Malam sudah larut ketika Bayu duduk di ruang kerjanya, mencoba menenangkan pikirannya setelah sesi terapi bersama Reza. Ia memijat pelipisnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Setiap kali ia mencoba meresapi kata-kata Reza tentang sosok bayangan dan suara perempuan berbisik, ia seperti terseret dalam pusaran kegelisahan yang semakin kuat. Pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan bahwa sesuatu telah ikut terbawa dari ruang terapi tadi siang, sesuatu yang tak seharusnya masuk ke dalam hidupnya.
Di sekelilingnya, rumah mereka tampak sunyi seperti biasa, namun keheningan malam itu terasa berbeda, seolah-olah ada mata tak terlihat yang mengintai dari balik setiap sudut.
Ia menghela napas panjang dan menatap sejenak ke luar jendela. Malam tampak pekat, tanpa bintang. Bayangan pohon mangga di halaman bergoyang perlahan, diterpa angin yang membuat dedaunan berdesir. Namun, di sela-sela suara alam itu, Bayu merasa mendengar sesuatu, seperti desah napas pelan, terlalu dekat untuk dianggap kebetulan. Ia menajamkan telinga, tapi suara itu hilang begitu saja, meninggalkan perasaan tidak nyaman yang merayap di dadanya.
“Cuma capek,” gumamnya, mencoba mengusir pikirannya sendiri. Tapi dia tahu, di balik rasionalitasnya, ada kekhawatiran samar yang terus menggeliat.
Keesokan harinya, Bayu mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas biasa. Ia menemui pasien-pasien lain, mendengarkan keluh kesah mereka, dan mencatat kemajuan terapi. Namun, entah kenapa, sosok Reza selalu muncul di benaknya. Wajah pucat pria itu, dengan mata sayu yang penuh ketakutan, terus menghantui ingatannya. Terlebih, cerita tentang mimpi buruknya mimpi di mana ia merasa tubuh dan jiwanya terperangkap dalam dunia lain.
Ketika Bayu selesai dengan klien terakhir sore itu, ia berjalan menuju mobilnya dengan langkah cepat. Namun, saat hendak membuka pintu mobil, ia menangkap sesuatu di sudut matanya: sebuah bayangan hitam bergerak cepat di belakangnya, seolah-olah seseorang berdiri di sana lalu berlari pergi. Ia menoleh tajam, tetapi yang terlihat hanya parkiran kosong.
Jantungnya berdegup lebih cepat. “Pasti cuma bayangan,” pikirnya. Namun, rasa dingin di tengkuknya berkata lain.
Malam itu, ketika Bayu duduk di sofa bersama Nina, ia merasa sedikit lebih tenang. Mereka menonton film sambil menikmati kopi, namun suasana di antara mereka terasa ganjil. Nina, yang biasanya cerewet dan suka mengomentari setiap adegan, malam itu lebih banyak diam. Sesekali ia melirik Bayu dengan ekspresi cemas, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya.
“Kamu kenapa?” tanya Bayu akhirnya, menoleh ke istrinya.
Nina menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya bicara. “Kamu ngerasa rumah ini agak aneh, nggak?”
Bayu tertegun. “Maksud kamu?”
Nina menatap sekeliling ruangan, ekspresinya serius. “Lampu di dapur kedip-kedip tadi sore, tapi nggak ada masalah sama listriknya. Dan, tadi pagi... aku denger suara pintu kamar mandi kebuka sendiri. Padahal, kita cuma berdua di rumah.”