Di sebuah desa sunyi di kaki gunung, malam mengendap seperti kabut pekat yang menelan waktu. Dalam lingkaran obor yang hampir padam, sekelompok orang berdiri tanpa suara, wajah mereka tersembunyi di balik bayangan. Di tengah mereka, tampak seseorang dengan mata buram memimpin sebuah ritual yang hanya dibicarakan dalam bisikan, sebuah ritual yang tak pernah tertulis di kitab mana pun.
Aroma dupa, bunga kering, dan darah segar memenuhi udara, menciptakan rasa sesak di dada. Di atas altar batu yang dingin, boneka jerami kecil tergeletak, dihias dengan rambut manusia. Di lehernya terikat sebuah kalung dengan secarik kertas lusuh bertuliskan nama nama yang bukan sekadar tulisan, melainkan jiwa yang telah dipilih.
Orang itu menggumamkan mantra dalam bahasa yang seperti tergores dari masa lalu. Setiap kata terasa berat, seperti memanggil sesuatu dari kedalaman yang tak dikenal. Di balik gumamannya, ada janji yang menggantung: jiwa itu bukan hanya persembahan, melainkan pintu bagi sesuatu untuk masuk.
Api dari obor yang mengelilingi altar mulai berkobar tak menentu, seolah ada kekuatan asing yang menyentuhnya. Namun, udara mendadak berubah. Suhu turun drastis, angin dingin berdesir, memadamkan sebagian obor. Para peserta ritual mulai resah, tetapi tak ada yang berani bergerak. Mereka tahu, ketika sesuatu dari luar dunia mereka datang, hanya diam yang dapat menyelamatkan.