari duka yang biasa menyelimuti rumahnya, melainkan keheningan yang berbeda, berupa kekosongan. Suara yang seharusnya ada di sana, suara yang telah menjadi detak jantung aneh di rumah itu selama berhari-hari, sudah lenyap.

Suara goresan paku di atas meja makan. Hilang.

Jantung Bayu berdebar sedikit lebih cepat. Perubahan dalam sebuah pola yang mengerikan sering kali lebih menakutkan daripada pola itu sendiri.

“Ne?” panggilnya, suaranya terdengar hampa di ruang tengah yang remang-remang.

Tak terdengar jawaban.

Bayu berjalan ke dapur. Kursi di pojok, tempat Neneknya, Ratna biasa duduk, kosong. Meja makan kayu jati itu terdiam, permukaannya yang penuh luka spiral menampakkan peta relief dari neraka pribadi. Paku berkarat tergeletak di sampingnya, ditinggalkan.

Firasat buruk yang dingin mulai merayap di tengkuknya. Ia bergerak cepat menyusuri lorong yang gelap menuju satu-satunya ruangan lain di lantai bawah: kamar tidur neneknya. Ia jarang sekali masuk ke sana. Kamar yang menjadi tempat suci yang beku dalam waktu, museum dari kehidupan Ratna sebelum sesuatu itu datang dan mengambilnya.

Pintu kamarnya sedikit terbuka. Dari dalam, ia mendengar suara baru.  Suara gesekan yang lembut, kering, serta ritmis. 

Srrsk… srrsk… srrsk…

Serupa suara pasir yang tertiup angin di atas kertas.

Dengan hati-hati, Bayu mendorong pintu itu hingga terbuka lebar.

Pemandangan di hadapannya membuatnya terpaku di ambang pintu.

Kamar itu pengap, berbau kapur barus, minyak kayu putih, bercampur debu dari puluhan tahun yang tak tersentuh. Ranjang besi tua dengan seprai batik yang sudah pudar berdiri di satu sisi. Lemari pakaian kayu yang besar dan gelap berdiri di sisi lain. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Bayu.

Ratna ada di sana.

Ia berdiri—pemandangan yang sudah jarang terjadi—membelakangi pintu, menghadap ke arah dinding kosong di seberang tempat tidurnya. Tubuhnya yang ringkih terlihat tegang, salah satu lengannya terangkat, tangannya bergerak dengan gerakan yang stabil dan berulang-ulang di atas permukaan dinding yang catnya sudah menguning dan retak.

Srrsk… srrsk… srrsk…

Lihat selengkapnya