SIMULAKRA

Lisya Angelina Hardiman
Chapter #2

BAB 1: Celah Antara Logika dan Keyakinan

Bayu menatap langit kota Yogyakarta dari jendela kantornya, matahari pagi menyembul malu-malu di balik awan tipis. Angin hangat berembus perlahan, membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum sesi terapi pertama dimulai. Ruangan kantornya yang sederhana namun nyaman terletak cukup jauh dari pusat kota, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan. Di tempat inilah, ia mendengarkan segala kisah manusia, dari kecemasan sehari-hari hingga mimpi buruk yang menghantui tidur pasien-pasiennya.

Sebagai seorang psikolog klinis, Bayu percaya bahwa setiap masalah mental bisa dijelaskan dengan sains dan logika. Ia bukan tipe orang yang mudah mempercayai hal-hal mistis atau supranatural. Baginya, segala sesuatu punya jawaban jika diteliti lebih dalam. Namun, pekerjaan ini sering menempatkannya di tepi batas antara kenyataan dan ketidakpastian. Tak jarang, ia menemui kisah-kisah ganjil yang membuat bulu kuduk berdiri, cerita yang tampak mustahil, tapi diceritakan dengan kesungguhan oleh para pasiennya.

Di sudut ruangan, sebuah pot tanaman monstera berdiri anggun, daunnya hijau mengilap. Monstera itu adalah pemberian Nina, istrinya. "Biar ruanganmu lebih segar," katanya sambil tertawa saat membawanya suatu hari. Bayu mengingat momen itu dengan senyum tipis. Nina memang selalu percaya bahwa tanaman membawa energi positif, meski ia sendiri tak sepenuhnya yakin. Keduanya adalah pasangan yang berbeda, Bayu rasional, Nina sedikit spiritual namun justru perbedaan itu membuat hubungan mereka terasa seimbang.

Tepat pukul sembilan pagi, bel pintu berdenting lembut. Bayu melirik jam dinding dan segera menegakkan tubuh di kursinya. Pintu berderit pelan, memperlihatkan sosok seorang wanita muda dengan wajah pucat dan mata sayu. Ia tampak ragu, berdiri di ambang pintu sambil memegang ujung selendangnya yang kusut.

"Selamat pagi, saya Bayu," ucap Bayu dengan senyum hangat, menyilakan wanita itu masuk. "Silakan duduk."

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Fira. Namun, suaranya lirih, hampir tenggelam dalam gumaman. Ia duduk di sofa, kedua tangannya saling menggenggam erat. Gerak-geriknya canggung, seolah ada beban tak kasatmata yang ia bawa.

"Akhir-akhir ini... saya merasa diikuti," bisiknya, begitu pelan hingga Bayu harus mencondongkan tubuh untuk mendengar.

Bayu tetap tenang. “Diikuti oleh siapa?” tanyanya lembut, meski dalam benaknya, ia sudah mulai memetakan kemungkinan diagnosis.

Fira menatap Bayu dengan ragu, seakan-akan kata-katanya sendiri membuatnya takut. “Saya tidak tahu... Tapi bukan orang. Lebih seperti... sesuatu.”

Bayu berusaha tetap profesional. Ia sudah sering mendengar pasien berbicara tentang pengalaman serupa halusinasi, perasaan cemas berlebih, atau trauma masa lalu. Namun, ada sesuatu dalam nada suara Fira yang berbeda kali ini.

"Sesuatu itu... kadang muncul di cermin," Fira melanjutkan, suaranya semakin gemetar. "Dan rasanya... itu bukan bayangan saya."

Lihat selengkapnya