SIMULAKRA

Lisya Angelina Hardiman
Chapter #3

BAB 2: Bayang Diambang Mimpi

Ruang praktik Bayu terasa hening, hanya ditemani bunyi jam dinding yang berdetak konstan, menambah suasana tenang sekaligus melankolis. Ruangan itu sederhana, dengan dinding bercat krem dan sofa empuk berwarna abu-abu. Di meja kerjanya ada beberapa dokumen dan satu pot kecil kaktus yang dipilih Nina. Ia suka menambahkan sentuhan kehidupan di sudut-sudut terkecil, seolah mengingatkan Bayu bahwa hidup harus selalu tumbuh meskipun perlahan.b

Hari itu Bayu kedatangan seorang pasien baru bernama Reza. Pria itu tampak kusut. Rambut hitamnya sedikit acak-acakan, dan kantong mata dalam menghiasi wajahnya seperti beban yang tak tertahankan. Dia duduk gelisah di tepi sofa, memegang lututnya erat-erat, seolah mencoba mengunci diri di dunia nyata.

“Mas Reza?” sapa Bayu dengan senyum lembut, berharap bisa meredakan kegugupan yang tampak jelas.

Reza menoleh cepat, sepasang matanya tampak penuh kegelisahan, seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata.

“Iya, Pak,” jawab Reza, suaranya serak. Dia mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. “Saya nggak tahu harus mulai dari mana...”

Bayu mencondongkan tubuh sedikit, memberikan ruang aman dengan sikap sabar dan empatik. “Tidak apa-apa. Ceritakan saja dengan tenang. Saya di sini untuk mendengarkan.”

Reza menarik napas panjang, namun udara seakan tidak cukup memenuhi paru-parunya. Ia mencoba menata pikirannya, tapi suara-suara dari mimpi buruk itu seolah masih bergema di telinganya.

“Saya... saya terus-terusan mengalami mimpi aneh, Mas,” katanya, suaranya mulai lirih. “Dalam mimpi itu, saya berada di suatu tempat gelap. Saya merasa... tertawan. Jiwa saya seolah terperangkap di sana dan nggak bisa keluar.”

Bayu mengangguk pelan, mengambil buku catatan dan pena. “Tertawan seperti apa? Apa kamu bisa menggambarkannya lebih jelas?”

Reza terdiam sejenak, matanya menatap lantai seakan mencari kata-kata yang tepat. “Tempat itu... seolah bukan dunia kita. Semuanya kabur, tapi rasanya nyata. Seperti... dunia cermin, tapi rusak. Setiap kali saya mencoba bergerak, ada bayangan yang mengikuti. Tapi itu bukan bayangan saya...

Bayu merasakan hawa aneh merayap di tengkuknya. Kata-kata Reza mulai menyentuh sesuatu yang tak kasatmata, sesuatu yang mengusik ketenangannya.

“Kamu bilang ada bayangan? Apa maksudmu bayangan itu makhluk?” tanya Bayu, mencoba menelusuri pikiran pasiennya lebih dalam.

Reza menelan ludah dengan susah payah. “Bukan makhluk, tapi... sesuatu yang menempel pada saya. Di mimpi itu, saya selalu merasa seperti ada yang mengawasi, dan setiap kali saya bangun, saya masih mendengar suara-suara.

Bayu mencatat cepat di bukunya, namun pikirannya mulai mengembara. Selama bertahun-tahun bekerja sebagai terapis, ia telah mendengar banyak cerita ganjil dari pasiennya. Namun, ada sesuatu dalam kisah Reza yang terasa berbeda, lebih gelap, lebih nyata.

Lihat selengkapnya